Korupsi Kepala Daerah Otonom Baru
Pemekaran wilayah terbukti belum sepenuhnya berhasil membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya. Sejumlah daerah otonom baru dengan menggunakan tolok ukur tiga indikator menunjukkan kondisi yang lebih buruk dibandingkan daerah induk. Kesimpulan tersebut diperparah dengan kondisi sebanyak 61 kepala daerah di wilayah pemekaran terjerat kasus korupsi.
Kajian sederhana dengan menggunakan tolok ukur tiga indikator, yaitu pertumbuhan ekonomi, indeks pembangunan manusia, dan angka kemiskinan, ditemukan hasil bahwa terdapat 51 daerah otonom baru (23,7 persen) memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan daerah induknya.
Hal itu mengandung arti 51 kabupaten/kota baru tersebut memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, IPM yang juga lebih rendah, dan angka kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan daerah induk.
Sementara itu, hanya ada 31 daerah otonom baru (14,4 persen) yang tergolong kelompok yang memiliki kondisi lebih baik dibandingkan daerah induk. Artinya, 31 daerah ini berkembang ke arah yang lebih baik karena memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, IPM lebih tinggi, dan angka kemiskinan lebih rendah dibandingkan daerah induk.
Selebihnya, sebanyak 61,9 persen daerah otonom baru yang tidak masuk dalam golongan lebih buruk atau lebih baik dibandingkan daerah induk. Daerah yang sedang-sedang saja, lumayan berkembang. Istilahnya, daerah ini masih aman jika dihadapkan pada wacana penggabungan kembali ke daerah induk karena belum bisa dianggap gagal berkembang.
Daerah otonom baru yang tercipta selama keran pemekaran wilayah dibuka adalah sebanyak 215 kabupaten/kota. Jumlah ini sama dengan pertambahan 42 persen yang menjadikan total kabupaten dan kota di Indonesia menjadi 514 kabupaten/kota hingga 2014. Tahun 2015, keran pemekaran wilayah ditutup alias moratorium pemekaran diberlakukan hingga sekarang.
Penambahan wilayah administrasi yang masif di Indonesia dalam kurun kurang dari dua dekade ini selain dianggap cukup fantastis ternyata juga menimbulkan masalah baru dalam sejarah desentralisasi.
Desentralisasi korupsi
Pelimpahan kewenangan kekuasaan ke daerah telah memberi beban berat pada anggaran negara. Desentralisasi kekuasaan diikuti dengan desentralisasi fiskal. Ada alokasi belanja negara yang ditransfer ke daerah. Sayangnya, juga terjadi justru desentralisasi masalah terutama desentralisasi korupsi ke daerah karena uang yang banyak beredar di daerah.
Hasil penelusuran Litbang Kompas terhadap 215 daerah otonom baru, ditemukan 61 kabupaten/kota atau hampir 30 persen yang kepala daerahnya terjerat kasus korupsi. Jumlah ini akan lebih besar jika korupsi selain oleh kepala daerah juga ikut dihitung. Hal ini karena jajaran di bawah kepala daerah, tingkat kepala dinas dan sebagainya, serta anggota dewan daerah juga banyak yang terlibat korupsi.
Korupsi oleh kepala daerah otonom baru ini, dengan porsi yang hampir sama, terjadi baik di daerah yang tergolong lebih buruk maupun yang lebih baik dibandingkan daerah induknya. Artinya, kepala daerah yang korupsi tidak memandang kondisi daerah yang dipimpinnya berhasil atau tidak setelah pemekaran.
Sebanyak 12 kasus korupsi dilakukan oleh kepala daerah yang perkembangan wilayah yang dipimpinnya lebih baik dibandingkan daerah induk. Kedua belas daerah ini adalah Kota Langsa, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Siak, Kota Pagar Alam, Kota Depok, Kota Cilegon, Kota Batu, Kota Tomohon, Kota Kotamobagu, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Morowali, dan Kota Palopo.
