Jakarta, Mulai dari Seruan sampai Tanggap Darurat Korona
Peningkatan jumlah kasus yang terjadi setiap hari memaksa Pemprov DKI menerapkan status tanggap darurat bencana, mengeluarkan seruan kepada masyarakat untuk bekerja, beribadah, dan belajar di rumah.
Jakarta tak terelakkan lagi menjadi episentrum Covid-19. Ibu kota negara ini menjadi pintu masuk awal masyarakat dari berbagai penjuru. Peningkatan jumlah kasus yang terjadi setiap hari memaksa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan status tanggap darurat bencana serta mengeluarkan seruan untuk bekerja, beribadah, dan belajar di rumah.
Munculnya kasus Covid-19 pertama di Kota Depok menjadi peringatan awal merebaknya kasus pandemik virus ini di Jakarta. Pasien kasus 1 yang pertama kali positif Covid-19 diindikasikan terpapar virus dalam sebuah pertemuan di Kafe Amigos, Kemang, Jakarta Selatan.
Pasien 1 terpapar virus dari seorang warga Jepang yang tinggal di Malaysia yang disebut pasien kasus MY-24. Selanjutnya penularan tak terhindarkan hingga mencapai kasus 2, 3, 4, 5, 10, 11, 12, dan 13.
Kluster awal yang merebak di Jakarta berlangsung selama tujuh hari. Bermula dari tanggal 2 Maret saat kasus 1 dan 2 diumumkan oleh Presiden Joko Widodo hingga 9 Maret yang sampai ke pasien ke-13.
Itu baru kluster awal yang bermula dari sebuah kafe di Jakarta Selatan. Selanjutnya mulai muncul kluster-kluster penyebaran lainnya yang rata-rata merupakan kasus impor. Artinya, pasien terpapar virus setelah pulang bepergian dari luar negeri.
Hingga akhirnya sekarang, sejumlah kluster tak terdeteksi hingga mengakibatkan akumulasi kasus positif di Jakarta hingga 25 Maret 2020 menjadi 440 kasus. Dari 440 kasus tersebut, menurut laman corona.jakarta.go.id, 266 pasien masih dirawat, 24 pasien telah sembuh, 113 orang melakukan isolasi mandiri, dan 37 orang meninggal.
Pasien kasus positif tersebar di 185 kelurahan (dari 268 kelurahan) di Jakarta. Ada sejumlah kelurahan dengan jumlah pasien positif Covid-19 tertinggi, yakni 13 kasus di Kelurahan Pegadungan, Kalideres, 10 kasus di Kelurahan Tomang, Grogol Petamburan, dan 9 kasus di Kalideres.
Selain kasus positif, banyak juga kasus orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP). Jumlahnya terus meningkat dari 1 Maret hingga sekarang.
Tanggal 1 Maret saja, di Jakarta sudah ada 129 ODP yang memiliki gejala demam dan memiliki riwayat perjalanan ke negara yang mengalami pandemi Covid-19. Pada saat yang sama, ada 39 PDP yang memiliki gejala demam dan pneumonia sehingga harus dirawat serta memiliki riwayat perjalanan ke luar negeri dan pernah kontak dengan pasien positif.
Jumlah tersebut terus meningkat. Hingga 25 Maret 2020 pukul 12.00, ada 1.840 kasus ODP, dengan 457 pasien sudah selesai proses pemantauan. Untuk kasus PDP, dari 882 pasien yang dirawat, 290 orang sudah diperbolehkan pulang.
Kasus ODP dan PDP tersebar ke semua wilayah DKI Jakarta, kecuali Kepulauan Seribu. Kasus tertinggi ada di Jakarta Selatan, sebanyak 436 pasien, dan terendah di Jakarta Pusat (227 kasus). Ada pula 341 kasus dari luar DKI Jakarta yang dirawat di Jakarta dan 810 kasus yang tidak diketahui asalnya.
Penyakit Covid-19 di Jakarta terbanyak diderita oleh warga umur 30-39 tahun (610 kasus), diikuti oleh kategori umur di bawahnya (20-29 tahun). Hal ini mematahkan kajian sebelumnya bahwa virus korona lebih banyak menyerang usia lansia.
