Multitafsir mengenai Pancasila Tidak Dilarang
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tidak melarang masyarakat memiliki banyak tafsiran mengenai Pancasila. Dengan demikian, pengamalan nilai Pancasila akan tetap membawa nilai bangsa dalam membangun Indonesia. Selain itu, peluang Pancasila untuk digunakan sebagai alat politik akan semakin menipis.
Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Yudi Latif menyatakan, keberadaan UKP-PIP semata bertujuan untuk merumuskan, menyosialisasikan, dan menjaga kesepakatan minimum mengenai penafsiran Pancasila sebagai ideologi negara. Saat ini, pemerintah sementara menyusun draf Wawasan Dasar Ideologi Pancasila.
Draf tersebut berisi 25 butir kesepakatan minimum mengenai penafsiran Pancasila yang telah dikonsultasikan kepada ahli, akademisi, serta sejumlah kementerian dan lembaga. Draf akan diluncurkan untuk dievaluasi kembali oleh masyarakat pada Januari atau Februari mendatang.
”Keberadaan kesepakatan minimum dalam draf itu tidak berarti akan ’mengunci’ penafsiran Pancasila yang lain,” ujar Yudi saat dihubungi di Jakarta, Minggu (7/1).
Kesepakatan minimum dalam draf itu tidak berarti akan ’mengunci’ penafsiran Pancasila yang lain.
Ia menggarisbawahi arti kata ”minimum” yang berada dalam kesepakatan tersebut. Hal ini berarti masyarakat diperbolehkan untuk memberikan usulan tambahan yang tidak terbatas kepada pemerintah dan diskusi terkait penafsiran Pancasila lainnya.
Menurut Yudi, tidak mudah untuk merumuskan butir penafsiran Pancasila yang dapat mencakup seluruh penafsiran. Penyebabnya, sejumlah pihak yang ingin menambah tafsiran memiliki preferensi dalam bidang masing-masing sehingga perlu dielaborasi terlebih dahulu.
Keberadaan 25 butir kesepakatan minimum dianggap sebagai solusi untuk program sosialisasi Pancasila kepada masyarakat ke depan. Hal ini karena selama ini terlalu banyak tafsiran Pancasila yang beredar. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kesepakatan yang dapat berperan sebagai indikator dalam membina Pancasila sebagai ideologi negara.
Prosedur yang dilakukan UKP-PIP dalam menyusun Wawasan Dasar Ideologi Pancasila adalah sebagai berikut. Pertama, UKP-PIP menampung pendapat dan pandangan publik dengan mengundang berbagai ahli, akademisi, dan pejabat terkait. Kedua, UKP-PIP menyusun rumusan kesepakatan minimum atas tafsir Pancasila menjadi 25 butir yang kemudian disebut sebagai draf Wawasan Dasar Ideologi Pancasila.
Ketiga, draf tersebut akan diberikan kembali kepada berbagai pihak, seperti akademisi yang terdiri dari ahli sejarah, ahli filsafat, serta kementerian dan lembaga untuk dievaluasi. Terakhir, hasil tanggapan tersebut akan membentuk suatu konsensus mengenai nilai Pancasila yang akan disosialisasikan kepada masyarakat.
”Konteksnya sudah berubah sekarang,” kata Yudi. Pada zaman Orde Baru, butir-butir pengamalan Pancasila diatur oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ada dua ketetapan yang pernah diluncurkan, yaitu Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 yang memiliki 36 butir dan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 yang terdiri atas 45 butir pengamalan Pancasila.
Menurut Yudi, esensi dalam 25 butir kesepakatan minimum mengenai Pancasila tidak akan bertentangan dengan kedua ketetapan sebelumnya. UKP-PIP hanya akan meringkas dan memfokuskan ke dalam ranah moral publik. Alasannya, dua ketetapan sebelumnya masih menyinggung wilayah privat atau perseorangan.
”Kesepakatan yang baru juga tidak akan melucuti nilai moral yang ada, seperti moral agama dan adat istiadat,” lanjutnya.
Adapun ke-25 butir kesepakatan minimum tersebut mengandung beberapa wawasan, antara lain wawasan kesejarahan, wawasan filosofis, wawasan teoretis, wawasan visional, dan wawasan implementatif, seperti dimensi keyakinan, pengetahuan, dan tindakan.
Yudi mengatakan, keberadaan 25 kesepakatan minimum tersebut dapat menjadi tolok ukur apakah semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun pihak oposisi pemerintah, masih bertindak sesuai dengan nilai Pancasila atau tidak. Dengan demikian, Pancasila tidak dapat digunakan sebagai alat politik.
UKP-PIP menurut rencana berubah menjadi badan yang akan disebut sebagai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Dengan demikian, masa kerja UKP-PIP dalam membina Pancasila tidak hanya terbatas pada masa jabatan seorang presiden.
UKP-PIP menurut rencana berubah menjadi badan yang akan disebut sebagai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
”Badan ini akan terus ada ke depan sehingga relatif independen. Kami masih menunggu finishing penyusunan perpres (peraturan presiden) mengenai hal itu,” ujar Yudi.
Keberadaan UKP-PIP diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Unit ini dibentuk sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan pemahaman Pancasila sebagai ideologi negara yang belum terimplementasi dengan baik.
Mantan aktivis Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) serta salah satu pemrakarsa Rumah Kebangkitan Nasional dan Gerakan Kebangkitan Indonesia, Hariman Siregar, mengingatkan, penafsiran Pancasila yang beragam di Indonesia dibutuhkan. Pancasila semestinya dikembalikan kepada masyarakat dan bersenyawa dengan budaya Indonesia. Tujuannya, untuk menghindari tafsir tunggal dari pemegang kekuasaan.
Hariman menyebutkan, Presiden Soeharto, misalnya, pada masa Orde Baru menafsirkan Pancasila sebagai landasan stabilitas nasional dan menjadi ideologi tertutup untuk menggebuk lawan politik. Hal serupa tidak boleh lagi terjadi.
Diskusi dan pengamalan Pancasila perlu terus dilakukan. Hal ini untuk mencegah Pancasila dimanfaatkan sebagai kepentingan politik pragmatis.
Diskusi dan pengamalan Pancasila perlu terus dilakukan. Hal ini untuk mencegah Pancasila dimanfaatkan sebagai kepentingan politik pragmatis.
”Pemerintah tidak perlu takut ketegangan yang muncul akibat diskusi mengenai Pancasila. Biarkan masyarakat berdebat karena itu merupakan bagian dari demokrasi,” ujar Hariman seusai acara Deklarasi Rumah Kebangkitan Nasional dan Gerakan Kebangkitan Indonesia.
Rumah Kebangkitan Nasional dan Gerakan Kebangkitan Indonesia merupakan perkumpulan sejumlah tokoh masyarakat lintas generasi, suku, agama, dan golongan.
Gerakan ini juga diprakarsai sejumlah tokoh, antara lain Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso, Mayjen TNI (Purn) Prijanto, Marsda TNI (Purn) Amirullah Amin, dan Mayjen TNI (Purn) B Sumarno. Selain itu, ada juga Taufiequrachman Ruki, Bambang Wiwoho, Hatta Taliwang, Heppy Trenggono, Lily Chodidjah Wahid, Zulkifli S Ekomei, Ariady Achmad, Djoko Edhi Abdurahman, Edwin Sukowati, Samuel Lengkef, Batara R Hutagalung, Wawat Kurniawan, Bakri Abdullah, dan Nur Ridwan.
Perkumpulan tersebut memiliki visi untuk mewujudkan Indonesia yang bersatu, berdaulat, aman, adil, dan makmur. Beberapa misi yang dimiliki perkumpulan ini antara lain membangun Indonesia sesuai jati diri bangsa dan memilih pemimpin yang menganut nilai-nilai Pancasila.
Pemimpin dengan jiwa Pancasila
Menurut Hariman, masyarakat juga harus terus diedukasi untuk memilih pemimpin yang menganut nilai-nilai Pancasila. Apalagi, saat ini Indonesia sedang masuk ke tahun politik, yaitu pemilihan kepala daerah tahun 2018 dan pemilihan presiden pada 2019.
Djoko Santoso menambahkan, pemimpin yang berjiwa Pancasila tidak hanya dibutuhkan dalam level jabatan sebagai seorang presiden. Namun, pemimpin tersebut harus berada di setiap level kepemimpinan untuk menginspirasi rakyat dan bangsa dalam membangun dan mempertahankan negara.
”Sekarang, ingin menjadi pemimpin yang baik susah. Kalau tidak punya uang, tidak bisa. Hanya orang yang punya uang yang mampu menciptakan pemimpin,” kata Djoko.
Ia menilai, fenomena tersebut membuat beberapa pemimpin yang tidak berpihak kepada rakyat masih terpilih. Hal inilah yang membuat program pembangunan di Indonesia tidak kunjung sukses. (DD13)