Sejarah Kekerasan di Tanah Papua, Lorong Tak Berujung?
Berbagai operasi telah digelar di Papua. Namun, korban terus berjatuhan. Diperlukan pendekatan baru tanpa kekerasan.
Meski status Papua sebagai Daerah Operasi Militer atau DOM telah dicabut pada 1998, kekerasan demi kekerasan tetap terjadi. Warga sipil, aparat keamanan baik TNI maupun Polri, serta kelompok bersenjata seolah bergiliran menjadi korban hingga sekarang.
Terkini, Komandan Rayon Militer 1703-04/Aradide Letnan Dua Oktovianus Sogelrey ditembak oleh kelompok bersenjata di kawasan Pasir Putih, Distrik Aradide, Kabupaten Paniai, Papua Tengah. Almarhum disebut keluar dari markas pada Rabu (10/4/2024) sore, namun hingga Kamis (11/4/2024) pagi, yang bersangkutan tidak kembali.
"Para pelaku penyerangan dan penembakan ini adalah gerombolan OPM (Organisasi Papua Merdeka)," kata Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Letnan Kolonel Candra Kurniawan.
Penembakan terhadap Oktovianus menambah panjang jumlah korban akibat kekerasan yang terjadi di tanah Papua. Laporan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (GTP UGM) yang diterbitkan tahun 2022 mencatat, sejak Januari 2010 hingga Maret 2022 jatuh sedikitnya 2.118 korban yang terdiri dari 1.654 orang mengalami luka-luka dan 464 orang meninggal dunia. GTP UGM memberi catatan, jumlah korban sebenarnya diprediksi lebih besar dari yang tercatat.
Para pelaku penyerangan dan penembakan ini adalah gerombolan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Masih menurut laporan tersebut, aktor utama dari berbagai kasus yang terjadi selalu melibatkan kelompok kriminal bersenjata/kelompok separatis bersenjata (KKB/KSB) atau mereka yang menamakan diri sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Namun demikian, pihak yang menjadi korban semakin meluas.
Baca juga: Konflik Papua dan Tanggung Jawab Intelektual
Bukan hanya KKB/KSB atau TPNPB-OPM, korban kekerasan juga menyasar masyarakat sipil, seperti tokoh agama, tokoh adat, tenaga kesehatan, guru, pelajar, pedagang, pekerja bangunan, tukang ojek, hingga kepala kampung menjadi korban. Selain itu, wilayah terjadinya kekerasan juga meluas dan terjadi di hampir seluruh Papua.
Wilayah dengan tingkat kekerasan yang tergolong tinggi selama kurang lebih 10 tahun terakhir adalah di Kabupaten Intan Jaya (55 kasus), Kabupaten Mimika (50 kasus), Kabupaten Puncak (43 kasus), Kabupaten Puncak Jaya (37 kasus), dan Yahukimo (15 kasus).
Kekerasan di Papua merupakan dampak yang timbul akibat pendekatan militeristik yang dipilih pemerintah dalam kurun waktu yang panjang di era Orde Baru. Konsep NKRI harga mati diterjemahkan melalui penerjunan pasukan melalui berbagai operasi secara silih berganti.
Sebelum Operasi Trikora
Laksamana Muda TNI (Purn) Untung Suropati dalam artikel "Solusi Komprehensif Menuju Papua Baru: Penyelesaian Konflik Papua Secara Damai, Adil dan Bermartabat" yang dimuat di Jurnal Kajian Lemhanas (Maret, 2019) mencatat, kekerasan oleh aparat keamanan di Papua terjadi sejak awal tahun 1960-an, atau sebelum Operasi Trikora digelar. Jika dibagi ke dalam beberapa periode, kekerasan yang terjadi antara tahun 1961-1969 merupakan babak awal hadirnya kekuasaan Indonesia di Papua.
Selanjutnya adalah periode kekerasan antara tahun 1970-1977. Pada periode ini, pendekatan keamanan diterapkan untuk meredam perlawanan terhadap hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), mengamankan PT Freeport Indonesia di Papua, serta untuk memastikan kemenangan Golkar pada Pemilu 1971 dan 1977.
Periode ketiga adalah kekerasan yang identik dengan masa berlakunya Daerah Operasi Militer (DOM) antara 1978-1998. Ciri khas kekerasan selama 20 tahun masa DOM adalah meluasnya kekerasan hingga ke kampung-kampung dengan dalih membasmi OPM.
Pada masa DOM inilah diduga kuat telah terjadi banyak pelanggaran HAM.
”Pada masa DOM inilah diduga kuat telah terjadi banyak pelanggaran HAM,” tulis Untung.
Menurut Untung, rentang waktu tahun 1998- 2006 adalah periode terburuk yang penuh catatan aksi kekerasan politik oleh TNI dan Polri. Sebab, pada periode antara tahun 1965-1998 operasi militer yang digelar adalah dalam rangka memberangus gerakan separatis OPM yang beroperasi di hutan dan daerah pedalaman Papua, sementara setelah 1998, tindakan represif dari TNI dan Polri juga terjadi di daerah perkotaan.
