Dalam 5 Menit, DPR dan Pemerintah Sepakat Gubernur Jakarta Tetap Dipilih
Keputusan soal gubernur dan wakil gubernur Jakarta dipilih secara langsung diambil dalam pembahasan selama lima menit.
JAKARTA, KOMPAS —Sempat menuai perdebatan, Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta akhirnya memutuskan gubernur dan wakil gubernur Jakarta tetap dipilih langsung dan bukan ditunjuk dalam tempo lima menit saja. Keputusan yang diambil secara kilat menyepakati pemilihan gubernur dan wakil gubernur secara langsung agar bisa lebih demokratis.
Keputusan mengenai gubernur dan wakil gubernur Jakarta dipilih secara langsung diambil dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/3/2024). Pembahasan klausul Pasal 10 Ayat 2 itu berlangsung dari pukul 12.04 sampai pukul 12.09.
Padahal, sebelumnya, mekanisme pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jakarta ini menuai perdebatan. Bahkan, sempat ditunda pembahasannya karena belum ada titik temu antara Panja RUU DKJ dari DPR dan pemerintah, seperti dalam Rapat Panja RUU DKJ pada Kamis (14/3/2024).
Pasalnya, dalam draf RUU DKJ, DPR mengusulkan Pasal 10 Ayat 2 berbunyi, ”gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD”. Adapun pemerintah berkukuh, gubernur dan wakil gubernur Jakarta tetap dipilih secara langsung.
Ketua Panja RUU DKJ Supratman Andi Agtas, saat membuka rapat Panja RUU DKJ, mengatakan, pemerintah telah membuat usulan baru yang mana pemilihan gubernur/wakil gubernur Jakarta berbeda dengan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Artinya, pemenang pilkada Jakarta tidak harus 50 persen plus satu, melainkan peraih suara terbanyak.
Baca juga: RUU Daerah Khusus Jakarta Dibahas, Pemerintah Tegaskan Gubernur Tetap Dipilih Langsung
”Walaupun usulan resmi kelembagaan kita (DPR) kemarin itu adalah ada penunjukan, sekarang pemerintah mengusulkan dengan satu konsekuensi yang berbeda dengan UU DKI sekarang. Sekarang di usulan pemerintah tidak menyebut 50 persen plus satu. Itu artinya sama dengan pilkada-pilkada yang lain. Suara terbanyak. Kalau ini, kita setujui,” ujar Supratman.
Menurut Supratman, usulan baru pemerintah itu masuk akal karena sudah mempertimbangkan sejumlah hal. Pertama, menyangkut pembelahan di masyarakat. Pembelahan akan bisa diminimalisasi jika pilkada tidak berlangsung dua putaran. Kedua, pembiayaan pilkada pun akan jauh lebih bisa ditekan.
”Kalau sampai dua putaran, seperti yang terjadi pada Pilkada 2017, kan, dua putaran. Sekarang konsekuensinya, siapa yang pemenang (peraih suara terbanyak), langsung selesai. Begitu, ya, pemerintah? Silakan dijelaskan,” ucap Supratman.
Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro menjelaskan, usulan baru pemerintah tersebut mengikuti aturan pilkada selama ini, yaitu UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Tak hanya itu, usulan tersebut juga mengacu pada UU khusus lainnya, seperti di Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Daerah Khusus Provinsi Papua.
Jadi, satu kali pemilihan, pemilik suara terbanyak adalah pemenangnya.
”Semua sama dengan berlakunya pilkada. Jadi, satu kali pemilihan, pemilik suara terbanyak adalah pemenangnya,” kata Suhajar.
Anggota Panja RUU DKJ dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, mengatakan, semua partai secara aklamasi setuju dengan usulan pemerintah. Ia tak memungkiri, di internal fraksi parpol, memang ada yang mengusulkan dan menghendaki agar gubernur dan wakil gubernur ditunjuk langsung presiden.
