Ratusan Penyelenggara Pemilu Meninggal Dunia, Pola Rekrutmen Mendesak Dibenahi
Pola rekrutmen penyelenggara pemilu ad hoc mendesak diperbaiki agar tidak jatuh korban lagi saat perhelatan pemilu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Kesehatan mencatat ada 171 petugas pemilu yang meninggal dunia selama perhelatan pemilu serentak 2024. Agar situasi serupa tidak terulang di pilkada serentak 2024, Kementerian Kesehatan merekomendasikan agar standar rekrutmen penyelenggara ad hoc lebih ditaati karena masih ditemukan petugas pemilu yang meninggal berusia di atas 55 tahun. Padahal, sesuai aturan, syarat menjadi petugas pemilu adalah maksimal usia 55 tahun.
Kementerian Kesehatan mencatat, hingga 20 Maret 2024, sebanyak 171 petugas pemilu dilaporkan meninggal dunia di fasilitas kesehatan pemerintah. Jumlah petugas pemilu yang meninggal dunia itu di antaranya 87 orang Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), 40 orang Perlindungan Masyarakat (Linmas), 16 petugas pemilu lainnya, 10 saksi, 9 orang Panitia Pemungutan Suara (PPS), 8 orang Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan 2 orang Panitia Pemilihan Kecamatan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Dari catatan kami, 30 persen yang meninggal dunia itu adalah petugas pemilu yang berusia 51 tahun-60 tahun. Padahal, sesuai aturan, usia maksimal penyelenggara ad hoc adalah 55 tahun,” kata Direktur Pelayanan Kesehatan Primer Kementerian Kesehatan Obrin Parulian saat diskusi ”Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024: Kematian Petugas KPPS dan Upaya Perbaikan Sistem Tahapan Pemilu yang Adil bagi Pemilih”, Rabu (27/3/2024).
Parulian menambahkan, dari data yang masuk ke Kemenkes pada 10 Februari-25 Maret 2024, petugas pemilu paling banyak meninggal dunia pada H+2 pemungutan dan penghitungan suara, yaitu pada 15 Februari 2024 sebanyak 31 orang. Kematian petugas pemilu ini bahkan sudah dilaporkan tiga hari menjelang pemungutan suara, yaitu pada 11 Februari lalu.
Dari catatan kami, 30 persen yang meninggal dunia itu adalah petugas pemilu yang berusia 51 tahun-60 tahun.
Penyebab kematian masih sama
Adapun penyebab kematian tertinggi masih sama seperti pada pemilu sebelumnya, yaitu penyakit jantung 38 orang, shock septik atau infeksi luas yang menyebabkan kegagalan organ dan tekanan darah yang sangat rendah sebanyak 15 orang, death on arrival (DOA) atau datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan meninggal dunia sebanyak 13 orang, penyakit pernapasan akut 10 orang, kecelakaan 10 orang, hipertensi 10 orang, penyakit serebrovaskular 10 orang, diabetes melitus 7 orang, dan sebagainya.
Untuk mencegah agar situasi serupa tidak terulang di kemudian hari, terutama perhelatan pilkada serentak 2024 pada November mendatang, Parulian menyarankan kepada penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, untuk taat dan patuh pada syarat administratif khususnya syarat batasan umur. Ia menyarankan agar penyelenggara pemilu melibatkan generasi muda seperti mahasiswa.
Dengan mengambil generasi muda, asumsinya mereka tidak memiliki atau bahkan hanya sedikit memiliki faktor risiko kesehatan atau komorbid, berstatus sehat atau layak. Selain itu, Kemenkes juga menyoroti soal pentingnya penguatan aspek teknis seperti pembatasan jam kerja, dan kepatuhan untuk berperilaku hidup sehat untuk mengurangi risiko kesakitan dan kematian.
”Jika sejak awal sudah ada batasan usia 55 tahun untuk skrining rekrutmen penyelenggara pemilu ad hoc seharusnya ditaati. Harus ada sinkronisasi data antara jajaran KPU kabupaten, kota, provinsi dengan KPU RI,” ucap Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut Usia Nida Rohmawati.
Manajemen pemilu
Nida juga mengingatkan bahwa pengelolaan tahapan pemilu juga harus diatur mulai dari penyelenggara ad hoc dilantik, penyiapan tempat pemungutan suara seperti membangun tenda dan TPS, serta pengelolaan surat suara harus diatur. Para petugas KPPS, misalnya, harus diingatkan bahwa menjelang pemungutan dan penghitungan suara, mereka harus tidur cukup dan tidak boleh begadang.
Kondisi fisik harus bugar, tidur yang cukup, makan dan minum yang cukup dan sehat.
