Negara perlu hadir secara sosial dan memahami peranan para ”big man” sebagai simbol peredam konflik sosial di Papua.
Oleh
TITO PANGGABEAN
·4 menit baca
Sepanjang 2023 tercatat 79 orang tewas akibat konflik di Papua, terdiri dari 37 warga sipil, 23 anggota TNI-Polri, dan 19 anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (Kompas.id, 25/12/2023). Jika tidak segera diambil langkah-langkah yang lebih tepat dan arif, bukan mustahil pada 2024 ini korban masih akan berjatuhan, bahkan dalam jumlah yang lebih besar.
Masalah keamanan di Papua tersebut berdampak kepada banyak hal, salah satunya layanan pendidikan, terutama di daerah pedalaman. Sudah lama warga perkampungan di daerah pedalaman Papua, seperti Jagamin-Baluni, Aroanop, Tsinga, serta kampong-kampung wilayah suku Amungme, Mee, Moni, Ekari, Dani, Damal, dan Nduga mengharap kedatangan guru sekolah.
Namun, tragisnya, para guru yang mengajar di kampung-kampung terpencil itu harus hidup dalam kecemasan karena rentan menjadi korban penculikan yang diduga dilakukan oleh apa yang disebut pemerintah sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Guru dibutuhkan oleh orang Papua pegunungan, tetapi sekaligus dihalangi kehadirannya oleh orang Papua juga.
Awal 2020 ada berita tentang penculikan dan penyanderaan tiga guru di daerah Pegunungan Tengah. Hal ini membuat trauma guru yang akan berdinas pada periode berikutnya. Meski penyanderaan itu kemudian dapat diakhiri, dampak psikologisnya masih terus berlanjut. Proses pemulihan trauma makan waktu bertahun-tahun. Dalam keadaan normal saja guru belum tentu bersedia ditugaskan di daerah itu. Tentu ini menjadi catatan dinas pendidikan setempat.
Signifikansi tokoh lokal
Menghadapi berbagai ancaman tersebut, keberadaan tokoh masyarakat sangat penting. Figur tokoh masyarakat memiliki kedudukan sentral dalam konfigurasi kebudayaan Papua. Tokoh masyarakat di kampung-kampung menjadi lebih dihormati jika ia juga seorang tokoh agama, pendeta, atau pengurus gereja setempat.
Tokoh masyarakat atau yang disebut menagawanini adalah kekuatan politik yang sah karena diangkat oleh warga dengan alasan ia sudah berpengalaman dalam mengatur keamanan dan ketertiban masyarakat. Warga kampung-kampung Papua mengandalkan mereka dalam menghadapi berbagai ancaman. Hanya merekalah yang dianggap mampu mengatasinya.
Sewaktu penulis melakukan riset lapangan di sana, memang terasa adanya aura perlindungan dari tokoh masyarakat itu. Warga sangat patuh, hormat, dan segan kepada para menagawan. Para pemimpin informal itulah yang memberi mereka rezeki dengan membagi rata aneka pekerjaan padat karya, seperti dalam pembangunan jalan, jembatan, dan perumahan. Mereka pula yang menyelesaikan persoalan-persoalan sehari-gari warga kampung, sejak perkelahian, perkawinan, hingga masalah mas kawin. Dalam literatur antropologi pemimpin dengan sosok manusia penguasa yang besar dan adil itu disebut big man (orang besar), sesuai imajinasi warga yang dipimpin.
Dalam masyarakat Papua terjadi secara terus-menerus pertarungan perebutan pengaruh antara menagawan dan pimpinan KKB.
Berita santer tentang keberhasilan menggagalkan penyanderaan di daerah yang disebut di atas dapat dilihat sebagai kemampuan big man setempat mengatasi sebuah krisis. Menagawan adalah orang yang mampu menjamin keamanan wilayah dan kenyamanan warga, walau mereka sesungguhnya tidak selalu berhasil.
