Jokowi Diusulkan Pimpin Golkar, Ujian Sejarah Demokratisasi Partai Beringin
Golkar jadi salah satu partai paling terlembaga jalankan prosedur demokrasi. Nama Jokowi yang diusulkan jadi pertaruhan
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
Pascareformasi, Partai Golkar berevolusi menjadi partai modern. Dari beberapa partai politik yang masih bertahan sejak Orde Baru, hanya partai politik berlambang beringin itu yang menyelenggarakan pemilihan ketua umum melalui pemungutan suara pada setiap musyawarah nasional. Dalam ajang lima tahunan tersebut, para kader beradu siasat, tak jarang berbuah konflik yang sengit, untuk memimpin Golkar.
Namun, nuansa persaingan ketat antarkader seolah bakal meredup jelang Musyawarah Nasional (Munas) XI Golkar 2024. Seusai Pemilu 2024 atau sembilan bulan jelang Munas yang akan digelar pada Desember 2024, wacana pemilihan ketua umum secara aklamasi mulai diembuskan. Para Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I mengklaim, seluruh pimpinan Golkar tingkat provinsi telah memberikan dukungan kepada Airlangga Hartarto, Ketua Umum Golkar 2019-2024 untuk kembali memimpin pada periode berikutnya. Dengan begitu, Airlangga sebenarnya bisa terpilih secara aklamasi, tanpa ada lagi pemungutan suara.
Lebih dari wacana aklamasi, muncul pula gagasan untuk mencalonkan tokoh nonkader untuk menjadi Ketua Umum Golkar. Anggota Dewan Pakar Partai Golkar Ridwan Hisjam mengungkapkan, dirinya mengusulkan agar Presiden Joko Widodo menjadi kandidat pemimpin Golkar. Meski terbentur dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang di antaranya menyebutkan bahwa calon ketua umum harus kader yang pernah menjadi pengurus tingkat pusat atau organisasi pendiri dan yang didirikan Golkar selama satu periode, hal itu dinilai bisa disesuaikan.
Apalagi, Jokowi yang merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), disebutnya punya rekam jejak sebagai bagian dari Golkar di masa Orde Baru. Jokowi merupakan pemimpin Asosiasi Mebel Indonesia Solo Raya yang menurut Ridwan berada di bawah Golkar saat itu. Para pemimpin organisasi yang dibina Golkar pun disebut sebagai kader Golkar. “Kita jangan melihat sesuatu itu letterlijk(apa adanya) di AD/ART, semua harus bisa ditafsirkan dengan benar sesuai rekam jejak,” ungkap Ridwan di Jakarta, Minggu (17/3/2024).
“Kita jangan melihat sesuatu itu letterlijk (apa adanya) di AD/ART, semua harus bisa ditafsirkan dengan benar sesuai rekam jejak”
Padahal, selama 25 tahun terakhir Golkar konsisten menjalankan prosedur pemilihan ketua umum sesuai AD/ART. Dalam lima kali munas dan dua kali munas luar biasa, seluruh Ketua Umum Golkar dipilih melalui pemungutan suara yang diikuti oleh para kader parpol tersebut. Akbar Tanjung yang terpilih melalui Munas 1998 merupakan pendiri sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI) pada era 1970-an. Memasuki dekade 1980-an, Akbar pun menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Golkar dan berlanjut sebagai anggota Dewan Pembina Golkar sebelum menjadi ketua umum.
Suksesor Akbar, Jusuf Kalla, yang terpilih menjadi ketua umum pada Munas 2004, juga merupakan anggota DPRD Sulawesi Selatan dari Sekber Golkar pada era 1960-an. Ia lalu menjabat sebagai anggota MPR dari Fraksi Golkar selama 17 tahun, yakni dari 1982-1999. Begitu pula Aburizal Bakrie, sebelum mengikuti pemilihan ketua umum pada Munas 2009, ia merupakan anggota MPR dari Fraksi Golkar. Sama halnya dengan Kalla dan Aburizal, ketua umum berikutnya, yakni Agung Laksono juga merupakan Ketua DPP AMPI dan Ketua Umum PPK Kosgoro, organisasi sayap Golkar, pada era 1990-an hingga 2000 awal.
