Bukan Hanya Menteri, Presiden Bisa Dihadirkan sebagai Saksi Sengketa Pilpres
Presiden Jokowi dinilai perlu dihadirkan dalam sidang sengketa pilpres untuk mengklarifikasi tuduhan politisasi bansos.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
Politisisasi bantuan sosial atau bansos menjadi salah satu dalil yang disampaikan pasangan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dua pemohon perkara sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi. Karena itu, Presiden Joko Widodo juga dapat dihadirkan untuk menjelaskan perkara bansos tersebut di hadapan hakim kontitusi, selain sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju.
Sebelumnya, dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), Kamis (28/3/2024), kuasa hukum Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menghadirkan sejumlah menteri untuk mendalami informasi tentang kebijakan pembagian bansos selama tahapan pemilu berlangsung.
Kuasa hukum Anies-Muhaimin memohon agar MK menghadirkan empat menteri, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Sementara kuasa hukum Ganjar-Mahfud mengusulkan tiga menteri dihadirkan, yakni Menkeu, Mensos, dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang Feri Amsari menilai, permohonan kedua pemohon tersebut sudah tepat. Menurut dia, keterangan para menteri itu penting untuk membuktikan argumentasi dan dalil hukum yang disampaikan para pemohon, terutama soal politik gentong babi atau pork barrel politics.
Praktik politik gentong babi salah satunya dilancarkan pemerintah dengan membagikan bansos demi membantu pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka seperti yang disampaikan kuasa hukum Anies-Muhaimin dalam persidangan di MK. Anies-Muhaimin menuding penguasa sengaja menggencarkan pembagian bansos mendekati pemilu demi memenangkan Prabowo-Gibran.
Dalam sidang pada Rabu (27/3/2024) lalu, anggota Tim Hukum Anies-Muhaimin, Bambang Widjojanto, bahkan mengungkapkan lonjakan belanja bansos. Jika pada Januari 2022 belanja bansos hanya sekitar Rp 3,8 triliun, pada Januari 2024 belanja bansos melonjak menjadi Rp 12,4 triliun.
Feri mengungkapkan, pemerintah memang boleh membagikan bansos. ”Yang tidak boleh adalah memolitisasi bansos untuk kepentingan elektabilitas. Dan, itu yang menjadi indikasi bahwa pemilu ini berlangsung secara curang,” tuturnya.
Kehadiran para menteri itu diharapkan dapat memberikan pertimbangan bagi hakim konstitusi untuk mengusut pelanggaran kecurangan pemilu.
Tak berhenti pada sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju, Feri juga mengharapkan pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud juga meminta agar Presiden Joko Widodo dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan sengketa hasil pilpres. Sebab, Presiden Jokowi-lah yang dituduh melakukan kecurangan.
”Pertanyaannya apa? Kalau orang yang dituduh melakukan kecurangan, dia punya satu hal penting, membela dirinya dalam persidangan. Saya berharap 01 (Anies-Muhaimin) dan 03 (Ganjar-Mahfud) meminta Presiden Jokowi menjadi saksi untuk membela dirinya sendiri, mengklarifikasi tuduhan di persidangan,” kata Feri.
Ambil alih sengketa proses pemilu
Pada forum yang sama, pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, Jentera Bivitri Susanti, mengungkapkan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memang mengatur penanganan sengketa proses pemilu menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu. Namun, melihat bobot dugaan kecurangan yang dinilainya terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), tak cukup hanya ditangani Bawaslu.
”MK sangat bisa mengambil alih dugaan kecurangan TSM tersebut,” imbuhnya.
Kalau orang yang dituduh melakukan kecurangan, dia punya satu hal penting, membela dirinya dalam persidangan. Saya berharap 01 (Anies-Muhaimin) dan 03 (Ganjar-Mahfud) meminta Presiden Jokowi menjadi saksi untuk membela dirinya sendiri di persidangan.
Feri menambahkan, MK merupakan penjaga konstitusi. Karena itu, akan lebih baik jika MK tak terbatas mengadili angka-angka selisih hasil, tetapi juga proses pemilu.
”Penting untuk bicara proses karena asas pemilu jurdil itu telah dilanggar. Anehnya, Bawaslu sebagai pihak yang berwenang tiba-tiba sudah menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran TSM. Bagaimana jika logikanya dibalik bahwa penyelenggara pemilu itu sendiri atau Bawaslu adalah bagian dari kecurangan pemilu?” ungkapnya.
Dengan perspektif itu, kata Feri, apa yang disampaikan Bawaslu tidak bisa dipegang karena mereka terlibat dalam kecurangan tersebut. MK dan Bawaslu adalah dua lembaga yang berbeda dan tidak terikat. Oleh sebab itu, publik berharap MK bisa bertindak jujur dan dapat memenuhi rasa keadilan sebagai harapan dari benteng terakhir penjaga konstitusi.
Ketua Bawaslu periode 2017-2022 Abhan mengatakan, MK juga perlu menguji kembali keputusan Bawaslu yang menyatakan tidak ada pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif. ”Kuncinya ada di MK apakah berani menguji atas beberapa laporan dari publik dan pasangan calon yang merasa laporannya itu tidak ditindaklanjuti dan ditangani secara proporsional oleh Bawaslu,” tuturnya.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam penanganan sengketa hasil pilkada, MK bisa progresif, misalnya saat memutus perkara sengketa hasil Pilkada 2020 di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan dan Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur. Walaupun dibatasi dengan aturan selisih hasil perolehan suara, MK bisa memutus perkara secara lebih substantif. MK pernah mendiskualifikasi pasangan calon kepala daerah lantaran jumlah daftar pemilih tetap melebihi jumlah penduduk. Diskualifikasi calon kepala daerah juga pernah ditetapkan karena MK menilai calon kepala daerah melanggar syarat yang ditentukan dalam undang-undang.