JAKARTA, KOMPAS — Sebagai kuasa pengguna anggaran dalam proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik, Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri ikut menerima aliran dana dari pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong sebesar 4,5 juta dollar AS dan Rp 50 juta. Pemberian dilakukan secara bertahap.
Berdasarkan dakwaan yang dibacakan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (9/3), Andi memberikan uang kepada Gamawan sebesar 2 juta dollar AS untuk pertama kalinya pada Maret 2011. ”Pemberian itu dengan maksud agar pelelangan pekerjaan penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional tidak dibatalkan oleh Gamawan,” kata jaksa Abdul Basir.
Proses lelang pun dilanjutkan. Kemudian, pada Juni 2011, Andi kembali memberikan uang sebesar 2,5 juta dollar AS kepada Gamawan. Kali ini, pemberian uang ditujukan agar dalam pelelangan, Gamawan memenangkan konsorsium yang dibentuk Andi.
Setelah menerima uang tersebut, Gamawan menerima nota dinas dari ketua panitia pengadaan yang mengusulkan agar konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) yang diketuai Isnu Edhi Wijaya menjadi pemenang lelang proyek pengadaan KTP-el tahun 2011-2012. Berdasarkan usulan itu, Gamawan menetapkan konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp 5,8 triliun.
Seperti diketahui, perkara pengadaan KTP-el bernilai Rp 5,9 triliun ini disidik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2015. Dua bekas pejabat Kementerian Dalam Negeri, yaitu Irman, yang saat itu selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, dan Sugiharto selaku Direktur Pengelolaan Informasi dan Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri, ditetapkan sebagai tersangka. Kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 2,3 triliun.
Setelah berjalan dua tahun, perkara ini disidangkan perdana pada 9 Maret 2017 yang dipimpin Jhon Halasan Butarbutar dengan hakim anggota Anwar, Franky Tambuwun, Anshori Saifuddin, dan Emilia. (IAN)