”Tetapi, kelemahannya, kan, kalau ditunjuk, gubernur yang dipilih tidak lebih fokus ke rakyat, tetapi fokus pada siapa yang menunjuk. Loyalitasnya tuh beda. Ini kami enggak mau. Ini akan mendegradasi demokrasi kita. Karena itu sudah ada kesepakatan dengan DPR dan pemerintah bahwa ini akan diproses melalui pilkada secara langsung dan prosesnya seperti sebagaimana pilkada,” tuturnya.
Mendorong akuntabilitas
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Muhammad Nur Ramadhan, menilai, mekanisme sistem pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKJ sejatinya memang tidak memerlukan perdebatan lebih lanjut. Sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat telah terbukti efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan Jakarta dan merupakan pilihan yang tepat.
”Partisipasi langsung dari masyarakat Jakarta memungkinkan untuk menghasilkan tokoh-tokoh yang lebih representatif dan mendorong akuntabilitas yang lebih besar terhadap gubernur dan wakil gubernur yang terpilih,” ujar Nur Ramadhan.
Pendekatan ini, lanjut Nur Ramadhan, memungkinkan para pemilih secara langsung memilih calon yang mereka percayai dapat mewakili kepentingan mereka dengan baik. Pemilihan langsung oleh penduduk Jakarta tidak hanya menjaga pengawasan yang kuat oleh masyarakat, tetapi juga memastikan DPRD tidak terjebak dalam benturan kepentingan saat melakukan pengawasan terhadap kinerja gubernur dan wakil gubernur daerah khusus Jakarta.
”Dengan mempertahankan sistem ini, transparansi dalam pemerintahan daerah dapat dipertahankan dan masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam proses pemilihan serta pengawasan pemerintahan mereka. Maka dari itu, perlu untuk menjaga konsistensi dalam sistem pemilihan yang telah terbukti efektif untuk memastikan kelancaran dan keberlanjutan pemerintahan daerah Jakarta,” ucap Nur Ramadhan.
Prinsip demokrasi
Lebih lanjut, pemilihan langsung oleh penduduk Jakarta mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi yang mendasari sistem pemerintahan di Indonesia. Mengubah mekanisme ini dengan memindahkan proses pemilihan ke tangan DPRD provinsi dinilai mereduksi nilai-nilai demokrasi lokal, termasuk menghilangkan hak politik bagi penduduk Jakarta.
Pembahasan harus tetap komprehensif dan akuntabel, dengan mengedepankan proses yang transparan dan mewujudkan partisipasi publik yang bermakna.
Mengacu pada konstruksi Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945, kekhususan dan keistimewaan yang melekat pada setiap daerah, yang menghendaki daerah tertentu memperoleh kekhususan dalam menjalankan otonomi daerah disarikan dari pendekatan kultural historis daerah yang bersangkutan. Namun, wilayah Jakarta tak cukup memiliki justifikasi dan urgensi kultural historis untuk melakukan pemilihan secara tidak langsung ataupun penunjukan yang tidak demokratis.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019, tanggal 26 Februari 2020 dan Nomor 85/PUU-XX/2022, pada 29 September 2022 menegaskan kembali sistem pilkada yang seyogianya dipertahankan, yang berpegangan pada original intent perumusan sistem tersebut dalam perubahan UUD 1945, yaitu kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. ”Atas dasar tersebut, pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jakarta secara langsung oleh rakyat adalah sudah tepat,” kata Nur Ramadhan.
Baca juga: Jakarta Tetap Jadi Barometer Politik Nasional
Di luar soal itu, PSHK mengingatkan agar pembahasan RUU DKJ tidak dilakukan secara terburu-buru dan serampangan. Sebab, terdapat sejumlah substansi yang memerlukan pembahasan mendalam, seperti pengaturan mengenai kawasan aglomerasi, termasuk perubahan signifikan dalam struktur pemerintahan daerah Jakarta.
”Pembahasan harus tetap komprehensif dan akuntabel, dengan mengedepankan proses yang transparan dan mewujudkan partisipasi publik yang bermakna. Tidak hanya melaksanakan rapat dan membahas secara internal, tetapi juga harus ada keterbukaan informasi publik, dan proses pembahasan yang melibatkan para pemangku kepentingan,” tuturnya.