Mitigasi Nonteknis Atasi Banjir
Pemeliharaan kanal banjir, sungai, atau pengerukan muara adalah sejumlah upaya teknis yang ditempuh Pemprov DKI Jakarta guna mengatasi banjir. Namun, upaya nonteknis diperlukan mengingat banjir masih terus terjadi.
Menangani banjir Jakarta gampang-gampang susah. Jakarta tidak akan terbebas banjir 100 persen karena memang berada di dataran banjir. Tetap dibutuhkan upaya mitigasi banjir selain menjaga kondisi pintu air, mengatasi pendangkalan sungai, atau pemeliharaan kanal banjir.
Penanganan banjir dari masa kolonial hingga pascakemerdekaan hanya mengedepankan penanganan teknis, di antaranya pembangunan kanal, pintu air, dan polder yang intinya mengalirkan air dari hulu secepat-cepatnya ke laut. Penanganan nonteknis untuk mengatasi akar permasalahan justru dilupakan.
Penanganan banjir nonteknis mulai diperhatikan melalui Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2005, yang tertuang dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta No 5 Tahun 1984 tentang Rencana Umum Tata Ruang Daerah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Pemeliharaan kebersihan sungai dari limbah domestik dan industri serta mengembalikan fungsi situ di hulu daerah sungai sebagai pengendali banjir diharapkan bisa meminimalkan risiko banjir.
Hampir 15 tahun setelah disahkan Perda RTRW tersebut, tahun 1999 Jakarta kembali dilanda banjir besar. Area genangan malah meluas ke daerah pinggiran, Tangerang dan Bekasi. Upaya nonteknis, seperti revitalisasi situ yang rusak akibat alih fungsi lahan atau tertumpuk sedimentasi dan sampah, belum efektif dilakukan.
Tahun 2001, mulai disadari untuk mengurangi aliran permukaan dengan membuat sumur resapan. Selain berfungsi untuk mengurangi aliran air permukaan, juga untuk mengisi cadangan air tanah. Air hujan yang jatuh di permukaan atap dialirkan melalui talang air untuk ditampung ke dalam tangka penampung yang digali di bawah tanah. Kemudian, limpasan air yang keluar dari tangka penampung disalurkan ke dalam sumur resapan yang meresapkan air hujan ke tanah.
Pembuatan sumur resapan tersebut disahkan dalam Keputusan Gubernur DKI No 115/2001. Dalam produk hukum yang diperbarui melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 68/2005 tersebut, setiap gedung atau bangunan yang menutup permukaan tanah wajib membuat sumur resapan yang volumenya menyesuaikan dengan luasan penampung atap bangunan.
Pada 2018, kebijakan mengenai sumur resapan ini diteruskan dengan kebijakan mengenai drainase vertikal. Kebijakan ini tertuang dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta No 131/2018 tentang Percepatan Pembangunan Drainasi Vertikal di Lahan Milik Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Drainase vertikal ini merupakan saluran air yang dibangun untuk mengalirkan air hujan dari permukaan tanah ke dalam tanah. Saluran air tersebut berbentuk kolom-kolom pasir atau bahan-bahan lain yang ditanam memanjang secara vertikal ke dalam tanah.
Sistem yang menerapkan konsep teknologi zero run off itu berfungsi menampung air hujan agar tak semua mengalir ke selokan dan sungai. Selanjutnya, menyerap air hujan sehingga bisa masuk ke tanah secara cepat serta mencegah kekeringan di musim kemarau.
Kelebihan saluran vertikal ini, penempatannya fleksibel. Bisa ada di halaman rumah. Kemudian tidak mengubah fungsi lahan. Pembuatannya relatif cepat, bebas perawatan, dan berdaya guna cukup lama. Hingga 2019 sudah ada 203 lubang drainase vertikal. Terbanyak (100 titik) ada di Kawasan Monas.
Selanjutnya, penataan ruang wilayah DAS lintas wilayah administrasi mulai dilakukan. Andil pemerintah pusat terhadap pengendalian banjir tertuang melalui Keputusan Presiden No 48/1983. Regulasi ini mengatur tentang Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur di Luar Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Kotamadya Bogor, Kota Administratif Depok, Kota Cianjur, dan Kota Cibinong.
Selanjutnya, pemerintah pusat kembali mengeluarkan Keppres No 79/1985 tentang Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak serta Peraturan Pemerintah No 47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Terakhir, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Presiden No 54/2008 tentang Penanganan Masalah Banjir di Wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi serta kawasan Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur). Dalam aturan tersebut dijelaskan mengenai peran kawasan Puncak Cianjur sebagai kawasan konservasi penyangga wilayah ibu kota Jakarta.
Peran masyarakat
Meski perpres ini sering dilanggar, pada 2013 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Pemprov Jawa Barat mengambil tindakan tegas dengan membongkar sejumlah vila atau rumah di kawasan konservasi Puncak. Sayang, tindakan ini tidak dilakukan rutin sehingga pengawasannya cukup longgar.
