Pansel capim KPK mesti diisi sosok berintegritas. Jika tidak, sulit dapatkan pimpinan KPK yang juga berintegritas.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Istana mulai menggodok sejumlah nama yang akan dipilih menjadi anggota panitia seleksi calon pimpinan dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi dan ditargetkan rampung sebelum akhir bulan ini. Diharapkan Istana memilih sosok yang berintegritas dan independen sebagai anggota pansel. Selain punya rekam jejak bersih, sosok yang dipilih diharapkan tidak memiliki kepentingan politik.
Saat dihubungi di Jakarta, Kamis (9/5/2024), Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana mengatakan, panitia seleksi (pansel) calon pimpinan (capim) dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK akan diumumkan pada bulan ini. ”Nama-nama calon angggota pansel capim dan Dewas KPK masih terus digodok dengan memperhatikan harapan-harapan masyarakat untuk mendapatkan anggota pansel yang kredibel dan berintegritas,” ujarnya.
Ari mengungkapkan, pansel terdiri dari sembilan anggota yang ditetapkan melalui keputusan presiden. Lima orang di antaranya berasal dari unsur pemerintah dan empat lainnya dipilih dari unsur masyarakat.
Dihubungi secara terpisah, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, pansel calon pimpinan dan Dewas KPK hendaknya didominasi unsur masyarakat, bukan perwakilan pemerintah. Hal itu penting untuk menjamin independensi.
Tak hanya itu, pansel capim dan Dewas KPK juga harus diisi orang-orang yang berintegritas, punya rekam jejak bersih. Hal yang juga penting adalah tidak punya masalah hukum serta kepentingan, terutama kepentingan politik partisan. Anggota calon pimpinan yang dipilih hendaknya juga tidak punya pandangan yang bertentangan dengan prinsip pemberantasan korupsi.
”Kalau pansel capim KPK-nya itu tidak berintegritas, punya cacat etik, jangan harap nanti pimpinan KPK yang terpilih akan yang berintegritas. Jadi, pansel itu akan mencerminkan komisioner yang terpilih,” kata Zaenur.
Pansel capim dan Dewas KPK diharapkan bersedia menerima, mendengarkan, dan mempertimbangkan masukan publik. ”Jangan mentang-mentang pansel memiliki sumber informasi dari alat negara, kemudian mereka melaju sendiri. Justru alat-alat negara itulah yang harus diwaspadai oleh pansel,” katanya tegas.
Kalau pansel capim KPK-nya itu tidak berintegritas, punya cacat etik, jangan harap nanti pimpinan KPK yang terpilih akan yang berintegritas. Jadi, pansel itu akan mencerminkan komisioner yang terpilih.
Zaenur mengingatkan, semua pihak memiliki kepentingan terhadap KPK. Karena itu, dalam memilih capim dan Dewas KPK nantinya, pansel harus mengutamakan masukan masyarakat sebagai pertimbangan. Sebab, masyarakat adalah pihak yang punya pengalaman dan berinteraksi dengan para calon pimpinan KPK. Masyarakat tahu mana yang punya rekam jejak buruk dan catatan masa lalu yang bermasalah.
Pansel capim dan Dewas KPK juga diharapkan tidak menetapkan kuota dalam memilih calon pimpinan KPK. Sebab, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK tidak mengatur kuota dalam pemilihan capim KPK. ”Jadi, pandangan pansel capim KPK harus netral. Pansel capim KPK tidak boleh seakan-akan mengarahkan ada perwakilan dari kepolisian atau kejaksaan. Capim KPK yang dipilih harus berkualitas, berintegritas, netral, serta punya kapabilitas dan kapasitas,” kata Zaenur.
Berintegritas berarti capim KPK tersebut tidak mempunyai cacat etik, apalagi pelanggaran pidana. Netral berarti capim KPK tidak punya kepentingan, apalagi kepentingan politik partisan. ”Tugas KPK adalah menjadi pemberantas korupsi, termasuk akan melakukan kontrol terhadap kekuasaan yang menyimpang dalam bentuk korupsi,” ujar Zaenur.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menegaskan, pansel capim KPK harus independen atau tidak punya kedekatan, apalagi berafiliasi dengan presiden. Sebab, jika pansel yang dipilih adalah orang-orang dekat presiden, akan sangat sulit seleksi menghasilkan pimpinan KPK yang berintegritas.
”Seseorang yang dipilih sebagai pansel seharusnya mewakili kompetensi atau bidang keilmuan dan profesionalitasnya. Intinya zaken pansel, bukan pansel yang dipilih karena dekat dengan presiden dan punya hubungan atau kedekatan emosional dengan presiden,” ujar Aan.
Aan juga mengingatkan, tantangan terbesar dalam seleksi capim KPK adalah proses uji kelayakan dan kepatutan serta pemilihan di DPR. Sebab, dengan kewenangan yang dimiliki, DPR bisa saja memilih calon pimpinan KPK sesuai dengan pesanan pihak-pihak tertentu. DPR juga bisa saja memilih calon pimpinan KPK yang telah melobi mereka sejak awal proses seleksi di parlemen.
Dampak pemilihan
Ketua Indonesia Memanggil 57+ Institute Mochamad Praswad Nugraha mengingatkan, berbagai persoalan yang membuat KPK lemah pada periode ini merupakan salah satu dampak dari pemilihan pimpinan KPK pada 2019 yang mempunyai rekam jejak buruk.
Ada dua unsur pimpinan KPK pada periode ini terkena persoalan etik, yakni Lili Pintauli Siregar dan Firli Bahuri. Bahkan, Firli ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo oleh Polda Metro Jaya.
Menurut Praswad, refleksi sikap presiden terhadap KPK akan ditentukan pada proses seleksi capim KPK, termasuk dalam menentukan panselnya. Apabila nanti capim KPK bermasalah yang tetap dipilih, berarti tidak ada perubahan sejak pemilihan capim KPK 2019. Sebab, saat itu Praswad selaku Ketua Advokasi Wadah Pegawai KPK telah menyampaikan seluruh informasi tentang rekam jejak capim KPK, tetapi tidak ada kelanjutan.
Pada 2019, pegawai KPK membuat petisi untuk menolak calon pimpinan KPK yang bermasalah. Firli Bahuri salah satunya. Firli yang merupakan mantan Deputi Penindakan KPK terindikasi melanggar kode etik KPK sebelum dikembalikan ke Polri.
Firli diduga bermain tenis dengan Tuanku Guru Bajang Zainul Majdi yang saat itu menjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat. Pertemuan itu terjadi saat KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi dalam divestasi PT Newmont Nusa Tenggara kepada PT Amman Mineral Internasional dan Zainul menjadi salah satu pihak yang diperlukan keterangannya.
Praswad yang merupakan mantan penyidik KPK menegaskan, proses pemilihan capim KPK menjadi momentum bagi Presiden Joko Widodo pada masa akhir jabatannya untuk memilih capim KPK yang baik sebagai warisan terakhir.