Bawaslu: Isu SARA Jelang Pilkada Kembali Muncul
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu menengarai isu sentimen suku, agama, ras, dan antar-golongan kembali muncul menjelang pemilihan kepala daerah serentak 2018. Penyebaran ujaran kebencian, berita bohong dengan sentimen SARA melalui media sosial menjelang pilkada dinilai jauh lebih berbahaya daripada politik uang. Isu SARA diyakini tetap dipakai peserta pilkada karena sentimen ini dipercaya bisa mendongkrak elektabilitas.
Bawaslu pun telah bekerja sama dengan Kepolisian Negara RI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menghadapi ujaran kebencian dan penyebaran hoaks bernuasan SARA dalam ajang Pilkada 2018. Kerja sama itu dilakukan agar pihak di luar peserta pilkada, khususnya pemilik akun anonim di media sosial yang menyebarkan kebencian bernuansa SARA dalam pilkada, juga dapat ditindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Pada Juni 2018, masyarakat Indonesia akan menggelar pilkada serentak yang diikuti total 171 daerah. Dari semua daerah itu, 17 di antaranya merupakan pemilihan gubernur, sisanya pemilihan bupati atau wali kota.
Dari 17 provinsi yang menggelar pemilihan gubernur, tiga di antaranya merupakan provinsi dengan jumlah pemilih hampir 50 persen total suara tingkat nasional, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin, menuturkan, kekhawatiran terhadap isu SARA menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 seolah mengulang kekhawatiran terhadap penyelenggaraan Pemilu 1999. Saat itu, kekhawatiran masyarakat akan penyelenggaraan pemilu didasarkan karena Pemilu 1999 adalah pemilu yang memberikan kebebasan kepada para pemilih pertama kalinya setelah puluhan tahun.
”Kali ini, kekhawatiran kita kembali terulang. Isu SARA yang seharusnya sudah bisa dilewati kembali muncul. Terutama karena adanya percepatan teknologi informasi,” ujar Afifuddin saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk ”Tutup Tahun 2017, Jemput Tahun Politik 2018: Akankah Politik SARA Terus Berlangsung?” yang digelar di Jakarta, Selasa (26/12).
Dalam diskusi itu hadir beberapa pembicara, di antaranya Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti; Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow; dan pengajar Universitas Paramadina, Arif Susanto.
Menurut Afifuddin, untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut, Bawaslu telah melakukan berbagai persiapan terkait dengan pengawasan pilkada serentak pada pertengahan tahun depan. ”Dari sisi pengawasan, ada tiga hal yang menjadi prioritas pengawasan kami. Tiga hal itu merupakan praktik dominan dalam penyelenggaraan pilkada. Pertama politik uang, kedua isu sara, dan ketiga netralitas ASN (aparatur sipil negara), TNI dan Polri,” ujarnya.
Larangan bagi peserta pilkada dalam hal ini pasangan calon dan tim suksesnya untuk tidak menggunakan materi kampanye dengan unsur SARA sebenarnya dengan jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam UU tersebut, peserta pemilu yang menggunakan unsur SARA ataupun fitnah kepada pasangan calon akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 18 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000 sampai Rp 6.000.000.
Padahal, ’setannya’ yang menyebarkan fitnah atau SARA kepada suatu paslon itu justru ada di akun-akun anonim yang bisa saja tidak berkaitan dengan tim sukses pasangan calon kepala daerah.
”Kalau kewenangan kami (Bawaslu) dalam mengawasi dan melakukan tindakan terhadap akun media sosial hanya terbatas pada akun resmi pasangan calon yang didaftarkan ke kami (Peraturan Bawaslu No 12/2017 tentang Pengawasan Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota),” ujar Afifuddin.
”Kalau itu saya jamin pasti ujarannya positif. Padahal, ’setannya’ yang menyebarkan fitnah atau SARA kepada suatu paslon itu justru ada di akun-akun anonim yang bisa saja tidak berkaitan dengan tim sukses pasangan calon kepala daerah,” tambahnya.
Oleh karena itu, Bawaslu bekerja sama dengan Kominfo dan Polri agar bisa melakukan tindakan secara menyeluruh. Masyarakat yang bukan bagian dari peserta pemilu dan terbukti melakukan tindakan fitnah atau menyebar isu SARA terkait dengan pilkada akan ditindak dengan hukum yang berlaku selain UU Pemilu. Bahkan, sanksi yang mengancam jauh lebih berat.
Jika pemilik akun anonim di media sosial menyebar isu SARA atau fitnah dan bukan merupakan peserta pemilu, maka yang bersangkutan dapat dikenai pasal pada UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis atau UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Perbuatan SARA dalam kedua UU itu dapat diancam dengan pidana penjara 6 tahun dan denda Rp 1 miliar.