”Jika memang merasa kurang sehat, segera hubungi petugas kesehatan, jangan kemudian memaksakan diri karena dedikasi akhirnya malah sakit, bahkan meninggal dunia. Harus dipahami bahwa menjadi KPPS itu seperti naik haji. Karena pekerjaan berat, kondisi fisik harus bugar, tidur yang cukup, makan dan minum yang cukup dan sehat,” tutur Nida.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pramono Ubaid Tanthowi, menyebutkan, dari hasil pemantauan Tim Pemantauan Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara pada Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, ada perbedaan data jumlah petugas yang meninggal dunia antara Komisi Pemilihan Umum dan Kementerian Kesehatan. Data KPU menyebutkan jumlah penyelenggara ad hoc yang meninggal pada pemilu kali ini turun menjadi 289 orang. Adapun pada Pemilu 2019, jumlah penyelenggara ad hoc yang meninggal dunia mencapai 894 orang.
Ia menengarai, kematian petugas pemilu disebabkan oleh sejumlah faktor, di antaranya beban pekerjaan yang berat, rekrutmen sumber daya manusia (SDM), manajemen krisis yang kurang, serta jaminan sosial.
Dari sisi beban pekerjaan, rata-rata petugas KPPS bekerja penuh selama tiga hari dua malam, bahkan bisa lebih. Mereka mendirikan TPS, membagikan formulir pemberitahuan memilih, mengurusi proses pemungutan dan penghitungan suara, hingga mengisi Sistem Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu 2024 (Sirekap). Pemilu 2024 juga masih terdiri atas lima kotak suara, yaitu memilih presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dengan jumlah pemilih per TPS maksimal 300 pemilih. Beban ini cukup berat bagi KPPS.
”Pasal 383 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa penghitungan suara hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPS luar negeri yang bersangkutan pada hari pemungutan suara. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20 Tahun 2019 juga memperpanjang waktu penghitungan suara menjadi 12 jam tanpa jeda sehingga beban pekerjaan KPPS memang berat,” papar Pramono.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa kebijakan penyalinan formulir C.Hasil secara elektronik dari yang semula manual ternyata tidak berhasil menurunkan durasi waktu kerja KPPS. Sirekap justru menambah beban KPPS menjadi lebih berat.
Selain itu, KPU juga dinilainya tidak berhasil membuat kebijakan atau inovasi untuk mengurangi beban kerja KPPS. KPU masih menerapkan batas usia petugas KPPS 55 tahun. Sementara Bawaslu RI bahkan tidak menerapkan batas usia maksimal. Rekomendasi Komnas HAM idealnya batas usia maksima petugas pemilu adalah 50 tahun.
”Temuan lain adalah cuaca pada hari pemungutan suara tidak mendukung karena ada hujan dan angin sebelum, saat, dan setelah hari-H pemungutan suara yang menghambat pekerjaan KPPS di TPS selesai tepat waktu. Lingkungan TPS tidak sehat karena masih ada makanan ringan berupa gorengan, minuman kopi yang berlebihan, juga asap rokok,” katanya.
Komisioner KPU periode 2017-2022 itu meyakini pekerjaan berat ujung tombak penyelenggaraan pemilu itu bisa dikelola lebih baik lagi. Misalnya, jika usulan KPU untuk membuat penghitungan suara dua panel bisa disetujui DPR dan diterapkan. KPU memang sempat mengusulkan penghitungan suara dua panel, tetapi ditolak oleh Komisi II DPR.
Bimbingan teknis
Pendiri Akademik Pemilu dan Demokrasi Masykurudin Hafidz mengatakan, temuan Komnas HAM dan Kemenkes itu seharusnya bisa diperbaiki lagi ke depan. Soal beban pembangunan TPS, misalnya, sebenarnya bisa jauh-jauh hari dibangun dengan melibatkan partisipasi masyarakat sehingga beban kerja KPPS tidak terlalu berat. Ada anggaran yang disiapkan untuk membangun TPS yang bisa dioptimalkan agar KPPS tidak kelelahan.
Selain itu, di TPS juga ada anggaran untuk konsumsi yang bisa dibelanjakan untuk membeli makanan sehat dengan budget yang tersedia. Bahkan, di TPS juga sudah disediakan vitamin.
Pemilu memang berat, tetapi jika dikelola dengan baik, pemilu bisa lebih baik dan lebih sehat.
”Pemilu memang berat, tetapi jika dikelola dengan baik, pemilu bisa lebih baik dan lebih sehat,” kata Masykur.
Ia juga berharap proses bimbingan teknis (bimtek) penyelenggara ad hoc itu bisa dilakukan lebih awal dengan dicicil sehingga pemahaman para petugas KPPS lebih baik. Sering kali yang ditemui di lapangan, petugas KPPS tidak membaca dokumen bimtek atau bimtek diselenggarakan mepet waktu sehingga pemahaman mereka saat menjadi petugas KPPS minim. Akhirnya, mereka kerap bingung dan bertanya karena tidak memahami masalah. Sementara jawaban yang diberikan oleh otoritas berwenang, baik KPU maupun Bawaslu, juga sangat minim.