Sementara 13 kasus korupsi dilakukan oleh kepala daerah yang perkembangan wilayah yang dipimpinnya lebih buruk dibandingkan daerah induk, seperti Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Nias Selatan, atau Kabupaten Seram Bagian Timur. Kondisi daerah-daerah ini memprihatinkan. Ketika daerah mereka belum berhasil berkembang sebagai daerah otonom, di mana perekonomian berjalan belum sesuai harapan dan kemiskinan masih merebak, kepala daerahnya melakukan korupsi yang memperkaya diri sendiri.
Hampir di semua provinsi yang memiliki daerah otonom baru tidak ada yang bebas dari kasus kepala daerah terjerat korupsi, kecuali di empat provinsi, yaitu DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Secara regional, kasus korupsi kepala daerah otonom baru lebih banyak terjadi di provinsi-provinsi di Sumatera (26 daerah atau 42,6 persen).
Tidak perlu menunggu lama, korupsi oleh kepala daerah otonom mulai terkuak sejak 2004, selang lima tahun sejak pemekaran dilakukan pada 1999. Kepala daerah otonom baru yang pertama kali ketahuan tersangkut kasus korupsi adalah Bupati Sarolangun (Jambi) HM Madel yang menjadi tersangka korupsi dana pembangunan dermaga ponton senilai Rp 3 miliar. Juga Wali Kota Langsa (Aceh) Azhari Aziz dalam kasus korupsi senilai Rp 16,5 miliar. Keduanya pada tahun 2004.
Jika dilihat berdasarkan periodisasi waktu, korupsi oleh kepala daerah otonomi baru ini lebih banyak dilakukan sebelum moratorium diberlakukan, yaitu sebanyak 44 kasus (72 persen). Sebanyak 17 kasus lainnya terjadi setelah moratorium berlaku.
Modus tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah otonom baru ini tidak jauh berbeda dengan modus korupsi oleh kepala daerah bukan di daerah pemekaran. Umumnya korupsi terkait dengan penyalahgunaan anggaran daerah (APBD), penyuapan untuk mendapatkan proyek pemerintah, penyuapan terkait perizinan atau pemanfaatan hutan/lahan/tanah, atau penyalahgunaan aset daerah. Ada juga korupsi terkait penyusunan peraturan daerah dan korupsi penanganan perkara sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Papua dan Sumatera Utara
Provinsi Papua memiliki catatan yang buruk dalam analisis pemekaran wilayah ini, baik dilihat dari analisis tiga indikator maupun temuan kasus korupsi kepala daerah otonom barunya.
Provinsi Papua menjadi daerah yang paling banyak memiliki kondisi daerah otonom baru yang lebih buruk dibandingkan daerah induknya. Sepuluh dari 22 daerah otonom baru di Provinsi Papua pertumbuhan ekonominya lebih rendah, IPM lebih rendah, dan angka kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan daerah induk. Kesepuluh daerah tersebut adalah Kabupaten Paniai, Puncak Jaya, Asmat, Boven Digoel, Keerom, Mappi, Lanny Jaya, Dogiyai, Intan Jaya, dan Mamberamo Raya.
Sementara itu, enam dari 22 daerah otonom baru di Papua kepala daerahnya terindikasi kasus korupsi. Keenam daerah tersebut adalah Kabupaten Mimika, Boven Digoel, Sarmi, Dogiyai, Waropen, dan Supiori.
Bisa diprediksi, jika penggabungan daerah pemekaran ke daerah induk jadi dilakukan, Papua bisa masuk dalam daftar teratas daerah yang dipertimbangkan. Jika begini, upaya pemerintah memperbaiki kesejahteraan di wilayah paling timur Indonesia ini akan menemui jalan panjang, terjal, dan berliku.
Bukan cuma Papua yang kepala daerah otonom barunya banyak terjerat kasus korupsi. Enam dari 16 daerah otonom baru di Sumatera Utara kepala daerahnya juga menjadi tersangka kasus korupsi. Keenam daerah tersebut adalah Kabupaten Mandailing Natal, Padang Lawas, Toba Samosir, Nias Selatan, Batubara, dan Pakpak Bharat.
Namun, kondisi kesejahteraan masyarakat di daerah pemekaran di Sumut ini lebih baik dibandingkan di Papua. Hanya tiga daerah otonom baru di Sumut yang kondisi tiga indikatornya lebih buruk dibandingkan daerah induk.
