Merawat Marwah Demokrasi
Meski partisipasi masyarakat relatif tinggi, 15 tahun terakhir ini, demokrasi Indonesia cenderung dinilai stagnan, bahkan mundur, dalam menopang laju demokrasi. Tak ada pilihan kecuali merawat marwah demokrasi itu.
Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri. Tetapi, setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan. (Mohammad Hatta, 1960)
Jelang akhir pemerintahan Soekarno, Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama, yang mendampingi Presiden Soekarno pada awal kemerdekaan RI, melontarkan kritik tentang semangat ultrademokratis yang tumbuh di dalam pemerintahan pada saat itu. Sistem demokrasi terpimpin yang dianut Soekarno seakan menjadi cobaan bagi Indonesia yang masih berupaya menciptakan pemerintahan stabil setelah melalui gejolak revolusi. Hatta secara tegas menggambarkan kondisi saat itu sebagai ”krisis dari demokrasi, atau demokrasi di dalam krisis”.
Menurut Hatta, ada satu perbedaan mendasar antara pemimpin Indonesia sebelum dan setelah periode revolusi, yakni pemahaman dalam praktik berdemokrasi. Jika pada awal kemerdekaan setiap orang dapat bertanggung jawab pada setiap amanah yang diemban, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia tahun 1949, syarat-syarat untuk membangun praktik demokrasi alpa dalam tindakan.
Bisa jadi, stagnasi demokrasi yang dialami Indonesia enam dekade silam kembali terulang jika semangat dan cita-cita reformasi tak lagi digubris di ruang publik. Gelora demokrasi yang membubung tinggi pada awal reformasi bisa saja padam sehingga berdampak pada regresi demokrasi sekarang ini.
Memori kolektif tentang esensi reformasi perlu dirawat untuk memberi daya lenting bagi perkembangan demokrasi di Indonesia saat ini. Kebebasan masyarakat sipil hingga transformasi budaya politik menjadi sektor kunci yang perlu segera dibenahi demi mewujudkan cita-cita reformasi.
Reformasi bukanlah ekses tentang pergantian rezim belaka. Di baliknya terselip cita-cita besar tentang jaminan kebebasan berpendapat, supremasi hukum, serta perubahan budaya politik dan birokrasi pada kalangan elite. Cita-cita ini dibalut pada satu semangat yang sama dalam bingkai demokrasi.
Persis seperti semangat pemerintahan pada awal periode kemerdekaan, buah dari semangat reformasi juga dirasakan sejak tahun pertama pergantian rezim. Di bawah kepemimpinan Bacharuddin Jusuf Habibie, beberapa kebijakan penting dilahirkan, seperti jaminan kebebasan pers, pembentukan partai politik, dan pembebasan tahanan politik. Praktis, kebijakan ini menjadi pintu pembuka bagi perbaikan demokrasi di Indonesia.
Gerbang demokrasi semakin terbuka lebar pada masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Pluralisme yang digaungkan mampu memberikan rasa nyaman bagi setiap etnis dan pemeluk agama. Terbitnya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Instruksi Presiden (Inpres) No 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China menjadi penegas, keberagaman adalah hal mutlak yang harus dihargai.
Demokrasi semakin berkembang pesat saat Indonesia melaksanakan pemilihan presiden secara langsung di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Untuk pertama kali dalam sejarah, rakyat Indonesia memilih secara langsung presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2004.
Demokrasi semakin berkembang pesat saat Indonesia melaksanakan pemilihan presiden secara langsung di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Untuk pertama kali dalam sejarah, rakyat Indonesia memilih secara langsung presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2004.
Beragam kebijakan yang dilahirkan bersamaan dengan semangat reformasi mampu mendongkrak iklim demokrasi Indonesia saat itu. Menurut catatan The V-Dem Institute, salah satu lembaga penelitian independen di Departemen Ilmu Politik Universitas Gothenburg, Swedia, indeks kebebasan sipil, partisipasi masyarakat sipil, akses keadilan, dan kebebasan berdiskusi meningkat tajam pada pancawarsa pertama reformasi.
Baca juga : Resesi Demokrasi
Kebebasan sipil
Sayangnya, semangat reformasi tak bertahan lama dalam membentuk iklim demokrasi. Dalam 15 tahun terakhir, demokrasi Indonesia cenderung berjalan di tempat, bahkan mengalami kemunduran di beberapa sektor penting yang semestinya menjadi penopang perkembangan demokrasi.
Potret kemunduran demokrasi salah satunya terekam dalam indeks demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit. Setelah sempat mengalami perbaikan pada beberapa tahun silam, indeks demokrasi Indonesia perlahan mulai mengalami penurunan.