Aturan untuk tidak menempati kawasan konservasi di bantaran sungai ataupun situ pun dilanggar. Bantaran sungai/situ yang terlarang untuk bangunan pun nyatanya tetap menjadi favorit penduduk untuk bermukim.
Bahkan, sejumlah situ di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi telah beralih fungsi menjadi permukiman. Warga beranggapan situ tak ada fungsinya sehingga menimbunnya dan menjadikannya perumahan. Padahal, situ berfungsi sebagai daerah resapan air alami.
Upaya pengendalian banjir nonteknis yang terlambat dilakukan membuat Jakarta pada 2002 kembali terendam banjir. Sekitar 70 persen wilayah Jakarta terendam banjir dan membuat aktivitas perekonomian dan transportasi lumpuh.
Sungai di Jakarta masih terancam kelestariannya karena pembangunan kota dan peningkatan aktivitas manusia. Pentingnya kelestarian sungai kian terabaikan setelah tidak lagi dimanfaatkan sebagai sumber air baku dan transportasi.
Kondisi demikian tak luput juga dari pandangan warga Ibu Kota. Sebagai salah satu gambaran, jajak pendapat yang pernah diselenggarakan Kompas pada April 2016 mengungkap usulan 60 persen responden untuk melakukan upaya gotong royong semua warga setempat. Upaya gotong royong ini diarahkan untuk meningkatkan kepedulian warga dalam menjaga kebersihan sungai.
Peran komunitas peduli sungai juga bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan kesadaran tersebut. Di beberapa aliran sungai terbentuk komunitas masyarakat yang ikut menjaga fungsi sungai. Di aliran Sungai Ciliwung terdapat 21 komunitas, antara lain Komunitas Ciliwung Puncak, Ciliwung River Fishing Community, Komunitas Peduli Ciliwung Bogor, Komunitas Ciliwung Bojong Gede, Ciliwung Depok, dan Ciliwung Condet. Di aliran Pesanggrahan, kelestarian sungai dijaga oleh Kelompok Tani Lingkungan Hidup Sangga Buana yang dipimpin Bang Idin.
Usulan lain, masih merujuk jajak pendapat Kompas pada April 2016, adalah menegakkan aturan hukum yang ada. Usulan ini diungkapkan oleh 38 persen responden. Pemprov DKI telah menerbitkan Perda No 3/2013 yang menjatuhkan denda Rp 500.000 kepada siapa saja yang membuang sampah di sungai. Bisa saja cara ini akan membuat masyarakat jera.
Namun, memang susah mengubah perilaku membuang sampah ke sungai. Nyatanya, pada April 2019, mengutip laman Kompas.com, petugas UPK Badan Air Jakarta Timur menangkap tangan seorang warga Rawamangun yang membuang sampah sembarangan ke saluran penghubung di Jalan Balap Sepeda, Rawamangun, Jaktim. Warga tersebut akhirnya didenda Rp 250.000.
Keberadaan sampah di sungai inilah yang menjadi salah satu penyebab banjir Jakarta awal tahun lalu. Berdasarkan laporan Kementerian PUPR, pada banjir Jabodetabek 1 Januari lalu, salah satunya karena penumpukan sampah di 17 titik.
Baca juga: Kementerian PUPR: Penyebab Banjir Teridentifikasi
Selain menjaga kebersihan sungai, selokan air di sekitar permukiman warga juga turut dijaga. Hal ini juga disadari sebagian masyarakat sebagai peran penting keterlibatan mereka untuk mengurangi risiko banjir. Hasil Jajak pendapat Kompas lainnya, yakni pada November 2019, mengungkap sebanyak empat dari lima responden melakukan kegiatan pembersihan selokan air untuk mengatasi munculnya genangan atau banjir. Hal tersebut merupakan penanganan mandiri pencegahan banjir.
Pembersihan selokan ini tidak bisa diserahkan saja kepada Petugas Pekerja Penanganan Sarana dan Prasarana Umum (PPSU). Masyarakat secara bergotong royong setiap minggu bisa ikut membersihkan selokan air. Apalagi, banyak selokan air di Ibu Kota yang tertutup oleh tutup beton sehingga sulit untuk dibersihkan.
Drainase yang tersumbat ini juga menjadi salah satu penyebab banjir Jakarta. Berdasarkan survei Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, ada tiga titik drainase tersumbat. Selain itu, karena sedimentasi, ada 13 titik kapasitas drainase yang terlampaui.
Meski demikian, penanganan banjir tak bisa dilakukan sebatas tambal sulam, hanya menangani masalah di titik banjir saja. Pemda DKI tak bisa bekerja sendiri, dibutuhkan kerja sama dengan pemerintahan di wilayah sekitar Ibu Kota mengingat kebutuhan pengelolaan daerah aliran sungai dalam satu manajemen.
Upaya penanganan banjir juga tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur fisik saja. Pada akhirnya, dibutuhkan juga berbagai upaya nonteknis, seperti penataan dan penegakan tata ruang serta menjaga kawasan konservasi mulai dari hulu hingga hilir daerah aliran sungai. (LITBANG KOMPAS)