Pilihan menunda pelaksanaan pilkada selama tiga bulan, tepatnya menjadi tanggal 9 Desember 2020, belum dapat dipastikan. Semua tetap tergantung sejauh mana pandemi Covid-19 di Indonesia bisa segera teratasi.
Oleh
Yohan Wahyu
·5 menit baca
Kesepakatan antara pemerintah, penyelenggara pemilihan umum, dan Komisi II DPR masih menyisakan sikap yang mengambang. Pilihan menunda pelaksanaan pilkada selama tiga bulan, tepatnya 9 Desember 2020, belum dapat dipastikan. Semua tetap tergantung sejauh mana pandemi Covid-19 di Indonesia bisa segera teratasi.
Rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Menteri Dalam Negeri pada 14 April memutuskan opsi 9 Desember 2020 sebagai jadwal pengganti pelaksanaan pilkada serentak, yang semestinya dilakukan 23 September. Pilihan untuk mengundurkan waktu tiga bulan ini berpegang pada masa tanggap darurat dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang ditetapkan tanggal 29 Mei 2020.
Dengan asumsi tanggap darurat ini tak diperpanjang, maka tahapan pilkada bisa dilanjutkan dengan patokan pemungutan suara dilakukan pada 9 Desember 2020, sesuai opsi pertama dari rapat dengar pendapat itu. Namun, sejumlah pihak meragukan opsi pertama itu bisa dilakukan. Keraguan muncul mengingat potensi penularan Covid-19 masih ada, bahkan jumlah pasien yang positif terpapar virus korona baru penyebab Covid-19 meningkat, dengan rata-rata tiap hari secara nasional bertambah 300 orang.
Sejumlah pihak meragukan opsi pertama itu bisa dilakukan.
Penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah belum berjalan efektif. Bahkan, DKI Jakarta yang pertama kali menerapkan kebijakan itu harus memperpanjang pembatasan sosial hingga dua minggu ke depan.
Kondisi tersebut memunculkan ketidakpastian kapan waktu ideal pilkada dijalankan setelah diputuskan untuk ditunda. Dalam diskusi daring yang digelar Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Komisioner KPU Pramono U Thantowi menyatakan, tiga opsi yang diajukan penyelenggara pemilu tetap bergantung pada kapan pandemi mereda.
”Jika pandemi Covid-19 belum reda saat Desember, tentu opsi pertama tak bisa dilakukan,” ujar Pramono.
Tiga opsi tanggal pilkada yang diusulkan KPU ialah 9 Desember 2020, 17 Maret 2021, dan 29 September 2021. Ketiganya tak lepas dari perhitungan mengenai tahapan pilkada yang harus dilakukan.
Salah satunya adalah variabel pembentukan petugas ad hoc. UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menjelaskan, Petugas Pemungutan Kecamatan (PPK) dan Petugas Pemungutan Suara (PPS) harus sudah terbentuk enam bulan sebelum hari pemungutan suara. Artinya, penyelenggara pemilu harus menghitung mundur hari pemungutan suara untuk memenuhi syarat ini.
Pilkada serentak 2020 yang disepakati ditunda selama tiga bulan, sehingga pemungutan suara rencananya dilakukan 9 Desember 2020, masih dimungkinkan untuk diundur lagi. Seperti yang diutarakan penyelenggara pemilu, jika pandemi Covid-19 belum teratasi hingga batas waktu tahapan harus dimulai, dibuka peluang penundaan selambat-lambatnya tahun 2021.
Kepastian waktu pelaksanaan pilkada tetap mengedepankan Covid-19 sebagai variabel penentu. Hal ini juga disampaikan oleh Direktur DEEP Indonesia Yusfitriadi.
Ia mengingatkan, penundaan pilkada dilakukan karena ada wabah Covid-19. Artinya, pelaksanaan pilkada yang akan ditetapkan nanti mensyaratkan pandemi tersebut sudah selesai. “Aneh jika penundaan pilkada dilakukan karena ada wabah, tapi ternyata nanti pilkada tetap dilanjutkan dalam masa pandemi,” ungkapnya.
Hasil jajak pendapat Kompas menyebutkan, opsi penundaan pilkada dengan waktu yang lebih lama ketimbang waktu pilkada yang sudah dijadwalkan lebih banyak dipilih sebagai alternatif di tengah ketidakjelasan berakhirnya pandemi Covid-19. Opsi pilkada ditunda enam atau 12 bulan lebih banyak dipilih responden dibandingkan hanya ditunda tiga bulan seperti opsi pertama yang disepakati DPR, KPU, Bawaslu, dan Mendagri.
Sebanyak 36,9 persen responden memilih pilkada ditunda satu tahun dibandingkan waktu pilkada normal, yakni jatuh pada 23 September 2021. Adapun 32,3 persen responden memilih opsi penundaan pilkada selama enam bulan. Opsi pengunduran jadwal pilkada selama tiga bulan hanya dipilih 16,9 persen responden.
Opsi pilkada ditunda enam atau 12 bulan lebih banyak dipilih responden.
Kecenderungan tersebut boleh jadi tidak lepas dari masih berkecamuknya kecemasan warga. Sejumlah analisis menyebutkan, wabah ini bisa berlangsung sampai enam bulan, bahkan sampai akhir tahun.
Selain masa tanggap darurat yang menjadi dasar, opsi ini juga tak lepas dari amanah Pasal 201 ayat 6 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Di pasal tersebut, diatur bahwa pemungutan suara serentak pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada September tahun 2020.
Artinya, opsi pertama penundaan pilkada menjadi tanggal 9 Desember 2020 disepakati karena pasal Pasal 201 Ayat 6 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Jika opsi ini tidak bisa diwujudkan dan pilkada ditunda pada 2021, mau tak mau dibutuhkan perangkat hukum yang memayungi opsi penundaan tersebut. Salah satunya ialah Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang penundaan pilkada.
Ketua KPU Arief Budiman menyampaikan, perppu sudah harus terbit pada akhir April 2020. Dua syarat lainnya adalah masa tanggap darurat penyebaran Covid-19 berakhir 29 Mei 2020 dan pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 21/2020 terkait dengan PSBB sebelum dilanjutkannya tahapan pilkada (Kompas, 15/4/2020).
Perppu pilkada
Perppu tidak sekadar mengatur waktu penundaan pilkada. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Zulfikar Arse Sadikin menyebutkan, Perppu juga bisa menampung kebutuhan kampanye saat pandemi Covid-19.
“Kampanye melalui media sosial atau online bisa masuk dalam Perppu untuk menampung kebutuhan di situasi seperti ini,” ungkap Zulfikar dalam sesi diskusi daring “Pilkada Serentak 2022 di Tengah Pandemi Covid-19”, 21 April lalu.
Urgensi Perppu juga disampaikan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Network for Democracy and Electoral Integrity, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, serta Rumah Kebangsaan. Empat lembaga ini menyebutkan, ada sejumlah kekosongan hukum sehingga perppu penundaan pilkada penting diterbitkan oleh Presiden.
Dibutuhkan dasar hukum yang jelas agar tidak terjadi kesalahan dalam pertanggungjawaban keuangan negara. Hal-hal ini menjadi pertimbangan yang mendesak agar pelaksanaan pilkada lebih jelas dan tegas. (Litbang Kompas)