Potensi penyebaran
Melihat kasus awal penyebaran virus yang bermula dari warga negara Jepang yang datang ke Indonesia, Jakarta rentan menjadi pintu masuk penyebaran virus korona. Sebagai gambaran, pada tahun 2018 saja ada 7,8 juta penumpang dari penerbangan internasional, baik WNI maupun WNA, yang masuk melalui Bandara Soekarno-Hatta. Kemudian ada 21,3 juta penumpang domestik dari berbagai daerah di Indonesia.
Belum lagi penumpang domestik dari Bandara Halim Perdanakusuma yang mencapai 3,4 juta. Nilai tersebut menggambarkan banyaknya pergerakan manusia yang masuk ke Jakarta melalui transportasi udara. Dari transportasi laut, tercatat dalam Statistik Perhubungan 2018, ada 119.403 penumpang domestik dan internasional.
Itu baru manusia dari luar Jabodetabek yang masuk ke Jakarta. Bagaimana dengan para komuter Jabodetabek yang setiap hari bermobilitas dari wilayah Bodetabek ke Jakarta ataupun sebaliknya.
Survei Komuter 2019 mencatat, pergerakan komuter tertinggi yang masuk adalah dari Kota Bekasi (277.234 orang), diikuti 172.410 orang dari Kota Tangerang. Sebaliknya, 54.644 orang Jakarta lebih banyak bergerak ke Kota Tangerang.
Jika pergerakan ini menggunakan transportasi umum, sudah tentu berpotensi menjadi tempat penularan virus jika higienitas moda transportasi tidak dijaga. Mengutip pemberitaan Kompas, 19 Maret 2020, setidaknya ada 865.700 warga yang mengandalkan transportasi publik, yakni bus Transjakarta, kereta komuter, dan MRT.
Banyaknya sirkulasi orang di angkutan umum tersebut diikuti dengan potensi perpindahan beragam jenis/bakteri yang menempel di dalam angkutan ataupun sejumlah panel di halte, terminal, dan stasiun.
Jarak fisik
Jumlah kasus yang melonjak di Jakarta ini membuat Pemprov DKI membuat sejumlah kebijakan. Kebijakan itu antara lain pembatasan jam operasional angkutan publik seperti MRT, bus Transjakarta, dan KRL, seruan mengenai menjaga jarak aman antarwarga, peniadaan kegiatan peribadatan dan keagamaan, serta penghentian kegiatan perkantoran.
Kebijakan tersebut bermula pada 15 Maret. Saat itu di Jakarta ada 695 ODP dan 308 PDP. Dalam jangka waktu 14 hari, kasus Covid-19 sudah mencapai ratusan. Pemprov DKI awalnya menilai Jakarta sudah perlu melakukan lockdown demi menghindari penyebaran virus.
Namun, karena Pemprov DKI tidak memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut, Gubernur DKI Jakarta hanya melakukan imbauan agar warga tidak meninggalkan rumah, menghindari sejumlah tempat ramai, serta meminta warga tidak keluar Jakarta. Bersamaan dengan itu, Presiden Joko Widodo mengimbau warga supaya bekerja, belajar, dan beribadah di rumah saja sebagai bentuk antisipasi penyebaran virus.
Namun, rupanya, bentuk antisipasi untuk menjaga jarak aman antarwarga yang diambil Pemprov DKI Jakarta adalah pembatasan jam operasional Transjakarta dan MRT pada Senin, 16 Maret 2020. Bus Transjakarta hanya akan mengoperasikan armada di 13 rute dengan jam operasional pukul 06.00-18.00. Sementara MRT hanya akan beroperasi pukul 06.00-18.00 dengan empat gerbong.
Keputusan Pemprov DKI tersebut sontak menimbulkan protes dari pengguna angkutan publik. Pemandangan antrean penumpang yang mengular memasuki halte ataupun stasiun terlihat di sejumlah tempat. Hal tersebut bertentangan dengan imbauan pembatasan sosial (social distancing) yang sebelumnya disebutkan Pemprov DKI. Akhirnya, pada sore hari, jadwal dikembalikan seperti biasa.
