Pemberian bansos marak di tengah pandemi Covid-19. Publik berharap aktivitas ini tidak dikaitkan dengan agenda politik dan pencitraan. Pengawasan menjadi penting agar bantuan ini tetap jadi bagian dari kerja kemanusiaan.
Oleh
Eren Marsyukrilla/ Litbang Kompas
·5 menit baca
Munculnya persoalan pemberian bantuan sosial atau bansos oleh sejumlah elite politik membuka wacana soal potensi kepentingan politik di balik itu. Tentu saja, politisasi ini mencederai maksud baik dari program yang diselenggarakan pemerintah. Praktik politisasi bansos ini dinilai tak etis dan tak peka terhadap masa sulit yang tengah dilalui warga selama pandemi.
Hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas merekam, sekitar 79 persen responden tidak setuju jika pemberian bansos disusupi kepentingan politis. Pandemi Covid-19 diharapkan tidak digunakan sebagai momentum cari simpati.
Bukannya simpati elektoral yang didapat, tindakan memolitisasi bansos justru menggulirkan persoalan baru. Di Klaten, Jawa Tengah, misalnya, bansos yang dibagikan mendadak viral dan menjadi bulan-bulanan warganet akibat dipenuhi gambar kepala daerah yang disinyalir akan maju kembali pada pilkada serentak 2020.
Sekitar 79 persen responden tidak setuju jika pemberian bansos disusupi kepentingan politis. Pandemi Covid-19 diharapkan tidak digunakan sebagai momentum cari simpati.
Dugaan politisasi bansos serupa terjadi di beberapa wilayah lainnya, seperti Kota Bandar Lampung, Kabupaten Way Kanan, dan Kabupaten Lampung Tengah di Provinsi Lampung, Kabupaten Kaur (Bengkulu), Kabupaten Sumenep (Jawa Timur), dan sejumlah daerah di Sumatera Selatan dan Sumatera Utara.
Kasus ini tentunya mengganggu kepercayaan publik pada kerja pemerintah dalam memberikan bantuan kepada warga terdampak yang memang membutuhkan. Alhasil, 75,8 persen responden mengaku tidak yakin jika bansos yang diberikan politisi atau calon yang akan maju pilkada tidak bermuatan kepentingan.
Lain daripada itu, praktik politisasi bansos juga menumbuhkan kecurigaan publik bahwa bantuan yang diberikan pun tak akan terdistribusi dengan merata. Lebih dari 74,2 persen responden mengaku tidak yakin bantuan yang diberikan dapat tepat sasaran.
Pemanfaatan bansos sebagai sarana kampanye tidak hanya menguak buruknya kualitas para elite dalam pertarungan pemilihan, tetapi juga merusak pelaksanaan program sosial yang telah direncanakan secara apik.
Seperti diketahui, pemerintah pusat telah menyiapkan jaring pengaman sosial yang terdiri dari bansos reguler, seperti program kebutuhan pokok (20 juta KPM/keluarga penerima manfaat) dan Program Keluarga Harapan (10 juta KPM), serta subsidi listrik (31,4 juta KPM). Selain itu, ada pula bansos lainnya dari setiap daerah yang berupa bantuan kebutuhan pokok ataupun uang tunai.
Penyaluran bansos sebagai realisasi dari program jaring pengaman sosial selama pandemi memang menyisakan banyak pekerjaan rumah. Mulai dari pendataan, ketepatan target penerima, hingga penyaluran. Praktik politisasi bansos hanya kian memperberat kerja pemerintah dalam membantu masyarakat di tengah kesulitan menghadapi wabah.
Penundaan pilkada
Bermunculannya kasus politisasi bansos tidak terlepas dari momentum Pilkada 2020. Namun, sejak pandemi Covid-19, tahapan pilkada serentak dihentikan. Harapannya, selain menghindari ketakefektifan kerja dan ketidakvalidan proses, penundaan pilkada juga dilakukan agar semua pihak bisa lebih fokus pada penanganan Covid-19 dan menghindari konflik kepentingan saat kepala daerah menangani wabah.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, Senin (4/5/2020). Isinya, menunda pilkada hingga Desember 2020.
Pandemi Covid-19 menjadi alasan kuat penundaan itu. Sebelum resmi ditunda pun, segala aktivitas yang berhubungan dengan pilkada juga mulai menurun. Sebanyak 45,3 persen responden mengaku di wilayahnya tidak ada aktivitas sosialisasi dari bakal calon yang akan maju dalam pilkada.
Sebelum resmi ditunda pun, segala aktivitas yang berhubungan dengan pilkada juga mulai menurun. Sebanyak 45,3 persen responden mengaku di wilayahnya tidak ada aktivitas sosialisasi dari bakal calon yang akan maju dalam pilkada.
Meski demikian, perubahan pelaksanaan pilkada tak membuat bantuan kepada masyarakat menjadi sepi. Sekitar 70 persen responden mengaku di sekitar lingkungan tempat tinggalnya ada aktivitas pemberian berbagai bantuan, mulai dari kebutuhan pokok, hand sanitizer, hingga uang tunai.
Sejauh ini, hampir separuh responden (45,5 persen) mengakui, bantuan berasal dari pemerintah. Terdapat 20,7 persen responden yang mengatakan bantuan juga diberikan oleh organisasi kemasyarakatan. Meskipun demikian, pemberian bansos oleh bakal calon kepala daerah yang akan maju di daerahnya tetap ada meskipun tidak terang-terangan.
Terlepas dari praktik politisasi bansos, respons publik terhadap bantuan berupa kebutuhan pokok dan lain sebagainya terlihat cukup positif. Tidak kurang dari 54 persen responden mengaku akan menerima jika ditawari bantuan tanpa melihat calon kepala daerah yang memberi. Hanya sekitar 27 persen responden yang menyatakan akan menolak bantuan.
Tidak kurang dari 54 persen responden mengaku akan menerima jika ditawari bantuan tanpa melihat calon kepala daerah yang memberi. Hanya sekitar 27 persen responden yang menyatakan akan menolak bantuan.
Karakter masyarakat seperti ini cukup membuat praktik bagi-bagi bantuan menjadi alat kampanye paling efektif dalam mendulang suara pemilih. Petahana terindikasi lebih banyak melakukan praktik ini.
Terkadang sulit bagi masyarakat mendeteksi secara gamblang bentuk politisasi bansos sebagai muatan kampanye atau hanya berupa imbauan dari seorang kepala daerah yang menjabat. Meski demikian, publik cukup khawatir (65,8 persen) atas penyalahgunaan bansos.
Secara aturan, politisasi bansos melanggar amanat UU Pilkada. Dalam Pasal 71 Ayat (3) UU No 10/2016 tentang Pilkada dijelaskan soal larangan kepala daerah menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain, dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
Terkait hal ini, semua pemangku kepentingan harus berperan mengawasi penyaluran bansos. Lebih dari 59 persen responden menyatakan, pengawasan dari Bawaslu terhadap praktik politisasi bansos belum optimal. Untuk itu, peran warga menjadi penting. Kuncinya adalah menumbuhkan kepedulian publik untuk mengawasi politisasi bansos meski tak mudah karena sikap permisif masyarakat yang masih tinggi. Sebagian besar responden (40,5 persen) dalam jajak pendapat ini mengaku cenderung akan membiarkan jika tahu ada politisasi bansos.
Sistem pengawasan yang ketat memang perlu dibangun untuk menekan penyalahgunaan dan penyelewengan bansos. Menguatkan pengawasan masyarakat menjadi agenda penting untuk membangun ruang partisipasi publik.