Eddy Hiariej Jadi Ahli, Bambang Widjojanto Tinggalkan Sidang
Edward OS Hiariej atau Eddy yang hadir di sidang PHPU 2024 MK untuk kepentingan kubu Prabowo-Gibran tanpa izin dari UGM.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy OS Hiariej menjadi ahli di sidang perselisihan hasil pemilihan umum atau PHPU 2024 di Mahkamah Konstitusi. Tanpa izin dari UGM tempatnya bekerja, Eddy hadir untuk membela kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Padahal, izin dari institusi yang menaunginya menjadi bagian dari kelengkapan formal untuk bisa memberikan keterangan di persidangan MK.
Persoalan izin tersebut ditanyakan oleh Ketua MK Suhartoyo saat Eddy hendak mulai memberikan keterangan. ”Kami tidak mengajukan izin. Memang langsung ke sini,” kata Eddy menjawab Suhartoyo, Kamis (4/4/2024).
Sesaat suasana persidangan menjadi hening, Eddy menunggu tanggapan dari majelis hakim apakah diperkenankan melanjutkan pemberian keterangan ahli atau tidak. ”Surat tugas kalau ingin …. (hening sejenak). Ya sudah, nanti keterangannya kami yang menilai. Karena ini bagian dari kelengkapan formal. Silakan,” kata Suhartoyo.
Sebelumnya, sesaat memasuki mimbar, Eddy membalas pernyataan Bambang Widjojanto, kuasa hukum tim Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, yang keberatan dengan kehadirannya sebagai ahli. Bambang mempertanyakan kehadirannya di MK mengingat statusnya yang saat ini sedang disidik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia mengutip pemberitaan media yang mengutip keterangan juru bicara KPK, Ali Fikri, bahwa KPK sudah mengeluarkan sprindik terkait perkara yang melibatkan Eddy.
Suhartoyo ingin menghentikan hal tersebut, tetapi Eddy bersikukuh.
Surat tugas kalau ingin …. (hening sejenak). Ya sudah, nanti keterangannya kami yang menilai. Karena ini bagian dari kelengkapan formal. Silakan.
”Saya juga berhak (membantah) supaya tidak terjadi character assassination. Karena begitu dikatakan oleh Saudara Bambang, hari ini pemberitaan dengan seketika mempersoalkan keberadaan saya. Saya ingin mengatakan selama 30 detik bahwa pemberitaan yang disampaikan oleh Saudara Bambang itu tidak disampaikan secara utuh. Pada saat itu, Ali Fikri, juru bicara, mengatakan akan menerbitkan sprindik umum dengan melihat perkembangan kasus,” kata Eddy.
Ia kemudian membandingkan dirinya dengan Bambang dalam menghadapi kasus hukum. Saat menjadi tersangka, Eddy mengatakan dirinya melawan dengan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Praperadilan Eddy tersebut dikabulkan oleh hakim tunggal PN Jaksel sehingga penetapan tersangka dibatalkan.
Jadi, saya berbeda dengan Saudara Bambang Widjojanto yang ketika ditetapkan sebagai tersangka dia tidak men- challange, tetapi mengharapkan belas kasihan dari Jaksa Agung untuk memberikan deponeer. Terima kasih.
”Jadi, saya berbeda dengan Saudara Bambang Widjojanto yang ketika ditetapkan sebagai tersangka dia tidak men-challange, tetapi mengharapkan belas kasihan dari Jaksa Agung untuk memberikan deponeer. Terima kasih,” kata Eddy.
Ditinggal pergi
Ucapan ini tidak lagi ditanggapi oleh Bambang mengingat yang bersangkutan sudah tidak berada di ruang sidang. Ia meminta izin kepada ketua majelis hakim untuk meninggalkan ruang sidang sebagai perwujudan sikapnya mempertanyakan kehadiran Eddy.
Seusai keterangan diberikan, Suhartoyo memberikan kesempatan kepada tim hukum Amin untuk bertanya. ”Tidak akan menggunakan, (hak bertanya),” ujar Refly Harun, salah satu kuasa hukum tim Amin.
Selain solidaritas kami terhadap Bambang Widjojanto, prosedur resminya belum. Belum ada surat izin.
”Selain solidaritas kami terhadap Bambang Widjojanto, prosedur resminya belum. Belum ada surat izin,” kata Refly.
”Sudah-sudah. Sudah kami catat tadi,” kata Suhartoyo menghentikan Refly.
Bakal calon presiden dan bakal wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka bersiap menjalani pemeriksaan kesehatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Kamis (26/10/2023).
Keabsahan pencalonan Gibran
Eddy membuka keterangannya dengan menjelaskan soal kewenangan MK dalam mengadili sengketa pemilu. Menurut dia, kewenangan MK hanya sebatas mengadili permasalahan penghitungan suara. ”Tidak lain dan tidak bukan,” tegas Eddy.
Pendapatnya itu didasarkan pada interpretasi gramatikal sistematis baik terhadap Pasal 24C UUD 1945 serta Pasal 74 dan Pasal 75 UU MK. ”Apa yang ada di Pasal 24C serta Pasal 74 dan Pasal 75 tidak ada interpretasi lain,” kata Eddy.
Ketika ini tidak dilakukan, berarti pasangan 01 dan 03 telah melakukan apa yang kita sebut melepaskan haknya.
Terkait keabsahan pencalonan Gibran, Eddy mengungkapkan bahwa MK tidak berwenang untuk menilai hal tersebut. Sebab, persoalan itu ada pada ranah sengketa proses pemilu. Keberatan terhadap keputusan KPU yang menetapkan Gibran sebagai calon wakil presiden seharusnya dipersoalkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
”Ketika ini tidak dilakukan, berarti pasangan 01 dan 03 telah melakukan apa yang kita sebut melepaskan haknya,” katanya.
Yang kedua, Eddy juga tidak melihat kedua paslon tersebut tidak mempersoalkan kembali pencalonan Gibran pada masa kampanye ataupun debat calon. ”Ketiga, masalah yang terkait dengan batas usia, menurut pendapat kami, KPU hanya melaksanakan putusan MK sehingga semestinya terkait masalah batas usia ini tidak dipersoalkan kepada KPU, tetapi kepada Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Ia juga mempersoalkan tentang permintaan kuasa hukum tim Ganjar-Mahfud untuk memasukkan nepotisme sebagai bagian dari kejahatan terstruktur, sistematis, dan masif.