Lenong Betawi Selalu Dinanti
Lenong terus bertransformasi agar tetap eksis. Meski beda dulu beda sekarang, kehadiran teater tradisional ini akan selalu dinanti.
Perjalanan panjang telah mengantar lenong Betawi naik kelas di ranah seni hiburan Nusantara. Hingga berada di posisi puncaknya, lenong terus bertransformasi agar tetap eksis. Meski beda dulu beda sekarang, kehadiran teater tradisional ini akan selalu dinanti.
Dalam satu dekade terakhir, lenong masih setia menghibur masyarakat Indonesia di sejumlah stasiun televisi swasta nasional. Sebut saja Lenong Rempong yang tayang di stasiun televisi Trans7 menggantikan acara Opera Van Java dari tahun 2014. Ada juga Lenong Legenda di MNC TV yang tayang setiap Senin hingga Jumat sejak 2018 dan masih diputar hingga tahun ini.
Walau sama-sama lenong, keduanya menyajikan format pertunjukan yang berbeda. Di dalam buku Menjadi Sutradara Televisi dengan Single dan Multi Camera (Naratama, 2006) disebutkan tiga kategori program acara televisi. Lenong Rempong termasuk dalam kategori nondrama jenis variety show. Sementara untuk Lenong Legenda, mayoritas pertunjukannya merupakan drama jenis komedi.
Tampil di televisi, ciri khas lenong Betawi masih tetap terasa. Contohnya Lenong Legenda yang menyelipkannya di alur cerita melalui banyolan para pemain. Selain itu, lenong besutan Aditya Gumay ini juga memiliki adegan panggung di setiap akhir cerita. Di dalamnya terdapat interaksi antara pemain dan penonton yang dilengkapi dengan iringan musik gambang kromong.
Format pertunjukan ini diterapkan sebagai salah satu bentuk penyesuaian lenong di media televisi. Beberapa dekade sebelumnya, hal serupa juga terjadi ketika Lenong Bocah dengan format drama komedinya masih disiarkan di stasiun TPI sejak tahun 1990. Begitu juga Lenong Rumpi yang ditayangkan dengan format yang sama dari tahun 1989 hingga 1993 di stasiun RCTI.
Setelah harkat lenong Betawi terkerek di media televisi, kreativitas terus tumbuh hingga mengubah lenong menjadi produk baru yang diminati pasar hiburan. Maka, tidak salah jika lenong yang kini banyak tampil di layar televisi memiliki banyak perbedaan dengan bentuk aslinya. Hal itu dapat dilihat dari makna awal lenong sebagai sebuah teater tradisional rakyat.
Awal mula lenong
Lenong Betawi sudah sejak lama berkembang di tengah masyarakat Jakarta atau yang kala itu masih disebut Batavia. Dalam tulisan Teater Rakyat sebagai Media Kritik Sosial: Fungsi Humor dalam Seni Pertunjukan Lenong Betawi (Ibrahim, 2006) disebutkan, lenong berasal dari wayang abdul muluk, wayang yang telah dijumpai di Riau dan Sumatera Utara pada tahun 1886.
Tontonan ini muncul karena pengaruh pertunjukan dari luar yang telah berkembang sebelumnya. Pertama, berkat populernya komedi persi di Malaka. Kedua, adanya wayang China yang sudah dimainkan di Surabaya dan pesisir timur Sumatera. Sementara wayang abdul muluk baru dijumpai di Jakarta pada tahun 1914. Waktu itu, pertunjukan ini masih diiringi alat musik sambayan, biola, kendang, kempul, dan tambur barongsai.
Tahun 1920 terjadi sedikit perubahan, khususnya di bagian layar. Semula, pertunjukan dilangsungkan di belakang layar dengan rangkaian manik-manik disusun menyilang diagonal, kemudian diganti layar yang digambar. Perubahan juga ditemukan pada komposisi instrumen musik dengan pergantian tambur barongsai dengan tambur tanji.
Berlanjut di tahun 1922, alat musik sambayan diganti dengan harmonium. Adegan perang juga mulai ditampilkan dengan senggal-senggol. Hal ini yang kemudian membuat pertunjukan ini sering disebut dengan wayang senggol. Baru tahun 1926, nama lenong muncul ketika iringan musiknya diganti menjadi gambang kromong.