Tak hanya itu, Setya Novanto, yang terpilih melalui Munaslub 2016 juga punya rekam jejak panjang sebagai bagian dari Golkar. Ia merupakan kader Kosgoro pada 1974 dan menjadi anggota DPR dari Fraksi Golkar selama enam periode berturut-turut sejak 1999. Terakhir, Airlangga yang sudah hampir tujuh tahun terakhir memimpin Golkar pun merupakan pengurus DPP Golkar yang menduduki berbagai posisi sejak 2004. Ia juga pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi Golkar mulai 2006, lalu terpilih kembali pada periode 2009-2014.
Terlembaga
Peneliti senior Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor, mengatakan, dibandingkan parpol-parpol lain yang ada di Indonesia, Golkar merupakan salah satu partai yang paling terlembaga. Pascareformasi, Golkar selalu menjalankan prosedur demokrasi dalam pemilihan ketua umum. Meskipun dalam praktiknya, mereka yang terpilih selalu tokoh yang menonjol baik secara politik maupun modal finansial.
“Pertarungan sebenarnya (para calon Ketua Umum Golkar) ada di DPD. Untuk bisa menggaet suara DPD, harus memakai cara berkontribusi terhadap kepengurusan di daerah. Itu sisi mahalnya”
Kekuatan jaringan dan finansial itu, kata Firman, krusial karena mereka harus menggalang suara ketua-ketua DPD I dan II. Mereka merupakan pemilik suara terbesar dalam pemungutan suara. “Pertarungan sebenarnya (para calon Ketua Umum Golkar) ada di DPD. Untuk bisa menggaet suara DPD, harus memakai cara berkontribusi terhadap kepengurusan di daerah. Itu sisi mahalnya,” kata Firman.
Di sisi lain, Golkar merupakan partai kader dengan tradisi pengaderan yang baik. Sebagai partai yang embrionya sudah didirikan sejak era Presiden Soekarno, Golkar tak hanya memiliki tradisi pengaderah tetapi juga memelihara loyalitas sebagai nilai penting yang kerap dijadikan ukuran untuk memilih pemimpin. Dengan begitu, menurut Firman, tidak mudah bagi tokoh nonkader untuk menjadi pemimpin Golkar.
“Tetapi, politik hari ini kerap memorakporandakan etika, sejarah, dan pelembagaan. Itu yang masih mungkin ada cerita lain, apakah Golkar akan mengubah sejarahnya atau tetap konsisten,” kata Firman.
Saat ini pun tidak ada celah friksi antara Golkar dan Jokowi. Saat ini justru menjadi menjadi momen yang bagus bagi Jokowi untuk masuk Golkar.
Meski memiliki tradisi dan nilai yang bisa jadi benteng, menurut Firman, ada pula celah yang bisa ditembus terutama terkait dengan politik uang dan kedekatan dengan kekuasaan. Berkaca pada sejarah, Golkar merupakan parpol yang selalu berada di lingkar kekuasaan. Ketua umum terpilih pun selalu pihak yang paling dekat dengan kekuasaan. “Saat ini pun tidak ada celah friksi antara Golkar dan Jokowi. Saat ini justru menjadi menjadi momen yang bagus bagi Jokowi untuk masuk Golkar,” tutur Firman.
Oleh karena itu, menurut dia, diperlukan keberanian dari elemen-elemen rasional yang masih bisa menolak kehadiran tokoh nonkader untuk memimpin Golkar. Tanpa kekuatan kelompok rasional itu, sejarah demokratisasi Golkar yang sudah dimulai 25 tahun lalu bisa saja berhenti. “Publik sudah berkali-kali dikecewakan dengan praktik politik politisi kita. Tinggal menunggu apa lagi yang mau dirusak. Sekarang, itu jadi pilihan Golkar, apakah mau dirusak juga atau tidak,” ujar Firman.