Laporan ICW, kepala desa jadi salah satu aktor yang paling banyak terjerat korupsi. Mayoritas kasus terkait dana desa.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan dana desa yang terjadi berkat revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dinilai rawan dikorupsi. Hal ini karena keuangan desa selama ini belum dikelola sesuai standar yang diterapkan pada pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pengawasan terhadap penggunaan dana tersebut juga belum optimal.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan mengatakan, perubahan besaran dana desa setelah revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) dapat memunculkan polemik terkait pengelolaannya. Sebab, selama ini dana desa belum dikelola secara optimal sehingga kerap disalahgunakan, baik oleh kepala desa maupun perangkat desa.
”Dengan model pengelolaan seperti sekarang, kepala desa bisa semakin banyak yang terjerat kasus hukum,” kata mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (31/3/2024).
Merujuk draf Rancangan Undang-Undang Desa yang telah disetujui untuk disahkan menjadi UU Desa dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (28/3/2024), salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi dana desa. Kini, alokasi dana desa menjadi setidaknya 10 persen dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil yang diterima kabupaten/kota dalam APBD.
Sebagai perbandingan, sebelum UU Desa direvisi, alokasi dana desa ditetapkan minimal 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah dikurangi dana alokasi khusus (DAK).
Sejak disalurkan pada 2015, lanjut Djohermansyah, pengelolaan dana desa dilakukan oleh kepala desa beserta perangkatnya yang secara umum bukan aparatur sipil negara (ASN). Mereka tidak memiliki kemampuan pengelolaan dana negara.
Perangkat desa merupakan orang-orang yang diusulkan kepala desa sehingga akan berganti setiap pergantian kepemimpinan. Padahal, dana desa bersumber dari APBN sehingga seharusnya dikelola dengan mengikuti standar penggunaan anggaran negara oleh orang-orang yang memiliki kemampuan terkait.
Tanpa keberadaan pihak yang kompeten, pengelolaan dana desa cenderung semena-mena. Misalnya, berdasarkan informasi yang Djohermansyah dapatkan dari sejumlah bupati, dana desa umumnya dipindahkan ke rekening kepala desa. Padahal, dengan langkah itu penyalahgunaan rawan sekali terjadi.
Tak berhenti di situ, kepala desa umumnya juga berperan sendiri dalam penggunaan dana desa. Menurut Djohermansyah, hal itu menjadi pintu terjadinya penyalahgunaan. Sebab, penggunaan dana menjadi tidak transparan.
”Sekarang, di UU Desa yang baru, kepala desa juga mendapatkan imunitas dengan adanya bantuan hukum dalam menjalankan program-programnya. Jadi, mereka tidak bisa dilaporkan, harus melalui pemeriksaan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan),” ujar Djohermansyah.
Menurut dia, hal itu bakal memperlemah pengawasan yang selama ini belum optimal. Sebab, pengawasan terhadap dana desa dilakukan oleh inspektorat yang berada di kabupaten. Akibatnya, pengawasan menjadi tidak optimal karena jumlah desa yang diawasi terlalu banyak, jarak antara ibu kota kabupaten dan desa-desa juga menjadi kendala lain.
Sekarang, di UU Desa yang baru, kepala desa juga mendapatkan imunitas dengan adanya bantuan hukum dalam menjalankan program-programnya.
Di tengah konteks itu, Djohermansyah mengingatkan agar pembentuk UU tidak hanya menambah besaran dana desa. Pemerintah juga semestinya memperbaiki sistem pengelolaan dana desa dengan menempatkan ASN untuk menangani persoalan administrasi, tata usaha, dan pertanggungjawaban atas dana desa. Perangkat pengawasan juga harus didekatkan dengan desa.
Pendekatan one man show yang dilakukan kepala desa dalam menggunakan dana desa, menurut Djohermansyah, juga harus diubah menjadi collaborative governance atau pengelolaan dana secara kolaboratif dengan pemangku kepentingan di desa.
”Dengan cara bergotong royong, capaian penggunaan dana desa bisa lebih maksimal dan terhindar dari perilaku koruptif karena dananya digunakan secara transparan dan terbuka,” kata Djohermansyah.
Merujuk Laporan Tren Penindakan Korupsi Tahun 2022 yang diterbitkan Indonesia Corruption Watch (ICW), kepala desa merupakan salah satu aktor yang paling banyak terjerat kasus korupsi setelah pegawai pemerintahan daerah dan swasta. Dari total 1.259 pelaku korupsi sepanjang 2022, sebanyak 319 orang di antaranya berprofesi sebagai kepala desa.
ICW juga menemukan, sejak UU Desa diterbitkan pada 2014, jumlah kasus korupsi yang terjadi di desa terus naik. Hal ini mulai 17 kasus pada 2016 yang lantas melonjak menjadi 155 kasus pada 2022. Adapun dari 155 kasus, mayoritas atau 133 kasus berkaitan dengan dana desa, sedangkan 22 kasus lainnya terkait penerimaan desa
Mekanisme kontrol
Dihubungi terpisah, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, membenarkan alokasi dana desa akan naik setelah UU Desa direvisi. Hal tersebut merupakan wujud dari komitmen pembentuk UU agar anggaran negara tidak hanya terkonsentrasi di daerah tertentu atau untuk kalangan tertentu. Kenaikan dana desa diharapkan bisa menjadi stimulus yang memicu pemerataan pembangunan.
Ia tidak memungkiri, pemanfaatan dana desa selama ini belum optimal dan kerap menjadi obyek korupsi. Fenomena itu juga tidak luput dibicarakan oleh Panitia Kerja RUU Desa. ”Makanya, sekarang ini kita bicara bagaimana pemanfaatan dana bisa dilakukan secara optimal dan bagaimana ruang korupsi kita minimalisasi,” kata Guspardi.
Menurut dia, ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar kepala desa tidak terjebak kasus korupsi sekaligus bisa memanfaatkan dana desa secara optimal untuk pembangunan. Langkah dimaksud mulai pemberian edukasi dan pendampingan terhadap kepala desa dan perangkat desa agar lebih memahami soal administrasi keuangan negara.
Tak hanya itu, mekanisme kontrol juga perlu diperkuat dengan mengoptimalkan peran kontrol sosial masyarakat. Setiap desa umumnya memiliki kearifan lokal yang praktiknya mengawasi pemerintahan yang tengah berjalan. ”Dengan kontrol sosial dari masyarakat itu, pengelolaan dana desa tidak jadi monopoli kepala desa,” ujar Guspardi.