Hal tersebut terjadi saat kebijakan pembatasan operasional angkutan umum tidak diikuti oleh imbauan penutupan kegiatan perkantoran ataupun perdagangan/jasa. Hampir semua kegiatan perkantoran masih menerapkan sistem bekerja di kantor bagi seluruh karyawannya sehingga pembatasan angkutan umum malah menimbulkan masalah baru.
Akhirnya, saat kasus Covid-19 di Jakarta semakin tinggi, Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Seruan Gubernur Nomor 4 Tahun 2020 mengenai menjaga jarak aman antarwarga. Dalam surat seruan tersebut disebutkan, untuk menjaga jarak aman, tidak diperkenankan keluar rumah dan keluar kota, menunda kegiatan yang terkait dengan pengumpulan orang seperti resepsi, serta kegiatan belajar-mengajar di sekolah dan di kampus dilakukan di rumah.
Kegiatan keagamaan dan peribadatan juga diminta dilakukan di rumah masing-masing yang diatur sendiri dalam Seruan Nomor 5 Tahun 2020. Selain meniadakan kegiatan peribadatan dan kegamaan, juga diminta untuk menyiapkan dan menyebarkan panduan bagi penyelenggara ibadah dan umat untuk melaksanakan ibadah di rumah.
Surat seruan tersebut dilanjutkan dengan terbitnya Instruksi Gubernur Nomor 23 Tahun 2020 yang lebih ditujukan kepada kepala daerah serta camat di Jakarta. Camat diimbau melakukan pemetaan dan pendataan warga yang sedang atau telah melakukan perjalanan dari luar negeri untuk meminimalkan penyebaran virus.
Operatur angkutan umum Transjakarta dan MRT akhirnya memilih menerapkan jarak aman antarpenumpang ketimbang membatasi jam operasional. Seperti yang dilakukan MRT dengan memasang tanda jarak berdiri di tiap pintu masuk dan tanda selang-seling yang ditempel di punggung kursi penumpang kereta. Bus Transjakarta mengatur jarak antrean penumpang serta memasang tanda silang di lantai bus dan di kursi penumpang.
Hingga akhirnya, pada 20 Maret, Pemprov DKI mengeluarkan Keputusan Gubernur DKI Nomor 337 Tahun 2020 tentang status tanggap darurat bencana wabah Covid-19 selama 20 Maret hingga 2 April 2020. Hal tersebut dilakukan saat kasus Covid-19 semakin meningkat drastis. Tercatat ada 1.209 kasus ODP, 505 kasus PDP, dan 226 kasus positif.
Salah satu konsekuensi dari status tanggap darurat bencana tersebut, Pemprov DKI menghentikan sementara kegiatan perkantoran. Tempat hiburan seperti kelab malam, bar, griya pijat, karaoke, pertunjukan musik, bioskop, serta tempat biliar dan boling juga ditutup sementara.
Penutupan kegiatan perkantoran membuat sebagian karyawannya harus bekerja dari rumah atau membatasi kegiatan di kantor. Adapun penutupan tempat hiburan akan berdampak pada sekitar 30.000 tenaga kerja yang dirumahkan sementara.
Sejumlah langkah Pemprov DKI Jakarta tersebut dilakukan sebagai upaya mencegah penularan virus korona. Namun, rupanya pelaksanaannya tidak mudah. Tidak semua perusahaan bisa melaksanakan sistem bekerja dari rumah (work from home). Akibatnya masih terjadi mobilitas di wilayah Jabodetabek, baik yang menggunakan kendaraan pribadi maupun angkutan umum.
Upaya pembatasan sosial di Ibu Kota pun tidak mudah dilakukan. Sejumlah pekerja informal, seperti pedagang kaki lima dan pengemudi angkutan daring/taksi, terlihat masih nongkrong di pinggir jalan. Bahkan, ada sejumlah pelajar di Warakas, Jakarta Utara, terlibat tawuran beberapa hari lalu. Hal ini menjadi tantangan bagi semua warga Ibu Kota untuk bisa menjaga jarak aman yang selanjutnya mengurangi penyebaran virus korona dan mengurangi jumlah penderita. (LITBANG KOMPAS)