Iti Octavia hingga Bambang DH Gagal ke Senayan, Bekal Pimpin Daerah Tak Jamin Menang
Nama besar karena pernah menjabat kepala daerah saja tak cukup untuk menjamin kemenangan dalam pemilu legislatif.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Puluhan mantan kepala daerah yang menjadi calon anggota legislatif terancam gagal melenggang ke Senayan, tempat anggota DPR bekerja. Selain karena pertarungan yang relatif sengit dan modal yang kalah besar dari kandidat lain, kegagalan para mantan kepala daerah membangun basis massa di daerah pemilihan ditengarai menjadi sebab. Situasi itu juga menunjukkan pengalaman memimpin daerah lima sampai sepuluh tahun bukan jaminan untuk dapat menduduki kursi DPR.
Berdasarkan hasil rekapitulasi suara nasional untuk Provinsi Sulawesi Tengah di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Sabtu (16/3/2024), hanya dua dari total tujuh calon anggota DPR yang merupakan mantan kepala daerah mendapatkan suara terbanyak di partai masing-masing. Dua kepala daerah itu adalah Gubernur Sulteng 2011-2021 Longki Djanggola yang meraih suara terbanyak di Partai Gerindra dan Bupati Morowali 2007-2018 Anwar Hafid yang meraup suara tertinggi di antara para caleg Partai Demokrat di daerah pemilihan (dapil) Sulteng.
Sementara itu, lima mantan kepala daerah lain yang maju dari dapil Sulteng terancam gagal ke Senayan karena tidak mendapatkan suara terbanyak di partai masing-masing. Mereka adalah Wakil Gubernur Sulteng 2016-2021 Rusli Baco Dg Palabbi dan Bupati Tolitoli 2011-2021 Mohammad Saleh Bantilan dari Partai Amanat Nasional (PAN); Bupati Banggai 2016-2021 Herwin Yatim dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P); Bupati Buol 2011-2021 Amirudin Rauf dari Partai Demokrat; serta Bupati Banggai 2011-2016 Sofhian Mile dari Partai Nasdem.
Hal serupa ditemukan di Provinsi Sumatera Barat. Sepuluh mantan kepala daerah di Sumbar bertarung di Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 untuk memperebutkan kursi DPR. Namun, hanya dua orang yang berpeluang melenggang ke Senayan.
Salah satunya adalah mantan Bupati Pasaman Benny Utama yang meraih suara terbanyak di Partai Golkar dengan 75.255 suara di Dapil Sumbar II. Satu lainnya adalah mantan Bupati Tanah Datar Shadiq Pasadigoe, caleg dari Partai Nasdem Dapil Sumbar I yang meraih 50.458 suara. Sementara itu, delapan orang lainnya terancam gagal menduduki kursi di DPR karena tidak meraih suara terbanyak di partai masing-masing.
Kalah bersaing
Di Provinsi Banten juga ada empat nama caleg yang pernah menjabat kepala daerah berpotensi gagal menjadi anggota DPR, salah satunya mantan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya. Caleg Partai Demokrat yang maju dari Dapil Banten I itu diperkirakan tak lolos ke parlemen karena perolehan suara di bawah Rizki Aulia Rahman Natakusumah, anak Bupati Pandeglang Irna Narulita yang sejak 2019 menjadi anggota DPR. Rizki yang juga maju dari Partai Demokrat meraup 141.905 suara, sedangkan Iti meraih 68.049 suara.
Masih di Dapil Banten I, mantan Bupati Pandeglang Ahmad Dimyati Natakusumah dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga caleg petahana juga terancam tak lolos ke parlemen. Dimyati merupakan suami dari Bupati Pandeglang Irna Narulita dan ayah kandung dari Rizki Aulia Rahman. Meski meraih 55.652 suara, Dimyati diperkirakan tak lolos karena perolehan suara partainya tidak masuk ke dalam peringkat enam besar suara terbanyak partai politik di Dapil Banten I. Padahal, jumlah kursi DPR yang diperebutkan di dapil yang meliputi Kabupaten Lebak dan Pandeglang itu sebanyak enam kursi.
Mantan Wakil Wali Kota Serang Subadri Ushuludin yang berkontestasi di Dapil Banten II juga terancam gagal menduduki kursi DPR. Caleg dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu memperoleh 37.790 suara dan raihan suara partainya tidak masuk enam besar parpol dengan suara tertinggi. Sementara di Dapil Banten II, kuota kursi DPR berjumlah enam.
Terakhir, mantan Wali Kota Cilegon Edi Ariyadi dari Partai Nasdem yang hanya memperoleh 25.462 suara di Dapil Banten II. Perolehan suara tersebut kalah jauh dibandingkan dengan caleg dari partai yang sama, yakni Furtasan Ali Yusuf dengan raihan 114.953 suara.
Perebutan suara dalam pemilu legislatif jauh lebih sengit dibandingkan dengan pemilihan kepala daerah.
Sejumlah mantan kepala daerah di Jawa Timur juga bernasib sama. Salah satunya Wali Kota Surabaya 2000-2010 yang juga caleg petahana dari PDI-P, Bambang Dwi Hartono. Politikus yang akrab dipanggi Bambang DH itu kalah bersaing dengan Puti Guntur Soekarno dan Indah Kurnia karena hanya meraih 45.464 suara. Bambang DH yang maju dari Dapil Jawa Timur I berada di urutan ketiga caleg dengan raihan suara terbanyak di PDI-P.
Kemudian, Bupati Ponorogo 2015-2020 Ipong Muchlissoni dari Nasdem yang memperoleh 55.160 suara. Ipong diperkirakan gagal menduduki kursi di Senayan karena kalah dari pesaing sesama partainya, Lita Machfud Arifin, yang meraih 68.456 suara.
Wali Kota Pasuruan 2000-2010 Aminurokhman juga terancam gagal melenggang kembali ke Senayan. Sebagai petahana anggota DPR dari Nasdem, Aminurokhman hanya meraih 44.171 suara di Dapil Jatim II. Ia kalah dari caleg Nasdem lain, Moh Haerul Amri, yang meraih 56.311 suara.
Meski demikian, peraih kursi juga akan ditentukan saat penetapan hasil rekapitulasi tingkat nasional oleh KPU. Ada syarat parpol harus lolos ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional, selain itu juga penghitungan konversi suara menjadi kursi yang ditentukan dengan menggunakan metode Sainte Lague.
Lebih sengit
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin, saat dihubungi, Minggu (17/3/2024), mengungkapkan, perebutan suara dalam pemilu legislatif jauh lebih sengit dibandingkan dengan pemilihan kepala daerah. Pasalnya, para kandidat akan bertarung dengan banyak kontestan. Caleg yang merupakan kepala daerah seharusnya dapat memberikan perlakuan berbeda kepada konstituen di dapilnya masing-masing.
Nama besar karena pernah menjabat kepala daerah saja tak cukup untuk menjamin kemenangan. Caleg tersebut harus rajin dan turun untuk menjaga pemilihnya di dapil. Selain itu, mereka juga kemungkinan tidak membekali diri dengan jaringan yang kuat dan kemampuan modal yang memadai.
”Dalam konteks itu, kita melihat caleg dari kepala daerah yang kalah juga mungkin saja mereka dihajar oleh serangan fajar menjelang pemungutan suara. Bukan berarti saya menuduh politik uang dilakukan bagi yang menang. Bisa saja isi tas caleg dari bekas kepala daerah malah kalah dari caleg baru atau yang berasal dari pengusaha,” ujar Ujang yang juga pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia.