MK: Perlu Perubahan Paradigma Netralitas Eksekutif, Presiden Harus Tahan Diri
Netralitas kekuasaan eksekutif disoroti MK. Demi mewujudkan pemilu jujur dan adil, perlu diatur UU netralitas presiden.
Oleh
IQBAL BASYARI, SUSANA RITA KUMALASANTI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menilai perlu perubahan paradigma mengenai netralitas kekuasaan eksekutif demi mewujudkan pemilihan umum yang jujur dan adil. Sebab, tolok ukur atau parameter ketidaknetralan presiden dalam pemilu, termasuk wilayah etik, belum diatur tegas dalam peraturan perundang-undangan.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengatakan, MK tidak menemukan landasan hukum untuk menindak persoalan ketidaknetralan Presiden yang memberikan keuntungan bagi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Sebab, tolok ukur atau parameter ketidaknetralan presiden dalam pemilu termasuk wilayah etik yang belum diatur tegas dalam peraturan perundang-undangan.
”Bahwa terlepas dari anutan asas legalitas demikian, Mahkamah menegaskan perlunya perubahan paradigma mengenai netralitas kekuasaan eksekutif demi mewujudkan pemilihan umum yang jujur dan adil,” ujar Ridwan saat sidang pembacaan putusan sengketa hasil Pilpres 2024 di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Menurut dia, Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Oleh karena itu, perubahan paradigma harus dilakukan melalui perubahan atas undang-undang mengenai kepemiluan.
Ridwan mengatakan, pola komunikasi pemasaran dalam pemilu menggunakan juru kampanye bukanlah tindakan yang melanggar hukum. Namun, endorsement atau perlekatan citra diri sebagai bagian dari teknik komunikasi persuasif potensial menjadi masalah etika manakala dilakukan oleh seorang presiden yang notabene dirinya mewakili entitas negara.
Mahkamah menegaskan perlunya perubahan paradigma mengenai netralitas kekuasaan eksekutif demi mewujudkan pemilihan umum yang jujur dan adil.
Dilematis
Lebih jauh, kedudukan presiden di Indonesia memang dilematis. Presiden memiliki posisi sebagai kepala eksekutif atau pemerintahan hasil pemilhan umum, sebagai kepala negara simbol kedaulatan negara, dan sebagai kader dari partai politik yang mengusungnya dalam pemilu. Presiden juga sekaligus merupakan warga negara Indonesia yang secara asasi mempunyai hak berpolitik, antara lain dalam bentuk mendukung atau tidak mendukung calon atau kandidat tertentu.
Oleh karena itu, Presiden seharusnya berpikir, bersikap, dan bertindak netral dalam ajang kontestasi pilpres yang akan menggantikan dirinya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden petahana mesti menahan atau membatasi diri dari penampilan di muka umum karena dapat diasosiasikan atau dipersepsikan oleh masyakarat sebagai dukungan bagi salah satu kandidat atau pasangan calon dalam pemilu.
”Kesediaan atau kerelaan presiden, serta kerelaan para petahana di level masing-masing yang menghadapi kemiripan situasi dengan kondisi Pilpres 2024 ini merupakan faktor utama bagi terjaganya serta meningkatnya kualitas demokrasi Indonesia,”kata Ridwan.