Kekuatan ”Oposisi” Jadi Syarat Efektivitas Pemerintahan Prabowo-Gibran
Prabowo bisa membentuk kabinet ideal dengan mengoptimalkan pelibatan partai-partai pengusungnya pada saat pilpres.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komposisi kabinet yang akan dipimpin Prabowo Subianto, calon presiden yang memperoleh suara terbanyak pada Pemilihan Presiden 2024, akan mencapai bentuk ideal jika hanya diisi oleh kelompok pengusung dan pendukungnya. Upaya untuk menggandeng kubu lawan justru bisa mengancam efektivitas pemerintahan, bahkan dapat menciptakan kartel politik. Sebab, pemerintahan akan berjalan efektif jika ada kekuatan ”oposisi”, partai politik di luar pemerintahan, yang dapat mengontrol pemerintah.
Saat ini, Prabowo Subianto tengah merumuskan komposisi kabinet yang akan dibentuknya bersama Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden (cawapres) pasangannya dalam Pilpres 2024. Ketua Umum Partai Gerindra itu pun terus membangun komunikasi, baik dengan partai-partai politik pengusung maupun parpol pendukung lawan politiknya. Sejak awal, Prabowo memang sudah berkomitmen untuk merangkul semua unsur dan kekuatan politik.
Peneliti senior Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, mengingatkan, Prabowo bisa membentuk kabinet ideal dengan mengoptimalkan pelibatan partai-partai politik pengusungnya pada saat pilpres. Prabowo sebaiknya tidak menarik parpol pengusung lawan politiknya, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD, untuk bergabung ke koalisi pemerintahan.
Akan lebih baik jika Prabowo membiarkan partai-partai politik pengusung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud tetap berada di luar pemerintahan. Dengan demikian, mekanisme checks and balances bagi pemerintahan Prabowo-Gibran dapat terbangun dan pemerintahan akan berjalan efektif.
”Hal yang paling ideal, biarkan parpol-parpol yang berpotensi menjadi ’oposisi’ tetap berada di luar pemerintahan. Di situlah letak harapan demokrasi masih ada,” kata Firman saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (27/3/2024).
Dengan kekuatan penuh dari pendukungnya, kata Firman, Prabowo bisa menyusun komposisi kabinet yang profesional. Proporsi kalangan parpol dan nonparpol dalam kabinet bukan persoalan berarti asalkan sosok yang dipilih benar-benar profesional di bidangnya. ”Hal yang terpenting, penguasa tidak menarik-narik dukungan (dari kubu lawan). Yang berada di luar juga tidak menunggu untuk ditarik-tarik ke kekuasaan. Dua posisi itu sama terhormatnya,” ujarnya.
Menurut dia, penekanan itu penting karena hasil Pemilu 2024 bisa menjadi modal untuk menciptakan pemerintahan yang sehat. Sebab, akumulasi suara hasil pemilu dari parpol kubu Prabowo-Gibran tidak lebih besar ketimbang jumlah suara parpol kubu lawan. Adapun sejumlah parpol kubu lawan yang dimaksud adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Prabowo bisa membentuk kabinet ideal dengan mengoptimalkan pelibatan partai-partai politik pengusungnya pada saat pilpres. Prabowo sebaiknya tidak menarik parpol pengusung lawan politiknya, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD, untuk bergabung ke koalisi pemerintahan.
Dengan peta kekuatan itu, kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud berpeluang menjadi kekuatan kontrol yang kuat di parlemen. Dalam posisi tersebut, parpol nonpemerintah dapat mengingatkan hal-hal yang tidak terlihat atau terdengar oleh para pembuat kebijakan. Mekanisme kontrol itulah yang tidak terlihat sepanjang dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo karena hampir semua parpol di parlemen menjadi bagian dari pemerintah.
Firman melihat, argumentasi menciptakan stabilitas dan mengefektivitaskan pemerintahan sebenarnya tidak ideal digunakan untuk mengajak kubu lawan bergabung. Berkaca dari pemerintahan sebelumnya, argumen tersebut justru menciptakan kartel politik yang cenderung meniadakan mekanisme kontrol dari parlemen. Ia menyayangkan jika pola tersebut diterapkan lagi lima tahun mendatang karena situasi ekonomi politik Indonesia diprediksi tidak berubah signifikan.
”Ini momen krusial untuk mempraktikkan checks and balances. Bukan mengumpulkan kekuasaan yang nantinya tidak terkontrol dengan baik, dan akhirnya matinya checks and balances,” tutur Firman.
Menurut Firman, penguasa juga kerap keliru antara mempertahankan sistem presidensial dan posisi presiden. Berdasarkan pengalaman banyak negara dengan sistem presidensial, bukan hal aneh jika presiden didukung minoritas parpol di parlemen. Posisi itu juga tidak berdampak pada pemerintahan yang tak efektif. Para presiden juga mampu bertahan di posisinya.
Presiden, lanjut Firman, merupakan jabatan yang memiliki legitimasi dari rakyat sama seperti anggota DPR. Legitimasi itu bisa menjadi titik masuk untuk mempertahankan berbagai program unggulan yang dinilai baik untuk masyarakat. Jika ditolak oleh parlemen, presiden pun tak perlu khawatir.
”Dia tinggal mengampanyekan bahwa kebijakannya baik, tetapi diblok oleh parlemen, jadi nanti opini publik yang bermain,” ucap Firman.
Memperbesar koalisi
Meski belum ditetapkan sebagai presiden terpilih, sejumlah elite parpol anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengakui, Prabowo sudah mulai merumuskan kabinet. Tidak hanya berdiskusi dengan ketua-ketua umum parpol koalisi, Prabowo juga disebut mendapatkan masukan dari Presiden Joko Widodo. Namun, hingga saat ini belum ada rumusan final.
Prabowo juga berupaya untuk memperbesar koalisi dengan mengajak parpol kubu lawan untuk bergabung. Pekan lalu, ia menemui Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Menurut rencana, Prabowo juga akan berkunjung ke PPP.
Ketua DPP Partai Golkar Dave Laksono mengatakan, sebagai anggota KIM, parpolnya memercayakan penuh pembentukan kabinet kepada Prabowo. Sebab, itu merupakan hak prerogatif presiden. Setiap presiden berhak menentukan komposisi kabinet sesuai dengan visi dan misi mereka.
Dave tidak khawatir upaya Prabowo memperbesar koalisi bakal berdampak pada soliditas KIM. Begitu juga, jika anggota koalisi bertambah sehingga pihak yang terlibat dalam pembagian kekuasaan akan semakin banyak.
”Pemerintahan dari yang lalu hingga saat ini juga diisi dari berbagai macam parpol, tetapi masih bisa berjalan dengan baik. Kita semua sudah cukup dewasa dan mampu beradaptasi dengan kondisi terkini demi mencapai hasil akhir yang maksimal,” katanya.
Mengenai mekanisme kontrol pemerintah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar ini juga tak khawatir. Ia tidak sepakat jika dikatakan kontrol akan melemah saat mayoritas parpol parlemen adalah bagian dari pemerintah. ”Enggak juga ya, semua pasti akan berjalan dengan baik,” ujar Dave.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi mengatakan hal serupa. Soal kabinet merupakan hak prerogatif presiden. Kendati bagian dari KIM, PAN tidak ambil bagian dalam pembahasan itu.
”PAN tidak akan ikut campur, akan membatasi diri, dan menjaga fatsun politik untuk tidak masuk ke ranah itu karena itu secara konstitusional menjadi tugas dan tanggung jawab presiden,” tutur Viva.