Setelah Bertemu Prabowo, ke Mana Surya Paloh Akan Membawa Nasdem?
Sejak didirikan pada 2011, Nasdem belum pernah menjadi oposisi atau berada di luar pemerintahan.
Nasdem berada di persimpangan jalan. Sejak partai politik itu berdiri pada 2011, untuk kali pertama, pasangan calon presiden-wakil presiden yang diusungnya kalah di pemilihan. Otomatis, partai yang dipimpin Surya Paloh itu kini harus memutuskan posisi politik partainya di periode pemerintahan 2024-2029. Apakah akan bergabung dalam gerbong penguasa atau memutuskan menjadi oposisi?
Kunjungan Prabowo Subianto ke Nasdem Tower untuk bertemu Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Jumat (22/3/2024), tak pelak memantik spekulasi. Pertemuan dua elite yang sempat ”berhadap-hadapan” di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 itu ditafsirkan sebagai sinyal akan merapatnya Nasdem masuk dalam kubu Prabowo.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pertemuan terjadi hanya berselang dua hari setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil Pemilu 2024.
Prabowo bersama pasangannya, calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka, ditetapkan sebagai peraih suara terbanyak di Pilpres 2024. Pasangan yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) ini unggul telak tas pasangan calon yang diusung Nasdem bersama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Baca juga: Akhir Penantian Prabowo Subianto
Seusai bertemu selama sekitar satu jam, baik Prabowo ataupun Surya belum sampai pada pengikatan kerja sama. Namun, tawaran bergabung telah disampaikan Prabowo.
Atas tawaran itu, Surya belum memutuskan. Akan tetapi, tetap saja spekulasi bahwa Nasdem akan bergabung lebih kuat daripada sebaliknya. Apalagi jika melihat dinamika yang terjadi selama 48 jam sebelumnya.
Rabu (20/2/2023) petang, Surya masih sempat berbuka puasa bersama Anies dan Muhaimin di kediaman Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla di Jakarta. Sambil berbuka puasa, Kalla membenarkan bahwa pembicaraan termasuk membahas rencana gugatan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, tak berselang lama dari perjumpaan tersebut, jumpa pers digelar di Nasdem Tower dan Surya menyatakan bahwa partainya menerima hasil pemilu. Tak sebatas itu, Surya pun memberi selamat kepada Prabowo-Gibran.
Baca juga:
> ”Fifty-fifty Possibility”, Jawaban Surya Paloh Saat Ditanya Gabung Prabowo
> Pasangan Anies-Muhaimin Matangkan Gugatan ke MK
Prabowo yang masih membutuhkan tambahan kekuatan untuk memuluskan jalannya pemerintahan dan sekaligus menangkis upaya hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu di parlemen langsung bergerak cepat. Prabowo menyambut ucapan selamat Surya dan sekaligus mencoba merangkul Nasdem.
Tambahan kekuatan itu dibutuhkan karena jumlah kursi DPR yang dimiliki kubu Prabowo masih kalah dari kubu lawan politik, parpol pengusung Anies-Muhaimin dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, di periode DPR saat ini ataupun 2024-2029.
Di periode pemerintahan mendatang, 280 kursi DPR diperkirakan dikuasai kubu Prabowo (Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat). Sementara 300 kursi DPR diperkirakan dikuasai kubu lawan politik (PDI-P, Nasdem, PKB, dan PKS).
Adapun di periode pemerintahan saat ini yang akan berakhir Oktober mendatang, PDI-P, Nasdem, PKB, PKS, plus PPP yang suaranya tak lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2024 mendominasi parlemen dengan 314 kursi dari total 575 kursi.
Membalik peta kekuatan
Menarik Nasdem saja dalam gerbong Prabowo-Gibran sudah cukup untuk membalikkan peta kekuatan di parlemen saat ini ataupun di periode mendatang. Saat ini, Nasdem memiliki 59 kursi DPR dan di periode mendatang partai ini diperkirakan menguasai 69 kursi.
Baca juga: PDI-P Berpeluang Kuasai Kembali Kursi Ketua DPR, Golkar Pantang Menyerah
Kehendak merangkul kekuatan politik lain di luar KIM sudah diutarakan Ketua Umum Partai Gerindra itu sejak pidato kemenangannya setelah hitung cepat sejumlah lembaga menyatakan Prabowo-Gibran meraih suara terbanyak di pilpres, 14 Februari 2024 lalu.
