Dugaan Pelanggaran Saat Rekapitulasi, Bawaslu Tidak Minta KPU Koreksi Hasil Perolehan Suara
Bawaslu menyatakan, sanksi perbaikan administrasi tidak diberikan kepada KPU karena hasil Pemilu 2024 telah ditetapkan.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu telah memutuskan tiga perkara mengenai dugaan pelanggaran yang terjadi pada saat rekapitulasi suara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum. Meski KPU dinilai terbukti telah membiarkan perselisihan suara dan tidak langsung memperbaiki perolehan suara, Bawaslu hanya menjatuhkan sanksi teguran kepada KPU dan tidak mengubah perolehan suara tersebut.
”Perubahan hasil setelah penetapan pemilu secara nasional, penyelesaiannya melalui Mahkamah Konstitusi. Bawaslu tidak berwenang melakukan koreksi hasil perolehan suara,” kata anggota Bawaslu, Herwyn JH Malonda, saat dihubungi, Rabu (27/3/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Herwyn menuturkan, ketentuan Pasal 474 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional, peserta pemilu DPR, DPD, dan DPRD dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi.
Sejauh ini, terdapat tiga putusan perkara pelanggaran administrasi pada pelaksanaan rekapitulasi perolehan suara tingkat nasional. Herwyn melanjutkan, dalam tiga putusan itu, KPU telah terbukti melakukan pelanggaran dan dijatuhi sanksi teguran. Namun, sanksi perbaikan administrasi tidak diberikan kepada KPU karena hasil Pemilu 2024 telah ditetapkan. Perselisihan suara yang terjadi setelah adanya penetapan hasil pemilu secara nasional akan dilakukan oleh MK.
Baca juga: Penyelenggara Pemilu Paling Banyak Langgar Aturan
Pada Selasa (26/3/2024), Bawaslu telah memutuskan KPU terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang melanggar tata cara, prosedur, dan mekanisme pada pelaksanaan rekapitulasi perolehan suara tingkat nasional.
Berdasarkan putusan nomor 003/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/111/2024, KPU terbukti tidak menerima keberatan saksi Partai Demokrat dan tidak melakukan pembetulan seketika atas selisih perolehan suara calon anggota DPR Partai Golkar daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur VI.
Baca juga: Di Jatim, Peta Kursi Saat Ini Berpotensi Berubah Dibanding 2019
Bawaslu menyatakan, hal tersebut merupakan pelanggaran administratif pemilu berdasarkan ketentuan dalam Pasal 91 Ayat (3) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum. Bawaslu menjatuhkan sanksi teguran kepada KPU untuk tidak mengulangi atau melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Meski menjatuhkan sanksi teguran dan menyatakan ada perbedaan selisih perolehan suara caleg DPR dari Partai Golkar antara di formulir C Hasil dan D Hasil, Bawaslu tidak mengubah perolehan suara tersebut.
Sebelumnya, pada Jumat (22/3/2024), Bawaslu juga menjatuhkan putusan serupa atas perkara nomor 001/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/III/2024 dan 002/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/III/2024. Dua perkara tersebut masing-masing dilaporkan Dedy Ramanta dari Partai Nasdem dan Harli Muin dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Dedy melaporkan adanya selisih perolehan suara caleg DPR dari Partai Nasdem di dapil Sulawesi Tenggara nomor urut 1 atas nama Ali Mazi dan caleg nomor urut 2 atas nama Tina Nur Alam pada 64 TPS di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan.
Baca juga: Istri Mantan Gubernur Sultra Raih Kursi, Saksi Nasdem Tolak Hasil Rapat Pleno
Sementara itu, Harli melaporkan adanya penambahan suara kepada Partai Amanat Nasional di dapil Kalimantan Selatan II sebesar 15.654 suara. Keduanya meminta Bawaslu memberikan rekomendasi kepada KPU untuk melakukan koreksi D Hasil DPR tingkat nasional.
Terbukti bertambah suara
Terkait laporan yang diajukan Dedy, Bawaslu telah melakukan pemeriksaan dan diperoleh fakta bahwa terdapat selisih perolehan suara calon anggota DPR dari Partai Nasdem untuk dapil Sulawesi Tenggara nomor urut 1 atas nama Ali Mazi dan nomor urut 2 atas nama Tina Nur Alam pada D Hasil provinsi, D Hasil Kabupaten Wakatobi, dan D Hasil Kecamatan Wangi-Wangi Selatan.