”Dalam UU sudah jelas diatur tentang larangan ujaran SARA dan fitnah. Kami tentu saja akan menindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Afifuddin.
Ia menambahkan terkait dengan potensi konflik di Pilkada 2018, Bawaslu telah menerbitkan Indeks Kerawanan Pemilu Pemilihan Kepala Daerah 2018. Dari indeks itu, tiga daerah yang dinilai paling rawan secara berturut-turut ialah Papua, Maluku, dan Kalimantan Barat.
Kerawanan yang dimaksud dalam indeks itu ialah segala hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis. Tiga dimensi yang dijadikan penilaian utama dalam indeks itu ialah partisipasi, kontestasi (persaingan), dan penyelenggaraan.
Lebih berbahaya
Ray Rangkuti menilai, politik identitas atau politik SARA lebih berbahaya dibandingkan dengan politik uang. Hal itu dilihat dari dampak setelah pilkada atau pemilu.
”Kalau politik uang, hari itu juga selesai. Akan tetapi, kalau politik SARA, sampai sesudah pemilihan masih saja terjadi ujaran SARA dan itu bisa menyebabkan konflik di masyarakat,” tutur Ray.
Kalau politik uang, hari itu juga selesai. Akan tetapi, kalau politik SARA, sampai sesudah pemilihan masih saja terjadi ujaran SARA dan itu bisa menyebabkan konflik di masyarakat.
Menurut dia, dalam pilkada serentak 2018, beberapa daerah memiliki potensi terjadinya isu SARA yang gencar digunakan saat kampanye. Daerah itu antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.
”Saya rasa isu SARA akan tetap dipakai nantinya karena cakupannya sangat luas dan sangat efektif untuk mendongkrak elektabilitas,” kata Ray.
Jeirry Sumampow menilai, menyelesaikan persoalan SARA dalam pilkada tidak bisa hanya dilakukan dengan memberikan sanksi yang sifatnya teknis dan administratif. Oleh karena itu, penyelesaian isu SARA harus dilakukan menyeluruh secara substantif dengan menekankan pendidikan politik.
”Pelaku SARA biasanya di luar calon dan timsesnya. Itu orang lain, maka dari itu tidak bisa hanya diselesaikan dengan cara administratif, misalnya dengan memberikan sanksi terhadap peserta pemilu yang terbukti menyebar isu SARA,” kata Jeirry.
Saya rasa isu SARA akan tetap dipakai nantinya karena cakupannya sangat luas dan sangat efektif untuk mendongkrak elektabilitas.
Tahun kebencian
Adapun Arif Susanto menilai, tahun 2017 merupakan tahun kebencian dalam hal politik. Contoh paling nyata yang menggambarkan hal itu adalah penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta pada awal 2017. Pilkada DKI Jakarta dipenuhi isu SARA, bahkan kerap menyeret kehidupan sosial di antara masyarakat.
”Ini keliru. Dalam politik seharusnya konflik di masyarakat ditarik ke tingkat elite politik sehingga yang berkonflik hanya elitenya. Saat ini, elite politik bertengkar, masyarakat juga diajak bertengkar,” kata Susanto.
Tahun 2017 merupakan tahun kebencian dalam hal politik. Contoh paling nyata adalah penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta pada awal 2017. Pilkada DKI Jakarta dipenuhi isu SARA, bahkan kerap menyeret kehidupan sosial di antara masyarakat.
Menurut dia, agama yang seharusnya menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan konflik justru digunakan untuk menyulut konflik. Ini menyebabkan tidak adanya lagi institusi sosial yang dapat menjadi mediator konflik yang efektif.
Susanto menyoroti beberapa faktor penyebab suburnya isu SARA dalam politik. Beberapa faktor tersebut antara lain adanya kesenjangan ekonomi di masyarakat dan rendahnya literasi secara politik dan komunikasi.
Susanto berharap, pada penyelenggaraan Pilkada 2018 semua daerah dapat menyelenggarakan pilkada tanpa menggunakan isu SARA. Jika itu berhasil, masyarakat DKI Jakarta perlu belajar dari masyarakat di daerah.
”Selama ini, masyarakat DKI menjadi parameter atau contoh masyarakat di daerah. Akan tetapi, kita lihat bersama apa yang terjadi saat pilkada lalu. Kalau daerah lain bisa terlepas dari kampanye SARA saat pilkada, maka seharusnya mereka bisa berkata ’Jakarta contohlah kami’,” ujar Susanto. (DD14)