Selain Papua dan Sumut, provinsi lain yang memiliki kepala daerah terjerat korupsi cukup banyak adalah Sumatera Selatan (4 kabupaten). Adapun provinsi Aceh, Riau, NTT, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara masing-masing memiliki 3 kasus.
Kasus berulang
Buruknya catatan korupsi oleh kepala daerah otonom baru bukan hanya bisa dilihat dari perspektif kewilayahan. Daerah otonom baru menjadi semacam ladang yang dikeruk oleh pemerintahnya untuk memperkaya diri sendiri tanpa ada pelajaran yang diambil dari kasus yang pernah terjadi sebelumnya. Di beberapa daerah, kasus korupsi oleh kepala daerah kembali berulang meski kepala daerah sebelumnya pernah diciduk karena kasus korupsi.
Di Kabupaten Bireuen (Aceh), misalnya. Meski Bupati Mustafa A Glanggang (periode 2002-2007) pernah tersangkut perkara korupsi APBD yang merugikan negara sebesar Rp 3 miliar, bupati sesudahnya, Nurdin Abdurrahman (periode 2007-2012), juga terjerat kasus korupsi yang merugikan negara senilai Rp 1,6 miliar.
Kasus korupsi berulang di tempat yang sama oleh dua kepala daerah juga terjadi di Kabupaten Toba Samosir (Sumatera Utara), Kabupaten Rokan Hulu (Riau), Kabupaten Penajam Paser Utara (Kalimantan Timur), dan Kepulauan Sula (Maluku Utara). Mungkin benar adanya, korupsi itu menular, tidak menimbulkan efek jera.
Inisiator pemekaran
Catatan buruk lainnya terkait korupsi oleh kepala daerah otonom baru adalah pelaku korupsi yang selain merupakan kepala daerah, ia juga sebenarnya inisiator dari pembentukan daerah yang dipimpinnya. Kasus seperti ini terjadi di Kabupaten Batubara (Sumatera Utara).
Bupati OK Arya Zulkarnain, tersangka korupsi terkait proyek pembangunan Jembatan Sentang di Kelurahan Labuhan Ruku tahun anggaran 2017, sesungguhnya adalah orang yang berjasa di dalam upaya pemekaran Kabupaten Batubara. Ia terlibat dalam persiapan pembentukan Kabupaten Batubara sejak 2002, yang akhirnya terwujud pada 2007.
Karena upayanya tersebut, masyarakat pun memandangnya sebagai sosok pejuang pemekaran yang pantas memimpin kabupaten baru yang pisah dari Kabupaten Asahan, kabupaten induknya. Ia pun kemudian terpilih sebagai bupati selama dua periode melalui jalur perseorangan. Sebuah prestasi putra daerah yang mengesankan, tetapi harus berakhir buruk.
Indikasi tindak korupsi yang dilakukan Bupati Batubara ini bukan hanya satu kasus saja. Namun, sang pejuang pemekaran akhirnya tersandng kasus proyek jembatan dan terkena operasi tangkap tangan oleh KPK baru pada 2017.
Kasus korupsi membuat OK Arya divonis 5,5 tahun penjara dan didenda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan. OK Arya juga diperintahkan membayar uang pengganti sebesar Rp 5,9 miliar, sisa dari suap Rp 8,03 miliar yang belum dikembalikan.
Yang terjadi di Kabupaten Batubara ini adalah sebuah ironi. Selama dua periode kepemimpinan, Bupati OK Arya tidak berhasil membawa daerah yang diperjuangkannya menjadi sejahtera. Kabupaten Batubara termasuk golongan daerah otonom baru yang perkembangannnya lebih buruk dibandingkan daerah induk. Dengan pertumbuhan ekonomi dan IMP yang lebih rendah, serta angka kemiskinan lebih tinggi dari daerah induk.
Buruknya gambaran korupsi di banyak daerah pemekaran ini menunjukkan semangat pemekaran wilayah sudah melenceng dari upaya untuk menyejahterakan masyarakat. Pemekaran wilayah hanya menjadi ladang bagi kepentingan segelintir orang untuk memperkaya pundi-pundi.
Jika begini, memang selayaknya moratorium diterapkan dan aturan pemekaran diperketat seandainya keran pemekaran kembali dibuka. (LITBANG KOMPAS)