Ucapan Hakim MK Arief Hidayat Bangun Persepsi Presiden Kebal Hukum
Ucapan Hakim MK Arief Hidayat perihal tak memanggil Kepala Negara dinilai dapat membangun persepsi Presiden kebal hukum.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ucapan hakim konstitusi soal alasan tidak memanggil Presiden ke sidang perselisihan hasil sengketa pemilu dinilai tidak perlu disampaikan. Pasalnya, ucapan tersebut bisa membangun persepsi bahwa Presiden kebal hukum. Atas dasar itu, Mahkamah Konstitusi dianggap membatasi dirinya sendiri.
Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menyampaikan, Presiden dapat dipanggil ke sidang sesuai kebutuhan. Ungkapan hakim konstitusi seolah membenarkan mitos bahwa Presiden tidak bisa diadili.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Sikap hakim MK ini politis, kan, Presiden bisa dipanggil (sesuai kebutuhan). Lebih baik hal itu tidak diucapkan. Ketika terucap, MK justru membuat postulat seolah tak bisa mengadili presiden. Bagaimana tidak (seperti itu), dipanggil ke sidang pun tak bisa,” ujar Kaka saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (6/4/2024).
Alasan tidak memanggil Presiden tersebut diungkapkan hakim konstitusi Arief Hidayat saat sidang perselisihan sengketa hasil pemilihan umum (PHPU), Jumat (5/4/2024). Arief menilai, Presiden tidak sekadar berstatus kepala pemerintahan, tetapi juga kepala negara.
”Apa iya kita memanggil kepala negara, Presiden Republik Indonesia? Kelihatannya, kan, kurang elok karena presiden sekaligus kepala negara dan kepala pemerintahan. Kalau hanya sekadar kepala pemerintahan, akan kita hadirkan di persidangan ini,” kata Arief.
Menurut Kaka, hakim konstitusi tidak seharusnya mengungkapkan hal tersebut. Sebab, ungkapan itu membangun kesepahaman tidak tertulis dalam peradilan. MK sebagai pengadil juga telah membatasi kewenangannya sendiri.
Apa iya kita memanggil kepala negara, Presiden Republik Indonesia? Kelihatannya, kan, kurang elok karena presiden sekaligus kepala negara dan kepala pemerintahan.
Perkara PHPU yang tengah berjalan tidak sekadar mengadili Presiden semata, tetapi juga masalah elektoral. ”Kalau memang Presiden perlu hadir, ya, dihadirkan saja. Apalagi, jawaban keempat menteri yang dipanggil juga normatif,” ujar Kaka.
Empat menteri Presiden Joko Widodo tidak secara mendalam digali keterangannya oleh MK. Keempatnya sekadar menjelaskan program kerja belaka. Menurut Kaka, masih ada sikap ewuh pakewuh—perasaan sungkan atau tidak enak—terhadap Presiden beserta pembantunya.
Kalau memang Presiden perlu hadir, ya, dihadirkan saja. Apalagi, jawaban keempat menteri yang dipanggil juga normatif.
Kaka pun menilai, masih banyak hal yang perlu didalami MK sehingga perlu memanggil pihak lainnya. Ia menyinggung tudingan keterlibatan aparat seperti Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, hingga aparatur sipil negara (ASN) yang lewat tanpa kejelasan.
”Kami berharap MK bisa komprehensif dalam membuat keputusan nanti. Putusan perlu menerangkan secara gamblang permasalahan dan mengembalikan marwah demokrasi nasional,” tambahnya.
Sementara itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menyebutkan, proses pembuktian sudah selesai pada Jumat kemarin. Karena itu, kalau ingin memanggil Presiden, seharusnya bisa dilakukan kemarin.
Kehadiran empat menteri Presiden Jokowi pun dinilai tidak mengungkap secara menyeluruh apa yang terjadi dalam praktik politisasi bantuan sosial. Semua pernyataan dijawab normatif dan umum.
”Meski begitu, pengetahuan dan keyakinan hakim dalam konteks politisasi bantuan sosial serta lainnya, kan, tidak hanya bersumber dari keterangan menteri. Tentu nanti akan diverifikasi dengan keterangan, bukti, dan petunjuk lain. Mungkin ini nanti yang bisa membuat terang perkara PHPU,” tutur Fadli.