Sering pemuka masyarakat kampung itu tak mampu menghadapi KKB yang menyandera warga, bahkan sampai menimbulkan korban nyawa. Dalam masyarakat Papua terjadi secara terus-menerus pertarungan perebutan pengaruh antara menagawan dan pimpinan KKB. Negosiasi juga berarti adu wibawa antara orang-orang itu
Menariknya, sebetulnya ada hubungan di antara para anggota KKB dan para menagawan. Dua golongan pemimpin masyarakat itu berasal dari suku-suku yang diyakini beranak pinak di kawasan jauh di timur, tempat matahari terbit dari sebuah goa. Boleh jadi mereka memang berasal dari satu fam besar dan bersaudara. Cerita legenda yang hidup dalam suku-suku di Pegunungan Tengah menunjukkan bahwa mereka memiliki asal-usul yang sama. Setidaknya itulah yang sering menjadi bahan obrolan dan dongeng menjelang tidur di itongoi atau honai, rumah tradisional Papua.
KKB, ”menagawan”, dan sikap negara
Para anggota KKB adalah orang-orang yang bersaudara dengan para penghuni kampung umumnya. Perbedaannya adalah mereka mengucilkan diri dengan tujuan khusus, yaitu mewujudkan mimpi dan harapan dibawa pergi ke zaman bahagia. Dalam naskah-naskah etnografi, kepercayaan dan sikap untuk mewujudkan mimpi disebut kultus kargo (cargo cult) atau gerakan mesianis (messianic movement).
Dalam imajinasi kultural orang-orang Papua dan penduduk berbagai kepulauan Pasifik, kultus atau gerakan itu berkaitan dengan kepercayaan dan bayangan tentang masa depan yang baik, zaman yang gilang-gemilang, dan datangnya pemimpin dari langit yang benar-benar hidup. Masuk ke dalam hutan, melakukan ritual, menciptakan masyarakat yang rindu akan zaman seketurunan yang bahagia adalah praktik yang umum.
Penjelasan dari munculnya cargo cult diduga terkait dengan memori kelam berupa pengalaman dengan para penjajah yang merajai Melanesia sampai Papua. Eksploitasi, kekerasan, dan penderitaan merupakan kondisi terciptanya kepercayaan tersebut.
Tekanan kekerasan di Papua yang berkepanjangan mengubah reaksi pasif menjadi aktif untuk melawan kekerasan itu. Jika dahulu fenomena koreri, messianic movement, cargo cult yang terkenal di Papua adalah gerakan melarikan diri dari dunia nyata, sekarang gerakan itu tidak lagi dilakukan dengan membangun mimpi atau melarikan diri ke hutan, melainkan melawan pihak-pihak yang dianggap sebagai musuh, yaitu tentara, orang asing, dan mereka yang berprofesi yang terkait dengan musuh, seperti guru, yang dibayangkan membawa paham-paham penjajahan.
Kini, tak ada lagi bayangan tentang kebahagiaan yang jatuh dari langit seperti kiriman dari para dewa. Kebahagiaan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan.
Strategi negara Indonesia untuk pembangunan ekonomi melahirkan guncangan kultural yang besar di Papua. Kehadiran kekuatan bersenjata serta sikap yang tak memedulikan kesetaraan dari para pengambil kebijakan di pusat turut menjadi konteks suburnya perlawanan, termasuk pembenaran aktual bagi pemaknaan cargo cult. Dalam konteks seperti ini, penjajahan tampaknya belum selesai bagi orang Papua.
Sebagai solusi, negara perlu hadir secara sosial dan memahami peranan para big man sebagai simbol peredam konflik sosial. Sikap bernuansa rasisme perlu segera diakhiri karena warga Papua juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Barangkali istilah KKB juga sudah saatnya diganti atau setidaknya diberi tanda kutip dalam setiap pemberitaan.
Ada baiknya Papua Road Map, konsep kebijakan nonkekerasan berjangka panjang di Papua yang pernah dirumuskan mendiang antropolog Muridan S Widjojo dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, kini BRIN) kembali dihidupkan dan diperbaharui.
Tito Panggabean, Konsultan Pemberdayaan Masyarakat; Peneliti Kebudayaan Papua; Pegiat Forum Kajian Antropologi Indonesia (FKAI)