Ujian ”Jogo Tonggo” Melawan Covid-19
Efektivitas program ”Jogo Tonggo” di Jawa Tengah kini tengah diuji. Angka kumulatif kasus positif dan korban meninggal akibat Covid-19 di provinsi ini meningkat cukup besar mendekati masa Lebaran.
Angka kasus positif dan kematian akibat Covid-19 di Provinsi Jawa Tengah menunjukkan peningkatan sepanjang periode mudik, merujuk pola mudik Lebaran tahun-tahun sebelumnya.
Pada akhir April lalu, total jumlah positif Covid-19 di Jateng sekitar 665 kasus yang tersebar di 31 kabupaten/kota di Jateng. Kala itu ada sejumlah kabupaten belum ditemukan kasus positif Covid-19, antara lain Kabupaten Brebes.
Namun, data per 26 Mei 2020 menunjukkan, kasus positif Covid-19 di Jateng meningkat dua kali lipat menjadi 1.371 kasus. Penyakit akibat Covid-19 juga sudah tersebar di seluruh kabupaten/kota di provinsi ini.
Laman publikasi data kasus Covid-19 Jawa Tengah beberapa waktu belakangan memperkuat indikasi keterkaitan antara masa mudik Lebaran dan kasus ini. Selama 12 hari terhitung sejak H-10 sampai dengan Lebaran hari kedua, angka kumulatif kasus positif Covid-19 di Jateng naik dari 905 kasus menjadi 1.348 kasus. Sepanjang periode itu saja terjadi peningkatan 443 kasus baru Covid-19. Jika dirata-rata, setiap hari ada sekitar 36 kasus baru positif Covid-19.
Angka tersebut terbilang cukup tinggi jika melihat kembali tren ke belakang. Sekitar sebulan sebelumnya, peningkatan kasus harian Covid-19 di Jateng rata-rata berada baru sebanyak 29 kasus.
Sementara itu, data kumulatif Covid-19 juga menunjukkan 10 korban baru yang meninggal di Jateng akibat virus ini. Data kumulatif tersebut juga terhitung sejak H-10 hingga Lebaran hari kedua. Hal itu berarti, setiap satu atau dua hari sekali selalu saja ada korban meninggal akibat Covid-19 di provinsi ini.
Sebuah ironi
Data kasus positif Covid-19 dan korban meninggal di Jateng yang meningkat cukup signifikan seakan menjadi sebuah ironi. Pasalnya, sejak 27 April 2020, atau sekitar sebulan Lebaran, Pemerintah Provinsi Jateng telah menjalankan program yang dinamakan ”Jogo Tonggo” untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Program Jogo Tonggo tersebut mulai dilaksanakan di wilayah Semarang Raya. Kawasan ini meliputi Kota Semarang, Kota Salatiga, serta Kabupaten Semarang, Demak, Kendal, dan Grobogan.
Pemerintah Kota Semarang dalam siaran pers 24 April 2020 meyakini, penyebaran Covid-19 akan lebih efektif jika dilaksanakan dalam cakupan wilayah kecil, yakni desa atau kampung. Pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diyakini lebih sulit dikelola mengingat luasnya cakupan daerah yang harus diawasi.
Baca juga : Belum Akan Berlakukan PSBB, Semarang Raya Andalkan ”Jogo Tonggo”
Dalam program Jogo Tonggo itu, semua warga masyarakat dilibatkan. Mulai dari remaja karang taruna, kelompok Dasa Wisma, posyandu, bidan desa, penyuluh pertanian, Linmas, warga di tingkat RW, hingga lembaga atau organisasi di luar wilayah RW yang terkait pencegahan Covid-19.
Kelompok Satgas Jogo Tonggo ini bertugas memastikan bahwa warga setempat bergotong royong melawan penyebaran dan penularan Covid-19 di wilayahnya. Selain itu, juga memastikan dukungan dari luar wilayahnya untuk melawan Covid-19 tepat sasaran dan tepat guna.
Namun, kasus Coid-19 yang masih terus bertambah di Jawa Tengah memunculkan pertanyaan terhadap efektivitas program Jogo Tonggo yang sudah dilaksanakan sejauh ini. Program yang berbeda dengan PSBB itu nyatanya juga belum optimal dalam menekan penyebaran virus.
Dipatahkan pemudik
Melihat tren kasus Covid-19 di Jateng, rasanya tidak berlebihan jika spirit solidaritas masyarakat untuk saling membantu mencegah penyebaran Covid-19 lewat Jogo Tonggo sedikit banyak ”dipatahkan” oleh arus mudik Lebaran.
