Kuat, Potensi Benturan Kepentingan pada Dewan Aglomerasi
Hal yang dikhawatirkan justru orang yang ditunjuk duduk di Dewan Aglomerasi tidak memahami masalah perkotaan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di balik singkatnya pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta atau RUUDKJ, terdapat klausul soal Dewan Kawasan Aglomerasi yang dinilai memiliki benturan kepentingan sangat kuat. Dalam klausul pada RUU yang rampung dibahas dalam waktu empat hari itu disebutkan bahwa ketua dan anggota Dewan Kawasan Aglomerasi ditunjuk oleh presiden.
Menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, klausul baru itu sama saja dengan klausul yang lama. Sebab, presiden bisa saja tetap akan menunjuk wapres sebagai ketua dewan aglomerasi. ”Kalau mau, harusnya langsung ditunjuk saja menteri koordinator yang bisa mengurusi soal ini,” katanya, Selasa (19/3/2024).
Untuk itu, ia melihat, benturan kepentingan tetap sangat kuat dalam penunjukan dewan aglomerasi nanti. Hal yang dikhawatirkan justru orang yang ditunjuk tidak memahami masalah perkotaan. Alhasil, kinerja Dewan Kawasan Aglomerasi dalam menyinkronkan pembangunan di kawasan aglomerasi yang meliputi Daerah Khusus Jakarta dan daerah di sekitarnya pun tidak berjalan efektif. ”Tugasnya berat, lho. Dewan aglomerasi harus menyamakan visi dari 11 pemerintahan daerah di sekitar Jakarta. Ini tak mudah,” katanya.
Panitia Kerja (Panja) RUU DKJ menuntaskan pembahasan RUU DKJ pada Senin (18/3/2024) malam. Senin itu merupakan hari keempat sejak Panja RUU DKJ yang dibentuk Badan Legislatif (Baleg) DPR menerima tugas membahas RUU DKJ pada 13 Maret 2024. Kemudian, panja secara intensif menggelar rapat kerja untuk membahas RUU tersebut pada 14, 15, dan 18 Maret 2024.
Baleg DPR dan pemerintah kemudian sepakat membawa RUU DKJ untuk dimintakan persetujuan pengesahan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR sebelum akhir Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023-2024 pada 4 April 2024.
Selama pembahasan berlangsung, klausul terkait Dewan Kawasan Aglomerasi menjadi salah satu hal yang diperdebatkan. Sebab, jika merujuk pada draf awal RUU DKJ, disebutkan bahwa dewan aglomerasi dipimpin oleh wakil presiden. Klausul itu memantik perdebatan di DPR karena ada dugaan aturan itu disiapkan untuk Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden pendamping calon presiden Prabowo Subianto. Sejauh ini Prabowo-Gibran unggul dibanding kandidat Pemilihan Presiden 2024 yang lain.
Setelah melewati perdebatan, akhirnya panja sepakat ketua dan anggota Dewan Kawasan Aglomerasi ditunjuk oleh presiden. Ketua Panja RUU DKJ Supratman Andi Agtas pun menyatakan, dengan klausul itu, presiden nantinya bebas menunjuk siapa yang bakal menjadi ketua Dewan Kawasan Aglomerasi, baik wakil presiden maupun menteri koordinator.
Pengamat tata kota Yayat Supriatna memandang, perlu diperjelas sejauh mana kekuatan yang dimiliki oleh dewan aglomerasi untuk menyinkronkan kebijakan antar-wilayah. ”Nah, kalau misal dewan aglomerasi diisi kepentingan politik, yang dikhawatirkan nanti ada kontestasi, siapa yang lebih kuat, gubernur Jakarta atau ketua dewan aglomerasi? Nanti tiba-tiba kepala daerah dengan wapresnya, berbeda partai, lebih ribet lagi urusannya. Pasti ada tarikan-tarikan di sini sehingga menimbulkan kontestasi baru,” ucapnya.
Singkatnya pembahasan RUU DKJ juga mengundang perhatian. Apalagi selama RUU itu dibahas, tak ada agenda mengundang perwakilan masyarakat dan pakar.
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Umbu Rauta mengatakan, partisipasi publik dalam pembentukan UU, seperti diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, harus dijalankan dalam pembahasan RUU DKJ. ”Pengabaian partisipasi bermakna dapat menjadi alasan untuk dilakukan pengujian secara formal ke Mahkamah Konstitusi,” ucapnya.