Semenjak tahun 1930, nama lenong kian dikenal banyak orang. Gambang kromong sebagai instrumen musik yang mengiringi terdiri dari gambang, suling, tekyang, kongan yan, sukong, kempul, cecer, kromong, dan gong. Cerita yang dipentaskan berupa lakon-lakon jagoan cerita rakyat daerah setempat dan dipelopori oleh Grup Lenong Si Ronda dari Curug.
Dari cerita itu, lenong dibagi dua, yaitu lenong dines dan lenong preman. Lenong dines membawakan cerita kehidupan raja-raja zaman dahulu, baik cerita dari dalam maupun luar negeri. Nama dines berkembang dari kostum yang dipakai pemainnya ketika pentas, yaitu pakaian dinas atau baju kebesaran seperti pakaian sultan. Sementara lenong preman membawakan lakon cerita rumah tangga dengan kostum seperti orang Betawi dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap cerita yang dimainkan tidak pernah lepas dari muatan humor. Dalam buku Teater Lenong Betawi (Ninuk Kleden, 1996) disebutkan, humor dalam kebudayaan Betawi merupakan wujud ungkapan emosi. Diketahui sejak awal abad XX, sistem tanah partikelir mulai diberlakukan di Batavia, yang membuat warga Betawi semakin tertekan. Humor hadir sebagai penyeimbang kehidupan sekaligus bentuk pengingkaran dari realitas ketertekanan yang sedang mereka dihadapi.
Gelak tawa penonton pun berlangsung lama sebab kala itu lenong digelar semalam suntuk. Contohnya, perkumpulan lenong Setia Kawan dari Ciputat, Tangerang Selatan, biasa memulai pertunjukan pukul 22.00 dan berhenti beberapa menit sebelum waktu shalat Subuh tiba. Pertunjukan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pembukaan yang berisi lagu-lagu instrumentalia, hiburan berupa pertunjukan nyanyi orkes dan joget, serta terakhir lakon atau cerita.
Dari ketiganya, hiburan merupakan segmen yang paling disukai para seniman lenong. Pada bagian ini, mereka dapat memperoleh rezeki dari saweran para penonton. Tradisi sawer memang tidak lepas dari pertunjukan lenong. Sebab, pada tahun itu, selain dari undangan untuk memeriahkan acara hajatan, lenong dapat terus bertahan juga dari mengamen di pinggir jalan.
Tahun 1950-an, lenong mulai dijauhi penonton. Dalam kajian Dinamika Kesenian Lenong Betawi 1970-1990 (Ary Setyaningrum, 2011) disebutkan, waktu itu sudah banyak orang bekerja di kantor. Akibatnya, kian banyak orang tidak punya cukup waktu menonton lenong semalam suntuk. Ditambah lagi tanah lapang semakin berkurang karena tingginya arus urbanisasi. Masyarakat juga lebih memilih pertunjukan layar tancap sebab biayanya lebih murah.
Sejak saat itu, lenong seakan mati suri. Namun, lenong mulai bangkit kembali setelah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki (TIM) tahun 1968. Acara ini digagas oleh sejumlah seniman Betawi, yaitu S M Ardan, Sumantri Sastrosuwondo, Djadoek Djajakusuma, dan Alwi Shahab. Demi menciptakan pertunjukan yang menarik, durasi lenong pun dipersingkat dari semula delapan jam menjadi dua hingga tiga jam saja.
Pertunjukan di TIM membawa dampak besar bagi lenong Betawi. Kesenian ini mendapat apresiasi dan banyak ditonton masyarakat luas. Bahkan, sejak tahun 1970-an, pertunjukan lenong kian terkerek setelah disiarkan di TVRI. Di acara itu, deretan artis Betawi menghibur pemirsa televisi dengan banyolan-banyolan kocaknya. Mereka di antaranya Bokir, Mpok Siti, Nasir, Anen, dan Mandra.
Lenong masa kini
Mirip ketika tahun 1950-an pertunjukan layar tancap mulai menggerus keberadaan lenong, saat ini lenong makin tersisihkan oleh banyaknya pilihan hiburan yang tersedia di berbagai media. Intensitas warga menonton lenong pun semakin berkurang. Hal ini terekam dari hasil survei telepon Litbang Kompas pada 17-18 Juni 2020 terhadap 530 responden di Jabodetabek.
