Pilih Jokowi Jadi Ketua Umum Bisa Lemahkan Partai Golkar
Menjelang munas, bursa calon ketua umum Golkar menghangat. Namun, mengusung Jokowi dinilai kontraproduktif.
JAKARTA, KOMPAS — Memilih Joko Widodo sebagai Ketua Umum Partai Golkar dinilai dapat melemahkan Partai Golkar sebagai institusi demokrasi. Aspirasi mendorong Jokowi memimpin partai berlambang beringin itu mesti ditimbang ulang. Sejauh ini, Istana pun membantah isu tersebut.
Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi, menilai aspirasi untuk mendorong Joko Widodo sebagai ketua umum Partai Golkar perlu ditimbang ulang. Aspirasi itu dinilai akan kontraproduktif pada penguatan kelembagaan partai tersebut.
”Tampilnya Jokowi yang tidak memiliki reputasi atau track record sebelumnya sebagai kader Golkar akan berakibat pada pelemahan regularitas dari aturan kelembagaan partai tersebut. Akibatnya, pelembagaan Golkar menjadi mundur ke belakang,” ujar Airlangga kepada Kompas, Selasa (19/3/2024).
Posisi Partai Golkar, dalam konteks dinamika politik kepartaian nasional, juga akan melemah. Sebab, partai hanya berfungsi menjadi pijakan yang dengan mudah digunakan mereka yang memiliki akses besar untuk melanggengkan kekuasaan, tanpa mempertimbangkan tentang basis politik kepartaian dari politisi terkait.
Baca juga: Wakil Ketua Umum Golkar: Peluang Jokowi Jadi Ketua Umum Makin Kecil
Fenomena serupa sudah berlangsung, misalnya, dengan tampilnya Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tanpa reputasi dan rekam jejak sebelumnya. Kaesang ditetapkan sebagai Ketum PSI tiga hari setelah menjadi anggota partai berlambang mawar tersebut.
Apabila hal ini berlangsung di Partai Golkar, tidak saja memperlihatkan pelemahannya sebagai institusi yang menjadi pijakan utama demokrasi. ”Namun, juga partai yang sekadar menjadi penopang bagi terjadinya personalisasi kekuasaan seiring dengan terjadinya pelemahan demokrasi yang sedang berlangsung,” tutur Airlangga.
Tampilnya Jokowi yang tidak memiliki reputasi atautrack recordsebelumnya sebagai kader Golkar akan berakibat pada pelemahan regularitas dari aturan kelembagaan partai tersebut.
Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana membantah wacana Presiden Jokowi akan masuk dan menjadi ketua umum Partai Golkar. ”Sudah lama narasi tersebut didesas-desuskan dan terus digulirkan. Faktanya, sampai saat ini, Presiden Jokowi tidak menjadi ketua umum satu parpol pun,” kata Ari secara tertulis, Selasa.
Baca juga: Nama Jokowi dan Airlangga dalam Bursa Ketua Umum Partai Golkar
Ari menambahkan, apa yang berkembang sebagai wacana dan dinamika di Partai Golkar merupakan urusan internal partai tersebut. ”Saat ini, Presiden Jokowi fokus bekerja untuk memimpin jalannya pemerintahan sampai berakhirnya masa jabatan pada 20 Oktober 2024,” katanya.
Usulan mengenai Jokowi sebagai calon ketua umum Partai Golkar mulai disuarakan internal partai bersama dengan nama-nama elite Partai Golkar, seperti Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar saat ini yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; Ketua Majelis Permusyawatan Rakyat Bambang Soesatyo, Agus Gumiwang Kartasasmita yang sekarang menjabat Menteri Perindustrian, dan Bahlil Lahadalia yang saat ini Menteri Investasi.
Anggota Dewan Pakar Partai Golkar, Ridwan Hisjam, menyebut Jokowi memenuhi kriteria memimpin partai karena rekam jejaknya memenuhi ideologi karya kekaryaan yang diterapkan Golkar. Hal ini setidaknya tampak pada penamaan Kabinet Kerja di periode pertama pemerintahannya.
