Pilpres 2019 Berpotensi Kembali Hanya Diikuti Dua Calon
JAKARTA, KOMPAS — Pemilihan presiden 2019 berpotensi hanya dengan dua calon presiden. Hal ini terlihat dari tingkat elektabilitas Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang masih menempati peringkat teratas dibandingkan dengan kandidat lain. Hingga kini, masyarakat belum menemukan nama lain yang dapat digadang untuk maju pada pemilu yang akan dilaksanakan dua tahun lagi itu.
Kesimpulan tersebut diambil dari survei nasional terbaru oleh Poltracking Indonesia pada 8-15 November. Survei yang bertajuk ”Evaluasi Pemerintah Jokowi-JK dan Meneropong Peta Elektoral 2019” ini dinyatakan sebagai survei terbesar yang pernah dilakukan Poltracking. Metode yang digunakan adalah stratified multistage random sampling dengan jumlah sampel 2.400 responden. Survei memiliki margin error ± 2 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Dari sejumlah nama kandidat presiden yang diajukan untuk ditanyakan kepada responden, hanya Presiden Joko Widodo atau Jokowi (51,8 persen) dan Prabowo Subianto (27 persen) yang memperoleh elektabilitas di atas 10 persen. Jawaban yang sama juga diperoleh melalui berbagai simulasi dengan jumlah kandidat presiden yang berbeda-beda.
”Adapun dalam simulasi head to head, Jokowi memperoleh suara sebesar 53,2 persen dan Prabowo 33 persen,” kata Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda AR dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu. Elektabilitas Jokowi ke depan akan bergantung pada kinerja pemerintahannya, sementara elektabilitas Prabowo akan berpengaruh dari kampanye yang dia lakukan. Masyarakat yang menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab terkait pemilihan di antara kedua nama tersebut sebesar 13,8 persen.
Dalam simulasi head to head, Jokowi memperoleh suara sebesar 53,2 persen dan Prabowo 33 persen.
Hal ini berarti, peluang terjadinya persaingan di antara kedua kandidat cukup besar seperti Pilpres 2014. Faktor yang membuat peluang itu muncul adalah elektabilitas yang tinggi dan kemungkinan besarnya kedua kandidat akan diusung kembali menjadi calon presiden (capres). Hanta menjabarkan, saat ini belum ada kandidat kuat lain yang muncul walaupun hal ini bisa berubah tahun depan karena politik merupakan hal yang dinamis.
PDIP merupakan partai pengusung utama pasangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014. Namun, hingga sekarang partai yang baru menyatakan dukungan kepada Jokowi sebagai capres adalah Partai Golkar, Partai Hanura, Partai Nasdem, dan PPP.
Menurut Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristianto, pemberian dukungan kepada capres tertentu oleh PDIP sekarang merupakan suatu hal yang terlalu dini. ”Kompetisi yang terlalu awal itu tidak baik,” ujar Hasto.
Menurut rencana, rapat kerja nasional (rakernas) PDIP tanggal 11-12 Januari 2018 merupakan momen ketika partai ini akan membahas capres yang diusung. Hasto mengungkapkan, fokus partai sekarang adalah membantu mengatasi isu-isu yang pemerintah sedang hadapi.
Sementara itu, Sekjen DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, Prabowo sedang berada dalam kondisi siap untuk maju sebagai capres. Belajar dari Pemilu 2014, Partai Gerindra kini menyatakan lebih solid.
Prabowo sedang berada dalam kondisi siap untuk maju sebagai capres. Belajar dari Pemilu 2014, Partai Gerindra kini menyatakan lebih solid.
Temuan lain dari survei tersebut adalah masyarakat menginginkan presiden yang memiliki sifat tertentu, seperti merakyat, jujur, bijaksana, tegas, dan berpengalaman. Selain itu, ada beberapa hal lain yang turut diukur, yaitu mengenai evaluasi kerja pemerintahan, evaluasi lembaga negara dan institusi demokrasi, isu nasional, elektabilitas kandidat wakil presiden, elektabilitas partai politik, preferensi pemilih partai politik, serta partisipasi dan kemantapan pilihan.
Kepuasan masyarakat
Adapun Poltracking menemukan, 67,9 persen masyarakat puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-JK selama tiga tahun terakhir. Masyarakat secara spesifik merasa puas dengan penanganan masalah pembangunan infrastruktur sebesar 69 persen, kesehatan 65 persen, pendidikan 62 persen, serta pelayanan publik administratif 57 persen.
Kendati demikian, masih banyak yang belum puas dengan pencapaian Jokowi-JK di bidang ekonomi. Ketidakpuasan tersebut khususnya dalam masalah penurunan angka pengangguran sebesar 48 persen, penciptaan lapangan kerja 49 persen, dan pengendalian harga kebutuhan pokok 48 persen.
Poltracking menemukan, 67,9 persen masyarakat puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-JK selama tiga tahun terakhir.
Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid menambahkan, kinerja pemerintah saat ini sudah cukup bagus. Dia mengingatkan, penyebab para presiden pendahulu, seperti Soekarno dan Soeharto, lengser salah satunya karena masalah ekonomi. ”Kinerja Jokowi-JK harus lebih fokus dan ditingkatkan,” kata Nurdin.
Perbedaan elektabilitas dengan Prabowo yang dia nilai tidak terlalu jauh perlu diperluas melalui pembangunan ekonomi. Lebih-lebih ketika Prabowo hingga kini belum melakukan pergerakan politik yang nyata.
Jokowi belum optimal
Ahmad menyatakan, hasil survei mengenai tingginya elektabilitas Jokowi dibandingkan Prabowo tidak mencengangkan. Alasannya, elektabilitas petahana biasanya lebih unggul daripada calon lainnya. Namun, menurut Ahmad, perbedaan elektabilitas dalam simulasi head to head sebesar 20,2 persen belum terlalu mengamankan posisi Jokowi pada pemilu nanti. Apalagi, saat ini merupakan masa politik yang tidak menentu.
”Jokowi sebagai presiden sebenarnya memiliki keleluasaan untuk meningkatkan citra,” ujar Ahmad. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi telah membuat program yang dapat meningkatkan elektabilitasnya di mata masyarakat. Misalnya, dengan meningkatkan anggaran untuk desa hingga Rp 100 triliiun dan anggaran Kementerian Sosial, membagikan Kartu Indonesia Pintar (KIP), serta memberikan sertifikat lahan.
Angka elektabilitas tersebut, lanjutnya, merupakan hasil dari survei situasional yang bisa berubah. Ditambah lagi, dalam survei ditemukan bahwa masyarakat menilai perekonomian dan ketersediaan lapangan pekerjaan era Jokowi-JK termasuk kategori buruk. Padahal, kedua hal tersebut merupakan hal yang vital dalam pembangunan suatu negara.
Hal yang menjadi perhatian bagi Partai Gerindra adalah pemerintahan Jokowi-JK seolah tidak jujur dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Dia menilai, pemerintah kerap menyatakan pertumbuhan ekonomi sebesar lima persen.
Bagi Partai Gerindra, pemerintahan Jokowi-JK seolah tidak jujur dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini.
Akan tetapi, pemerintah sebenarnya kesulitan menutupi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN). Penutupan APBN dilakukan dengan penciptaan utang baru sehingga utang telah mencapai Rp 4.000 triliun. Ahmad melihat, pemerintah menambah utang negara dari waktu ke waktu tetapi tetap optimistis program yang dilaksanakan akan berhasil.
Hasto mengatakan, politik bukan hanya masalah elektabilitas, melainkan juga mengenai dukungan partai. Keberhasilan Jokowi memenangi Pilpers 2014 tidak terlepas dari dukungan partai pengusung. ”Diperlukan suatu kerja sama dengan parpol yang memungkinkan pemerintah mempunyai dukungan kuat di parlemen,” ujarnya.
Golkar turun, Gerindra naik
Survei juga menemukan, tingkat elektabilitas partai yang tertinggi adalah PDIP sebesar 23,4 persen, Partai Gerindra 13,6 persen, dan Partai Golkar 10,9 persen. Namun, jumlah responden yang belum menentukan pilihan cukup besar, yaitu 28,8 persen, sehingga masih ada peluang untuk meningkatkan elektabilitas.
”Saya ucapkan selamat kepada Gerindra karena telah melewati Golkar, tetapi ini masih sementara,” ujar Nurdin. Walaupun begitu, Nurdin meyakini tingkat elektabilitas dapat berubah ke depan karena saat ini Partai Golkar sedang mengalami masalah internal. Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto menjadi tersangka kasus korupsi KTP elektronik dan sedang ditahan KPK.
Nurdin meyakini tingkat elektabilitas dapat berubah ke depannya karena saat ini Partai Golkar sedang mengalami masalah internal. Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto menjadi tersangka kasus korupsi KTP elektronik dan sedang ditahan KPK.
Ahmad juga mengingatkan, berdasarkan hasil survei, terlihat fenomena paralel antara elektabilitas partai dan capres yang diusung partai tersebut. Elektabilitas Jokowi berbanding lurus dengan PDIP, sementara Prabowo dengan Partai Gerindra. Menurut dia, parpol harus memilih capres dengan bijaksanan karena jika salah, parpol yang akan rugi sendiri.
Menurut Hanta, meningkatnya elektabilitas Partai Gerindra sehingga melewati Partai Golkar karena ada beberapa faktor. Pertama, memang trennya seperti itu. Kedua, Partai Golkar belum terlalu diasosiasikan dengan Jokowi sehingga elektabilitas partai belum naik (insentif elektoral). Ketiga, sedang ada dinamika internal partai.
Satu-satunya jalan bagi Partai Golkar untuk memperbaiki elektabilitasnya adalah dengan mengadakan musyawarah nasional luar biasa untuk mengganti ketua umum sehingga citra partai dapat terjaga. (DD13)