Setelah sempat mengalami perbaikan pada beberapa tahun silam, indeks demokrasi Indonesia perlahan mulai mengalami penurunan.
Pada 2019, indeks demokrasi Indonesia mencapai 6,48 dan menduduki peringkat ke-64 dari 167 negara. Dengan capaian ini, Indonesia masuk pada kategori demokrasi cacat atau flawed democracy. Jika dibandingkan negara lain, indeks demokrasi Indonesia lebih rendah dibandingkan Timor Leste (7,19), Malaysia (7,16), dan Filipina (6,64).
Kebebasan masyarakat sipil menjadi salah satu pendorong kemunduran demokrasi. Kondisi senada juga diungkapkan dalam indikator yang dirilis The V-Dem Institute dan Badan Pusat Statistik. Jika merujuk pada indeks demokrasi Indonesia yang dirilis BPS 2018, kebebasan berpendapat perlu menjadi catatan khusus. Pasalnya, variabel ini menjadi yang terendah dalam indeks demokrasi pada aspek kebebasan sipil, bahkan nyaris menyentuh level kategori buruk.
Berdasarkan indeks penegakan hukum yang dirilis The World Justice Project pada 2019, Indonesia menempati posisi ke-102 dari 126 negara pada aspek peradilan sipil.
Satu hal lain yang juga perlu dicermati dalam kebebasan masyarakat sipil adalah supremasi hukum. Berdasarkan indeks penegakan hukum yang dirilis The World Justice Project pada 2019, Indonesia menempati posisi ke-102 dari 126 negara pada aspek peradilan sipil. Indikator ini digunakan untuk mengukur sistem peradilan sipil yang dapat diakses dan terjangkau masyarakat sipil serta bebas dari diskriminasi dan korupsi. Kondisi ini menunjukkan banyak persoalan yang perlu dituntaskan demi menjaga hak masyarakat sipil dalam alam demokrasi.
Baca juga : Menimbang Politik Digital
Budaya politik
Selain kebebasan sipil, budaya politik yang belum seutuhnya bertransformasi turut menjadi batu sandungan perkembangan demokrasi. Maraknya praktik korupsi di berbagai lini menjadi penanda bahwa semangat reformasi yang digaungkan seakan mulai memudar. Lihat saja laporan Komisi Pemberantasan Korupsi yang mencatat praktik rasuah ini masih jamak terjadi di lingkungan eksekutif dan legislatif, baik di tingkat pusat maupun kabupaten/kota.
Jika merujuk indeks persepsi korupsi yang dirilis Transparency International, memang terjadi tren perbaikan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Artinya, penanganan korupsi mulai membuahkan hasil. Terakhir, pada 2019, Indonesia berada pada peringkat ke-85 dari 180 negara yang disurvei dengan capaian indeks 40 dari 100. Meski demikian, agenda pemberantasan korupsi tak dapat dikatakan tuntas mengingat masih maraknya laporan terkait korupsi yang diterima KPK dari masyarakat.
Selain korupsi, narasi lain, seperti politik identitas dan politik transaksional hingga akar rumput, juga masih menjadi tantangan mewujudkan cita-cita reformasi. Bagaimanapun, transformasi budaya politik sangat dibutuhkan demi mempercepat perkembangan demokrasi.
Harapan
Di balik sejumlah stagnasi dan tantangan, Indonesia masih memiliki harapan besar pada perkembangan demokrasi di masa datang. Dari aspek pemilu, tingginya partisipasi pemilih di Pemilu 2019 yang mencapai 81,87 persen menjadi harapan bahwa publik peduli pada proses transformasi politik. Asa lain soal perkembangan demokrasi juga dapat digantungkan pada gerakan masyarakat sipil. Meski sempat meredup, gerakan masyarakat ini masih menjadi tumpuan harapan. Apalagi, aspek partisipasi masyarakat sipil relatif terjaga lima tahun terakhir ini. Jajak pendapat Litbang Kompas pada Februari 2020 merekam, Indonesia masih membutuhkan gerakan masyarakat sipil yang kuat untuk mengawal pemerintahan.
Bagaimanapun, marwah demokrasi harus dirawat agar ia tidak sekadar prosedural, tetapi juga substansial karena menjadi penopang utama terwujudnya cita-cita reformasi 22 tahun silam. Demokrasi harus tetap hidup dan bersisian dengan cita-cita kesejahteraan rakyat, persis seperti yang diungkapkan Mohammad Hatta enam dekade silam, ”Demokrasi di sini berurat berakar di dalam pergaulan hidup. Sebab itu, ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya.”
Baca juga : Kebebasan Sipil dan Lembaga Demokrasi Meningkat