Pada 23 April 2020, sehari sebelum larangan mudik diberlakukan, jumlah pendatang yang sudah tiba di Jateng mencapai 676.178 orang. Jadi, dengan diberlakukannya larangan mudik sejak 24 April 2020, idealnya jumlah pendatang tersebut akan berhenti. Kalaupun bertambah, jumlahnya relatif tidak banyak. Itu pun para pendatang yang kemungkinan berasal dari daerah non-PSBB atau bukan zona merah penularan.
Namun, data yang ada mencerminkan fakta yang tidak sama. Sehari setelah hari raya Idul Fitri, pada 25 Mei 2020, akumulasi jumlah perantau yang sudah tiba di kampung halamannya di Jateng mencapai 905.032 orang.
Bila angka tersebut dikurangkan dengan jumlah pendatang sebelum pelaksanaan larangan mudik pada 23 April, ada selisih setidaknya 228.000 orang. Angka 228.000-an pendatang inilah yang terindikasi melanggar larangan mudik Lebaran dari pemerintah, terlebih jika mereka berasal dari daerah zona merah Covid-19.
Merinci dari moda transportasi yang digunakan para pendatang tersebut, ternyata kendaraan pribadi mendominasi. Pada kurun 24 April-25 Mei, setidaknya sudah ada 179.880 orang tiba di Jateng yang menggunakan kendaraan pribadi.
Jumlah ini hampir lima kali lipatnya jumlah pemudik yang menggunakan transportasi umum pada masa larangan mudik yang sekitar hampir 49.000 orang. Data yang ada setidaknya memberikan gambaran bahwa para pemudik tetap memaksa pulang melalui berbagai cara.
Indikasi melonjaknya kasus Covid-19 yang disebabkan mobilitas temporer para pemudik dapat disimak dari temuan kasus yang dipublikasikan di media massa. Misalnya saja dua santri di Temboro, Jawa Timur, yang nekat pulang ke Blora ternyata terbukti positif Covid-19.
Pemberitaan lain menunjukkan sejumlah pemudik dari wilayah Jabodetabek yang masing-masing pulang ke Kabupaten Banyumas dan Grobogan ternyata juga dinyatakan positif Covid-19 setibanya di kampung halaman. Bahkan, ada pula pemudik dari Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Tengah, yang meninggal di Jateng dengan status terbukti positif Covid-19.
Celah kebijakan
Semenjak angkutan umum diizinkan kembali beroperasi, semua moda transportasi mengalami lonjakan penumpang. Pada kurun 7-24 Mei, bus sudah membawa penumpang ke Jateng sekitar 14.300 orang; kereta api 220-an orang; angkutan laut 1.617 orang; dan pesawat 1.700-an orang. Angka ini melonjak relatif signifikan. Terutama bagi moda selain bus umum yang totalitas berhenti beroperasi sejak 24 April-6 Mei akibat aturan larangan mudik.
Dari 35 kabupaten/kota di Jateng, setidaknya ada tiga kabupaten yang kedatangan perantau terbanyak pada masa larangan mudik sudah diterapkan. Daerah tersebut adalah Kabupaten Wonosobo, Brebes, dan Pemalang. Ketiga daerah ini kedatangan perantau masing-masing lebih dari 20.000 orang sejak 24 April lalu.
Banyaknya pemudik, khususnya melalui sarana transportasi umum ke Jateng, patut menjadi perhatian. Apakah benar semua penumpang itu tidak mempunyai tujuan pulang ke kampung halaman? Benarkah mereka telah membekali diri dengan segala persyaratan protokol kesehatan yang diwajibkan?
Dua pertanyaan ini paling tidak menjadi sebuah awalan untuk melihat sejauh mana sinergi penanganan pandemi Covid-19 antara pemerintah pusat dan daerah. Sangat mungkin terjadi, Covid-19 yang melonjak di Jateng bukan semata karena gagalnya program Jogo Tonggo.
Penting disadari, sebaik apa pun upaya di daerah tak akan berjalan optimal tanpa dukungan pemerintah pusat. Lebih jauh, semangat berbasis kultur dan semangat kebersamaan saling menjaga tetangga mungkin juga memiliki dua sisi. Pada satu sisi, semangat kebersamaan bisa menjadi kekuatan keberhasilan program Jogo Tonggo. Namun, pada sisi lain basis kebersamaan dalam konteks kultur juga mengedepankan tenggang rasa. Sikap tenggang rasa inilah yang rasanya tengah diuji dalam konsistensi program Jogo Tonggo mengingat masyarakat harus menjaga kesehatan bersama sekaligus berhadapan dengan ketidakpatuhan tetangga mereka sendiri. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Menguji Nilai Sosial Jogo Tonggo