Dalam satu tahun terakhir, sangat jarang ada warga yang berkesempatan menyaksikan pertunjukan lenong Betawi. Sebagian besar responden (66 persen) terakhir menonton lenong lebih dari satu tahun yang lalu dan 17,2 persen lainnya bahkan tidak pernah menonton sama sekali. Sementara itu, hanya 16,4 persen responden yang mengatakan pernah menonton kurang dari enam bulan terakhir.
Sedikitnya frekuensi warga menonton pertunjukan lenong bukan tanpa sebab. Minimnya penyelenggaraan lenong menjadi alasan yang paling banyak dilontarkan responden (30,9 persen). Selanjutnya disusul kurangnya regenerasi seniman lenong (29,6 persen), banyaknya pertunjukan teater modern (24,9 persen), dan ada juga yang menilai kemasan pergelaran lenong kurang menarik (11,5 persen).
Hal ini pun diakui seniman penggiat lenong. Pendiri Perkumpulan Lenong Haji Saran (LHS), Saran Abraham, misalnya, mengatakan, semakin hari semakin sedikit orang yang menganggap lenong (Kompas.id, 7/3/2017). Padahal, sepuluh tahun yang lalu, LHS sering tampil di TVRI dan Banten TV untuk mengisi acara Ledek, Lenong Demokrasi hingga 32 episode.
Selain lenong, saat itu LHS juga ditanggap untuk memainkan kromong dangdut atau krodut. Beberapa tahun terakhir, Saran dan kelompoknya memang sengaja banyak mengaransemen krodut. Tujuannya, agar lagu-lagu Betawi lebih enak didengar, khususnya bagi generasi muda. Melalui aransemen krodut, unsur dangdut dimasukkan ke dalam lagu Betawi dan dinyanyikan sambil berjoget.
Walau tidak lagi menjadi sumber mata pencarian, LHS tetap eksis untuk terus melestarikan kesenian budaya Betawi. Sementara itu, untuk menyambung hidup sehari-hari, Saran membuka usaha servis televisi. Begitu juga anggota perkumpulan lainnya, mereka bekerja sebagai guru, karyawan, tukang ojek, kuli bangunan, tukang pompa, hingga penjual nasi uduk.
Meski tidak sejaya dahulu, lenong Betawi tetap digemari banyak warga. Terlihat dari berbagai jenis kesenian tradisional Betawi, lenong menduduki peringkat pertama yang paling banyak disukai, yaitu sebanyak 47,2 persen responden. Selanjutnya baru tari-tarian, seperti yapong dan japin (17,2 persen); seni topeng, seperti ondel-ondel dan blantek (16,2 persen); serta musik Betawi (8,9 persen).
Tidak hanya disukai, mayoritas responden (88,5 persen) juga menyatakan tertarik menyaksikan pertunjukan lenong. Ketertarikan ini merata di semua kelompok usia, dari muda hingga tua. Lebih dari 80 persen responden di setiap kelompok usia kurang dari 26 tahun, 26-35 tahun, 36-45 tahun, 46-55 tahun, dan lebih dari 55 tahun menunjukkan hal itu.
Dua hal ini ini terbukti ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyelenggarakan nonton lenong bersama Gubernur DKI Anies Baswedan dan Bang Japar pada 13 September 2019. Lenong yang diselenggarakan malam hari di Lapangan Balai Kota, Gambir, Jakarta Pusat, itu pun ramai dipadati penonton dari sejumlah daerah.
Setelah pertunjukan itu usai, harapan baru bagi lenong Betawi kembali muncul, seiring dengan rencana Gubernur Jakarta yang hendak menggelar lenong secara rutin di tempat yang sama. Tujuannya tidak berbeda dengan yang hingga kini terus diusahakan Saran dan kelompoknya, yaitu demi melestarikan kebudayaan Betawi.
Perjalanan panjang telah dilalui teater tradisional rakyat ini. Jatuh bangun dan berbagai transformasi senantiasa mengiringi hingga tetap eksis di zaman sekarang. Tidak mudah memang bersaing di tengah munculnya bermacam pilihan hiburan modern. Namun, secercah cahaya akan terus bersinar untuk lenong Betawi seiring banyaknya warga yang masih selalu menantinya. (LITBANG KOMPAS)