Tata laksana dan pemberian antibiotik perlu dibenahi. Menkes mengakui tak cuma tata kelola, tetapi juga pemberiannya.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan terkait tata laksana pemberian antibiotik di rumah sakit. Pembenahan diperlukan tak hanya tata kelolanya, tetapi juga pemberian antibiotik ke pasien.
Budi menyampaikan hal itu seusai menghadiri rapat internal soal pendidikan dan kerja yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (25/3/2024) siang. ”(Soal antibiotik) itu PR kita masih banyak. Kita harus memperbaiki cara kita memberikan antibiotik dan tata kelolanya di rumah-rumah sakit,” ujar Budi sembari berjalan menuju ke mobilnya.
Menkes juga sepakat bahwa perlu ada pembenahan dalam tata kelola pemberian antibiotik di rumah sakit untuk memperkuat manajemen rumah sakit dan melindungi pasien.
Sebelumnya, dalam liputan investigasi harian Kompas, Senin (25/3/2024), terungkap, peresepan antibiotik masih dilakukan secara serampangan di beberapa rumah sakit di Indonesia. Terlalu mudahnya dokter meresepkan antibiotik memicu resistensi bakteri. Akibatnya, ketika perlu pengobatan menggunakan antibiotik, tubuh tak lagi merespons dan bakteri penyebab penyakit tak bisa dilawan. Diperlukan antibiotik yang semakin kuat dan mahal, bahkan sulit diperoleh. Tak jarang, resistensi ini mengakibatkan kematian pasien.
Menyalahi aturan
Dilaporkan, dokter di sejumlah rumah sakit terindikasi menyalahi aturan pemberian antibiotik. Tim Investigasi Harian Kompas mengungkap adanya dokter yang meresepkan antibiotik pada penyakit noninfeksi bakteri, seperti demam berdarah, vertigo, batuk pilek karena virus, sampai sembelit. Padahal, seharusnya pasien yang menderita sakit tersebut tidak membutuhkan antibiotik.
(Soal antibiotik) itu PR kita masih banyak. Kita harus memperbaiki cara kita memberikan antibiotik dan tata kelolanya di rumah-rumah sakit.
Kompas memperoleh 16 lembar dokumen bertulis tangan di gudang farmasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Depati Hamzah, Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, Selasa (27/2/2024). Dokumen itu berisi catatan penggunaan antibiotik pasien yang dirawat di Ruang Flamboyan, Januari 2024 dan Desember 2023.
Pada lembaran tertera nama pasien, diagnosis, dan jenis antibiotik yang digunakan. Dokumen ini terselip di antara setumpuk berkas yang diperlihatkan petugas RSUD Depati Hamzah.
Untuk mengecek ketepatan penggunaan antibiotik di berkas itu, tim Kompas memperlihatkannya kepada Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono. Tatapannya mengarah ke kolom antibiotik. ”Tuh, kan, seftriakson dipakai banyak banget,” ucap Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu, Selasa (5/3/2024).
Seftriakson termasuk antibiotik golongan watch yang penggunaannya di rumah sakit harus diawasi ketat lewat prosedur khusus saat diresepkan dokter. Perlakuan ini mengacu pada Panduan Penatagunaan Antimikroba di Rumah Sakit Tahun 2021 terbitan Kementerian Kesehatan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membagi antibiotik dalam tiga kelompok: access, watch, dan reserve, yang dikenal dengan istilah AWaRe.
Khusus antibiotik kategori watch dan reserve, resep dokter yang memuat antibiotik kategori itu harus diperiksa ketepatannya oleh tim penatagunaan antibiotik (PGA) di rumah sakit. Antibiotik yang digunakan berlebihan, tidak tepat, dan tidak sesuai indikasi bisa memicu kemunculan bakteri yang kebal antibiotik.
Pada dokumen di RSUD Depati Hamzah, Dante mendapati sejumlah diagnosis penyakit yang tidak boleh diberi antibiotik, yaitu vertigo, konstipasi atau sembelit, demam berdarah (dengue hemorrhagic fever), batuk pilek, dan gula darah rendah atau hipoglikemia. ”Antibiotik hanya bisa diberikan apabila ada infeksi bakteri,” kata Dante.
Ketua Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) RSUD Depati Hamzah, Ratna Setia Asih, mengakui, pengawasan penggunaan antibiotik di rumah sakit belum maksimal karena keterbatasan sumber daya manusia. Peringatan atau teguran kepada dokter masih bersifat insidental.
”Dokter penanggung jawab pelayanan kalau tidak diingatkan kadang lupa, tetapi kami yang ngingetin (terus) capek juga. Saya sebagai dokter juga punya pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan,” ujarnya.