Baca juga: Prabowo: Kami Akan Merangkul Semua Unsur
Kehendak itu langsung dieksekusi bawahannya di partai dengan berkomunikasi ke elite partai lain. Tak hanya itu, Presiden Joko Widodo yang di Pilpres 2024 condong ke Prabowo-Gibran juga turut serta mendekati Surya Paloh. Pertemuan keduanya berlangsung di Istana Merdeka, Jakarta, 18 Februari 2024 lalu atau empat hari setelah pemungutan suara.
Strategi merangkul kubu lawan pascapilpres sebenarnya bukan kali ini saja. Setidaknya di dua periode pemerintahan Jokowi, strategi itu sudah terlihat.
Namun, khusus Nasdem, sejak partai itu berdiri, belum pernah ada rekam jejak dirangkul pascapilpres. Pasalnya, selama dua pilpres, 2014 dan 2019, pasangan calon yang diusung Nasdem selalu menang. Hal itu membawa Nasdem masuk dalam gerbong koalisi parpol pendukung pemerintahan. Sejumlah kader partai pun masuk dalam kabinet.
Dengan rekam jejak itu, tak sedikit yang menyangsikan Nasdem akan ”berani” untuk memutuskan berada di luar pemerintahan. Apalagi, tak sulit bagi Nasdem untuk masuk dalam pemerintahan dengan realitas kebutuhan dan pendekatan yang diupayakan oleh Prabowo dan kubunya. Namun, apakah langkah menggoda itu akan diambil?
Kembali lagi, Paloh masih menimang. ”Fifty-fifty possibility,” ucapnya seusai bertemu Prabowo.
Namun, jika ditilik kembali pidatonya saat menerima hasil pemilu dan memberi selamat kepada Prabowo-Gibran, Surya sempat menyatakan bahwa Nasdem memahami, dalam politik tak saja dibutuhkan otoritas yang kuat, tetapi juga praktik checks and balances yang sehat. Itu penting demi membangun sistem politik dan kekuasaan yang sehat.
Ya, demokrasi membutuhkan checks and balances, dan peran penyeimbang dalam pemerintahan yang berganti-ganti pascareformasi dijalankan oleh partai politik yang berada di luar pemerintahan.
Baca juga: Prabowo Pidato Sendiri, Mengapa Gibran Kerap Hilang di Momen Penting?
PDI-P, misalnya, setelah kalah di Pilpres 2004 dan 2009 memutuskan menjadi oposisi selama dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014). Kemudian, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjalankan peran serupa di periode pertama pemerintahan Joko Widodo (2014-2019) dan kemungkinan hingga akhir periode kedua pemerintahan Jokowi (2019-2024), Oktober mendatang.
Hanya, menjalankan peran oposisi sama sekali tidak mudah. Terlebih jika pemerintahan yang berkuasa dinilai positif oleh publik. Berlawanan dengan penilaian publik berisiko berimbas pada elektabilitas partai. Belum lagi masih kuatnya problem kemandirian pendanaan parpol, membuat partai di luar pemerintahan harus berjuang ekstra karena tertutupnya akses pada kekuasaan.
Imbas dari menjalankan peran oposisi terhadp elektabilitas setidaknya bisa dilihat pada PDI-P. Pada Pemilu 2004, partai ini masih berada di peringkat kedua peraih suara terbanyak dan meraih 109 kursi. Kemudian posisinya merosot ke peringkat ketiga, meraih 94 kursi DPR, di Pemilu 2009.
Namun, tak selamanya pula berada di jalan oposisi akan membuat partai terpuruk. Konsistensi PDI-P di jalan oposisi membuat partai itu berhasil menjadi pemenang pada Pemilu 2014 meski keberhasilan itu ada andil pula dari terpilihnya capres-cawapres yang mereka usung, yakni Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Hal yang lebih penting dari itu, menjadi oposisi sama terhormatnya dengan mereka yang menjalankan peran di dalam pemerintahan. Adanya oposisi bakal bisa menjadi kontrol bagi pemerintah ketika program yang dibuat tak tepat, apalagi tak selaras dengan kehendak rakyat. Oposisi juga bisa menghadirkan kebijakan atau program alternatif bagi pemerintah.
Adu argumentasi yang bisa terjadi di parlemen antara pemerintah dan kubu fraksi pendukungnya dan oposisi di parlemen harus dilihat sebagai upaya memperkuat program pemerintah yang ujungnya untuk kepentingan publik. Jangan justru dipandang sebaliknya, dilihat sebagai bentuk kegaduhan atau bahkan menghambat kerja pemerintah. Maka, siapa pun presidennya, seharusnya tak risau saat ada oposisi.
Jadi, ke mana Surya Paloh akan membawa Nasdem?