Selain itu, Jokowi menempatkan banyak kader Golkar di kabinet, seperti Menko Perekonomian Airlangga Hartarto serta Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang juga Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar.
Baca juga: Jokowi Diusulkan Pimpin Golkar, Ujian Sejarah Demokratisasi Partai Beringin
Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto juga disebut Ridwan sebagai kader Golkar dari unsur ABRI pada masa Orde Baru. Adapun Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pernah menjadi pengurus Golkar Kota Malang pada masa Orde Baru.
Kendati demikian, AD/ART Partai Golkar menyebut beberapa syarat untuk menjadi ketua umum. Syarat dimaksud, misalnya, menjadi anggota selama lima tahun dan tidak pernah menjadi anggota parpol lain serta pernah menjadi pengurus Golkar tingkat pusat atau organisasi pendiri/yang didirikan Partai Golkar setidaknya satu. Syarat lainnya didukung minimal 30 persen pemilik suara serta pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan kader Golkar.
Namun, Ridwan menilai AD/ART tak bisa dilihat secara tekstual saja, tetapi juga mesti diinterpretasikan secara komprehensif. Golkar bukan sekadar parpol, melainkan juga organisasi; yang dideklarasikan pada 1971 dan sekretariat bersama dibentuk pada 1964. Oleh karenanya, orang-orang yang pernah menjadi bagian dari Golkar dalam setiap periode itu bisa dianggap sebagai kader Golkar.
”Pak Jokowi Ketua Asosiasi Mebel Indonesia Solo Raya pada masa 1997-2000. Kita tahu pengusaha di zaman Orde Baru mayoritas yang menjadi pimpinan asosiasi pasti kader Golkar. Tak bisa kalau bukan kader Golkar,” tutur Ridwan, Minggu (17/3/2024).
Baca juga: Membaca Jejak Sejarah dari Mebel di Istana
Status Jokowi sebagai kader PDI-P juga dinilai tak masalah. Hal ini karena Jokowi hanya menjadi kader PDI-P untuk menjadi pemimpin eksekutif. Setelah tuntas masa jabatannya, Jokowi bisa tidak berstatus kader PDI-P lagi.
Syarat sebagai pengurus selama satu periode, menurut Ridwan, juga tak dipenuhi Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie. Seperti diketahui, Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie pernah menjadi ketua umum Golkar.
Kendati Ridwan mengklaim Jokowi sebagai kader Golkar saat menjadi Ketua Asosiasi Mebel Indonesia Solo Raya di masa Orde Baru, sumber di Istana membantahnya.
Baca juga: Munas Golkar Tetap Desember 2024
Sementara itu, saat ditanyakan usulan Jokowi sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar mendatang, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menampiknya. ”Kata siapa?” ujarnya singkat dan hendak segera meninggalkan sesi wawancara cegat di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa.
Saat ditanya mengenai ketidaknetralan Presiden Jokowi yang disinggung di Sidang PBB, Airlangga Hartarto sekaligus menjawab latar partai politik yang menaungi Jokowi. Hampir semua presiden punya partai.
”Lee Kwan Yew (Perdana Menteri Singapura 1959-1990) PAP (People’s Action Party), Joe Biden (Presiden AS saat ini) dari (Partai) Demokrat. Itu biasa (presiden dari salah satu parpol). Pak Jokowi, kan, partainya juga jelas (PDI-P),” ujar Airlangga.
Baca juga: Tak Mungkin Jadi Ketua Umum PDI-P, Jokowi Diminta Kembali ke Solo Setelah Lengser
Dukungan internal juga mulai mengalir untuk Airlangga Hartarto. Selain dukungan dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tingkat 1, Airlangga juga mendapat dukungan dari organisasi masyarakat pendiri Partai Golkar, yakni Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR).
Dukungan MKGR disampaikan Ketua Umum MKGR Adies Kadir, di Jakarta, Minggu (17/3/2024). Menurut Adies, hampir semua pengurus dan dewan pakar MKGR mengapresiasi kinerja Airlangga yang telah berhasil menaikkan perolehan suara partai secara signifikan dan kursi Partai Golkar di DPR.