Menurut Bawaslu, terdapat ketidaksesuaian dengan C Hasil DPR atau C Hasil salinan DPR pada 64 TPS di 15 kelurahan/desa, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Maka, ditemukan adanya selisih perolehan suara calon anggota DPR Nasdem antara Ali Mazi yang bertambah enam suara dan Tina Nur Alam yang bertambah 1.100 suara.
Baca juga: Tabulasi Suara di Sirekap Hilang, Publik Semakin Sulit Mengawal Suara
Sementara itu, untuk laporan yang diajukan Harli, Bawaslu menilai terdapat selisih perolehan suara Partai Amanat Nasional di dapil Kalimantan Selatan II berdasarkan C Hasil salinan DPR dengan D Hasil kecamatan di 206 TPS se-Kabupaten Tanah Bumbu, 386 TPS se-Kota Banjarmasin, dan di 45 TPS se-Kabupaten Kota Baru. Dengan demikian, ditemukan penambahan suara PAN sebanyak 15.654 suara.
Menurut Bawaslu, KPU tidak menerima keberatan dari saksi Partai Nasdem ataupun saksi PDI-P dan tidak langsung membetulkan perolehan suara. Oleh karena itu, tindakan KPU tersebut melanggar ketentuan Pasal 91 Ayat (3) PKPU Nomor 5/2024 dan menjatuhkan sanksi teguran.
Baca juga: Hasil Pemilu 2024: PDI-P Menang, Ambisi "Hattrick" Terpenuhi
Kompas telah menghubungi Ketua KPU Hasyim Asy’ari dan anggota KPU, Idham Holik, untuk meminta tanggapan terkait putusan sidang tersebut dan sanksi teguran kepada KPU. Namun, hingga berita ini ditulis keduanya tidak memberi respons.
Secara terpisah, Ketua Bawaslu periode 2017-2022 Abhan berpendapat, Bawaslu seharusnya tidak hanya memberikan sanksi teguran kepada KPU. Bawaslu juga dapat memerintahkan kepada KPU memperbaiki tata cara, prosedur, dan mekanisme pelaksanaan rekapitulasi perolehan suara serta mengoreksi perolehan suara seperti yang diminta pelapor.
Sebab, para pelapor yang mengadukan dugaan perselisihan suara itu ke Bawaslu telah berharap mendapatkan keadilan pemilu dengan koreksi rekapitulasi suara yang sudah ditetapkan KPU. ”Mestinya Bawaslu tidak hanya berikan teguran, tetapi memerintahkan (perbaikan atas) prosedur yang salah itu dengan memperbaiki perolehan suara. Bawaslu harus memberikan keadilan pada peserta pemilu karena punya kewenangan itu,” kata Abhan.
Berkaca pada Pemilu 2019, lanjutnya, pihaknya pernah memutus perkara administrasi pada pelaksanaan rekapitulasi perolehan suara tingkat nasional. Saat itu, Bawaslu memerintahkan KPU mengoreksi hasil rekapitulasi perolehan suara peserta pemilu karena terbukti melanggar.
Mestinya Bawaslu tidak hanya berikan teguran, tetapi memerintahkan (perbaikan atas) prosedur yang salah itu dengan memperbaiki perolehan suara.
Menurut dia, masalah perselisihan suara ini bisa ditangani Bawaslu sejak rekapitulasi di tingkat kecamatan sehingga tidak berlarut pada tahap rekapitulasi suara nasional. Dengan tidak adanya putusan perbaikan perolehan suara oleh Bawaslu, pihak pelapor hanya bisa menggunakan jalur sengketa perselisihan hasil pemilihan umum ke MK. Putusan Bawaslu itu bisa menjadi bukti kuat dalam sengketa pemilu di MK.
”Namun, kan, yang jadi masalah, apakah orang yang mengadukan ke Bawaslu itu juga mengajukan sengketa pemilu ke MK. Kan, belum tentu. Sengketa pemilu di MK hanya partai politik yang bisa melakukannya, sedangkan caleg perorangan bisa melakukan asal ada persetujuan dari parpol, yakni ketua umum dan sekretaris jenderal,” ucap Abhan.