Terkait dengan kekerasan di Papua, laporan berjudul "Stop Sudah! Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM 1963-2009" yang diterbitkan pada 2010 mencatat berbagai operasi militer yang dilakukan di Papua mulai 1963 sampai 2004. Operasi itu adalah Operasi Wisnumurti I dan II (Mei 1963-April 1964); Wisnumurti II dan IV disambung Oprasi Giat, Operasi Tangkas dan Operasi Sadar (1964-1966), kemudian Operasi Baratayudha (1966); Operasi Sadar dan Operasi Baratayudha dan Wibawa (1968); hingga Operasi Pamungkas (1970-1974).
Operasi militer selanjutnya adalah Operasi Kikis (1977-1978); Operasi Sapu Bersih (1978-1982); dan Operasi Sate (1984). Tahun berikutnya dilakukan Operasi Gagak I (1985-1986; Operasi Gagak II (1986-1987); Operasi Kasuari I dan II (1987-1989); dan Operasi Rajawali I dan II (1989-1991). Setelah itu, diterapkan operasi pengamanan daerah rawan (1998-1999); operasi pengendalian pengibaran Bintang Kejora (1999-2002); dan operasi penyisiran di Wamena (2002-2004).
Berbagai operasi itu sebagian besar ditujukan untuk meredam perlawanan kelompok bersenjata yang oleh militer Indonesia disebut dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Berbagai operasi itu sebagian besar ditujukan untuk meredam perlawanan kelompok bersenjata yang oleh militer Indonesia disebut dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ikrar Nusa Bhakti yang kini merupakan tenaga profesional Bidang Politik Lemhanas RI pada 2007 silam menulis artikel mengenai separatisme Papua di harian ini berjudul "Ide Lama, Nuansa Baru".
Menurut Ikrar, OPM memiliki sayap militer bernama Tentara Pembebasan Nasional (TPN) meski kala itu tidak ada koordinasi di antara satu sama lain. Sampai pertengahan 1980-an OPM lebih banyak bergerak di wilayah perbatasan RI-PNG, dari Skow, Wor, dan Kwana (Workwana, kini Arso), Waris, Senggi, Mindiptana, Pegunungan Bintang, Boven Digoel, Mappi sampai ke Merauke.
Mengutip ICG Asia Briefing No 53 pada 5 September 2006, tokoh-tokoh OPM yang ada saat itu adalah Mathias Wenda di wilayah Kabupaten Keerom; Kelly Kwalik bersama Daniel Kogoya dan Titus Murib di daerah Mimika. Tokoh OPM lainnya adalah Hans Yuweni di wilayah Jayapura-Sarmi-Waropen, Goliath Tabuni di Puncak Jaya, serta Bernard Mawen di sekitar Merauke.
Pendekatan baru
Peneliti Senior Imparsial Al Araf berpandangan, terus bertambahnya korban jiwa seharusnya menjadi penanda bagi pemerintah bahwa penyelesaian konflik di Papua perlu menggunakan pendekatan baru. Selama ini, pemerintah dinilai melihat persoalan di Papua hanya dengan pendekatan dari atas ke bawah dan tidak dialogis. Solusi yang ditawarkan pun hanya mengedepankan aspek ekonomi, sementara aspek keadilan dan hukum diabaikan.
Al Araf berharap, pemerintah meninggalkan pendekatan kekerasan dan mulai membangun jalan dialog dan jalan damai di Papua. Melalui dialog, solusi yang dihasilkan merupakan kesepahaman dua pihak sehingga diharapkan lebih komprehensif. Al Araf meyakini pemerintah bisa melakukannya sebagaimana telah dilakukan di Aceh.
Semua pihak perlu berkepala dingin, melakukan gencatan senjata, melakukan jeda kemanusiaan dan membangun ruang dialog. Dengan demikian, diharapkan korban jiwa dapat terhindar dan penyelesaian Papua bisa lebih bermartabat dengan jalan damai.
"Dengan jalan itu, semua pihak perlu berkepala dingin, melakukan gencatan senjata, melakukan jeda kemanusiaan dan membangun ruang dialog. Dengan demikian, diharapkan korban jiwa dapat terhindar dan penyelesaian Papua bisa lebih bermartabat dengan jalan damai," kata Al Araf, Sabtu (13/4/2024).
Selama bertahun-tahun, yang dilakukan adalah penegakan hukum dalam rangka pengamanan oleh kepolisian. Di sisi lain, terdapat gelar pasukan oleh TNI. Namun, kenyataannya itu semua tidak bisa mengatasi persoalan di lapangan.
Oleh karena itu, penggunaan kembali label OPM di Papua dinilai sama sekali bukan penyelesaian masalah. Sebaliknya, label itu berdampak pada terjadinya stigmatisasi masyarapat Papua dan pendekatan operasi militer dalam mengatasinya.
Baca juga: Memahami Konflik Papua dari Dalam
Hal senada juga diungkapkan pengamat Papua yang juga mantan Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab, meski saat ini Papua berstatus tertib sipil, jatuhnya korban, baik sipil, aparat, maupun kelompok bersenjata tidak lepas dari situasi di Papua yang tidak menentu. Hal itu sekaligus memperlihatkan perlunya pendekatan baru untuk diterapkan di Papua.
"Selama bertahun-tahun, yang dilakukan adalah penegakan hukum dalam rangka pengamanan oleh kepolisian. Di sisi lain, terdapat gelar pasukan oleh TNI. Namun, kenyataannya itu semua tidak bisa mengatasi persoalan di lapangan," kata Amiruddin.
Korban terus berjatuhan, termasuk mereka yang tidak tahu-menahu persoalan. Akankan ini terus dilanjutkan? (NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR)