Para Hakim Pemutus Sengketa Pemilu
Sembilan hakim konstitusi ditantang mencari kebenaran dari setiap perkara sengketa pemilu. Siapa saja hakim MK tersebut?
Setelah hasil Pemilu 2024 ditetapkan Komisi Pemilihan Umum pada Rabu (20/3/2024), terbuka kesempatan bagi para peserta pemilu untuk menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi.
Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang panjang, sembilan hakim konstitusi ditantang untuk mencari kebenaran dari setiap perkara sengketa hasil pemilu yang masuk ke MK. Palu hakim konstitusi otomatis menjadi penentu hasil akhir pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Siapa saja para hakim konstitusi itu dan seperti apa rekam jejaknya?
Suhartoyo, Ketua MK
Sebelum menjabat sebagai hakim konstitusi, Suhartoyo merupakan hakim karier di lingkungan Mahkamah Agung. Jabatan terakhir sebelum pindah ke Mahkamah Konstitusi yang berada di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, lelaki kelahiran Sleman, Yogyakarta, itu adalah hakim tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar.
Memimpin pengadilan rupanya sudah menjadi hal yang biasa ia jalani sejak tahun 1999, diawali dari Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kelas II Kotabumi di Lampung. Dalam kurun waktu 1999 hingga 2014, ia berkali-kali memimpin lima pengadilan negeri, baik sebagai ketua maupun wakil ketua, hingga terakhir menjadi Ketua PN Jakarta Selatan. Setelah itu, ia dipromosikan menjadi hakim tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar dan beberapa bulan kemudian menjadi hakim konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi.
Terhitung sejak 9 November 2023, Suhartoyo menggantikan Anwar Usman setelah terpilih secara aklamasi dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada hari yang sama. Begitu terpilih sebagai ketua MK, dengan didukung para hakim konstitusi lainnya, ia memulai langkah perbaikan internal, seperti menertibkan jadwal persidangan (menjadi lebih tepat waktu) dan menjadwalkan RPH tiap pukul delapan pagi.
Tak dimungkiri, naiknya Suhartoyo menjadi pucuk pemimpin tertinggi lembaga peradilan konstitusi tak lepas dari kontroversi putusan 90/PUU-XXI/2023 yang membuka pintu bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden. Ia menggantikan Hakim Konstitusi Anwar Usman yang harus lengser dari jabatannya sebagai ketua setelah adanya putusan Majelis Kehormatan MK. Beban berat ada di pundak Suhartoyo untuk mengembalikan marwah MK yang oleh sebagian kalangan dinilai berada di titik nadir.
Baca juga: Suhartoyo Terpilih dalam Musyawarah Mufakat sebagai Ketua Baru MK
Suhartoyo dikenal sebagai hakim konstitusi yang sering melontarkan dissenting opinion (pendapat berbeda). Dalam putusan 90/2023, ia menilai seharusnya MK tidak menerima permohonan Almaas Tsaqqibiru Re A itu karena yang bersangkutan tidak memiliki kedudukan hukum.
Ia juga termasuk hakim yang memutus proses pembentukan UU Cipta Kerja cacat secara formil dan memerintahkan pembentuk undang-undang memperbaiki proses pembentukan regulasi tersebut dengan memperhatikan partisipasi publik yang bermakna. Dalam perkara itu, sikap hakim MK terbelah, yakni Suhartoyo bersama-sama Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Aswanto, dan Wahiddudin Adams mengabulkan pengujian formil UU Cipta Kerja. Berbagai kalangan menilai putusan tersebut merupakan landmark decision bagi pengujian formil undang-undang produk pemerintah dan DPR.
Saldi Isra, Wakil Ketua MK
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, ini memulai kariernya sebagai hakim konstitusi pada tahun 2017 setelah lolos seleksi yang diselenggarakan panitia seleksi bentukan pemerintah yang diketuai Harjono, mantan hakim MK. Sebelum menjadi hakim konstitusi, Saldi dikenal sebagai dosen, aktivis antikorupsi, dan penulis.
Pemikirannya dapat ditemukan di berbagai jurnal dan media cetak ataupun daring nasional, termasuk di harian ini. Tulisannya mengulas isu-isu aktual yang sedang hangat dari sudut pandang ketatanegaraan. Ia juga produktif menulis buku. Karyanya mengenai hukum tata negara berderet. Ia juga menumbuhkan kebiasaan dan kecintaan menulis tersebut di kalangan dosen dan para hakim.
Selama berkiprah sebagai dosen hukum tata negara Universitas Andalas, ia bersama-sama pengajar lainnya membentuk Pusat Studi Konstitusi (Pusako) tahun 2004 sebelum pada akhirnya menjamur di sejumlah universitas di Indonesia.
Pada awal 2023, ia terpilih menjadi wakil ketua MK. Awalnya mendampingi Anwar Usman selaku ketua, lalu kemudian mendampingi Suhartoyo. Bersama dengan Suhartoyo, Saldi tercatat sebagai hakim yang cukup sering menyatakan pendapat berbeda. Salah satu pendapat berbeda yang ”mengguncang” publik adalah pada putusan 90/2023 yang mengurai isi RPH seperti halnya yang dilakukan Arief Hidayat.
Baca juga: Suhartoyo-Saldi Sampaikan Komitmen Pulihkan Citra MK
Selain putusan 90/2023, ia juga mengajukan dissenting terkait putusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen dari perolehan suara sah nasional bagi partai atau gabungan partai untuk dapat mencalonkan presiden/wakil presiden. Bersama Suhartoyo, ia setuju presidential threshold dihapuskan.
Anwar Usman
Saat ini, Anwar Usman menjadi hakim konstitusi paling senior di antara sembilan pilar penjaga konstitusi yang ada di MK. Lelaki kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat, ini pertama kali mengucapkan sumpah sebagai hakim konstitusi di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 6 April 2011.
Memulai kariernya sebagai seorang guru, Anwar kemudian melanjutkan pendidikan ke fakultas hukum dan berpindah haluan menjadi hakim pada tahun 1985 di Pengadilan Negeri Bogor. Setelah berpindah-pindah di sejumlah pengadilan negeri, Anwar mulai menapakkan kariernya di Mahkamah Agung dengan menjadi asisten hakim agung periode 1997-2003. Ia kemudian diangkat menjadi hakim tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta dengan diperbantukan sebagai Kepala Biro Kepegawaian MA, lalu menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA hingga tahun 2011.
Pada tahun itulah, ia ditunjuk Ketua MA Harifin A Tumpa menjadi hakim konstitusi menggantikan M Arsyad Sanusi. Pada perjalanannya, ia menjadi ketua keenam MK, periode 2018-2023. Anwar menjadi bagian dari keluarga besar Presiden Joko Widodo setelah menyunting adik Jokowi, Idayati, pada 26 Mei 2022.
Tahun 2023 ia kehilangan jabatan ketua setelah Majelis Kehormatan MK menyatakan Anwar melanggar etik terkait dengan penanganan perkara 90/PUU-XXI/2023. Atas putusan itu pula, Anwar dilarang menangani sengketa hasil pemilu presiden 2024 karena ada konflik kepentingan mengingat salah satu calon wakil presiden, Gibran, masih merupakan keponakannya. Ia juga tidak akan menangani perkara sengketa hasil pemilu legislatif yang melibatkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang saat ini diketuai Kaesang Pangarep, yang juga keponakannya.
Arief Hidayat
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tersebut tak pernah membayangkan bahwa dirinya bakal menjadi satu dari sembilan penjaga konstitusi, dalam kurun waktu yang boleh terbilang lama. Mengucapkan sumpah dan janji di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 1 April 2013, Arief kini menjadi hakim senior atau paling lama kedua setelah Anwar Usman. Pada 1 April 2024, ia akan menjadi pelaku kekuasaan kehakiman selama 11 tahun.
Mantan Dekan Fakultas Hukum Undip itu terkesan ”blak-blakan” saat mengungkapkan pandangannya tentang dunia hukum di republik. Sebut saja saat ia melontarkan pernyataan bahwa dunia hukum di negeri ini sedang tidak baik-baik saja di dalam sebuah seminar, sebuah forum ilmiah.
Arief merupakan murid Satjipto Raharjo, begawan hukum yang dikenal sebagai pencetus teori hukum progresif. Dalam paradigma hukum progresif, hukum dibentuk untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Dalam pelaksanaannya, para penegak hukum diharapkan tidak terbelenggu dengan positivisme hukum yang selama ini telah menyumbang banyak ketidakadilan kepada yustiaben (pencari keadilan).
Sikap progresif Arief tersebut setidaknya tampak pada concurring opinion putusan 145/PUU-XXI/2023. Sebagai akademisi, ia tergerak untuk memunculkan wacana pengujian formil bagi putusan MK yang dihasilkan dari situasi abnormal. ”Definisi dan batasan dari situasi abnormal adalah situasi di mana saat Mahkamah mengadili suatu perkara ternyata terdapat dugaan kuat adanya potensi intervensi dari cabang kekuasaan lain yang secara faktual maupun potensial merusak independensi Mahkamah dalam mengadili dan memutus perkara,” kata Arief.
Di tahun keempat sebagai hakim konstitusi, pengagum Bung Karno ini menjadi Ketua MK periode 2015-2018, menggantikan Hamdan Zoelva.
Ridwan Mansyur
Nama Ridwan Mansyur, pada medio 2012-2017, kerap muncul di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, saat menjabat Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung. Ia cukup akrab dengan kalangan media sebab dia menjadi ”wajah” MA saat menjelaskan kebijakan pimpinan MA ataupun berbagai putusan yang menarik perhatian publik.
Hakim yang pernah mengadili perkara pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib saat bertugas di PN Jakarta Pusat tersebut sudah berstatus sebagai hakim tinggi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yang diperbantukan di MA. Ia menjadi salah satu majelis hakim yang menjatuhkan vonis 14 tahun penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda Indonesia, yang terbukti terlibat dalam pembunuhan tersebut.
Tiga tahun setelah melepas jabatannya sebagai kepala humas MA, Ridwan dipercaya Ketua MA M Syarifuddin menjadi panitera MA. Baginya, penggunaan teknologi informasi (TI) menjadi sebuah keniscayaan bagi manajemen peradilan, manajemen perkara, dan apalagi manajemen pemberkasan perkara. Tanpa TI, penanganan perkara bisa sangat lambat dan membutuhkan banyak tenaga. Apalagi, jumlah perkara yang masuk ke MA sangat banyak, mencapai 27.252 perkara pada 2023. ”Justice delayed, justice denied,” katanya.
Dalam kaitan itu, kepaniteraan MA menginisiasi penggunaan aplikasi robotik Smart Majelis dalam membantu penunjukan majelis hakim. Aplikasi tersebut juga akan memberitahukan saat ada perkara yang serupa sehingga membantu upaya mengikis mewujudkan kesatuan hukum dan mencegah disparitas putusan (untuk perkara yang sama).
Selain Smart Majelis, Ridwan juga berperan dalam mewujudkan digitalisasi peradilan melalui penerapan berkas perkara elektronik (e-Court), pemanggilan secara elektronik (e-summon), e-litigasi, dan lainnya.
Sejak 8 Desember 2023, ia menjadi hakim konstitusi dan langsung dipercaya hakim lainnya untuk menjadi anggota Majelis Kehormatan MK dari unsur hakim aktif. ”Ini bagian yang harus saya kerjakan. Ini sebagai ladang amal ibadah, kita laksanakan sebagaimana bisa,” kata lelaki yang sudah menjadi hakim pada pengadilan negeri tahun 1989 tersebut.
Enny Nurbaningsih
Sosok Enny Nurbaningsih menjadi hakim konstitusi perempuan kedua setelah Maria Farida Indrati. Enny yang dipilih Presiden Joko Widodo ini sudah duduk di Mahkamah Konstitusi sejak 2018. Bekal yang dibawanya tak tanggung-tanggung, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, almamaternya.
Saat memimpin BPHN, Enny beserta timnya menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang kini telah disahkan menjadi undang-undang. Aturan itu merupakan rekodifikasi seluruh ketentuan hukum pidana yang ada di Indonesia.
Sebagai hakim konstitusi, srikandi hukum itu terlibat dalam putusan MK yang pernah memicu kontroversi, yakni syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden. Enny bersama dengan Daniel Yusmic P Foekh, hakim konstitusi lainnya, memiliki alasan berbeda (concurring opinion) yang dikategorikan menyetujui orang berusia di bawah 40 tahun dapat menjadi capres/cawapres apabila pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Namun, menurut Enny, pengalaman sebagai kepala daerah perlu diatur lebih rinci, yakni khusus kepada gubernur yang menjadi pemimpin provinsi, bukan semuanya, seperti wali kota/bupati. Gubernur dinilai memiliki pengalaman dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang lebih luas dan kompleks. Itu bisa menjadi bekal untuk menghadapi tantangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang lebih besar lagi.
Meski begitu, bagi Enny, seorang hakim konstitusi harus siap kesunyian. Pasalnya, hakim tidak boleh berinteraksi dengan orang berperkara di MK. Semakin banyak orang sekelilingnya yang berperkara, ruang interaksi semakin sempit.
”Menjadi hakim konstitusi itu ibaratnya saya berada dalam silent position. Hakim konstitusi merupakan satu jabatan yang tidak banyak berbicara ke luar dan cukup berbicara lewat putusan, maka ia tidak boleh terpengaruh dan dipengaruhi siapa pun,” kata Enny.
Daniel Yusmic P Foekh
Sebelum ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi hakim konstitusi, Daniel Yusmic P Foekh akrab dengan dunia aktivisme mahasiswa lewat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Ia pernah menjabat wakil sekretaris umum di Pengurus Pusat GMKI dan mewakili organisasi mahasiswa itu dalam berbagai forum.
Hakim konstitusi pertama dari Nusa Tenggara Timur (NTT) itu senantiasa berkutat di bidang hukum tata negara sejak S-1 hingga S-3. Saat mengerjakan tesis S-2-nya di Universitas Indonesia, Daniel dibimbing Jimly Asshiddiqie, ketua pertama MK, yang saat itu menjabat sebagai Asisten Kesejahteraan Rakyat Wakil Presiden BJ Habibie.
Daniel juga sudah menjadi pengajar di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Sebagai akademisi, ia banyak meneliti aspek darurat dalam hukum tata negara Indonesia dan kekuasaan kepresidenan. Di Atma Jaya, ia mengajar mata kuliah Hukum Tata Negara, Hukum Tata Negara Darurat, dan Hukum Acara MK. Ia juga pernah dipercaya menjadi Kepala Bagian Hukum Tata Negara dan Wakil Dekan Fakultas Hukum Atma Jaya.
Saat memberi kata sambutan di Gedung MK, Selasa (7/1/2020), Daniel mengaku sejak lama bercita-cita menjadi hakim. Hal itu tidak sesuai dengan keinginan ayahnya yang meminta Daniel menjadi guru. Ia pernah ”diancam” tidak akan dibiayai kuliah apabila ingin menjadi hakim dan bukan guru. ”Tapi, sejujurnya saat itu saya bercita-cita ingin menjadi hakim,” katanya.
Setelah lulus S-1, dia melamar menjadi calon hakim, tetapi tidak diterima. Akhirnya, Daniel memilih menjadi dosen sesuai dengan keinginan ayahnya. Seiring berjalannya waktu, ambisinya menjadi hakim tak pudar. Saat MK berdiri pada 2003, ia mendaftar sebagai calon hakim konstitusi dari unsur pemerintah, tetapi ditolak karena dianggap tidak memenuhi syarat.
Kesempatan itu kembali terulang saat Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna memasuki akhir masa jabatan. Rekan-rekan Daniel banyak memintanya untuk mencalonkan diri sebagai hakim konstitusi. Akhirnya, ia terpilih dan berharap bisa mewarnai MK lewat putusan dan pandangannya.
Guntur Hamzah
Guntur Hamzah dilantik menjadi hakim konstitusi pada 23 November 2022 lewat usulan Dewan Perwakilan Rakyat. Selain bertugas sebagai hakim konstitusi, Guntur juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) untuk masa bakti 2021-2025. Sebelum itu, ia lebih dulu menjabat Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi periode 2015-2022.
Sejak lulus kuliah di Universitas Hasanuddin (Unhas), Guntur melanjutkan pendidikan S-2 di Universitas Padjadjaran dan S-3 di Universitas Airlangga. Ia mengajar sebagai akademisi dan diangkat menjadi Guru Besar Bidang Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Unhas.
Saat awal MK berdiri pada 2003, Guntur masih bertugas sebagai legislative drafter di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ia juga pernah menjadi anggota Tim Ahli Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional (UPRBN) pada 2010. Kemudian, pada 2011-2012, ia menjabat sebagai tenaga ahli pada Direktorat Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri.
Sebagai hakim konstitusi, Guntur terlibat dalam putusan MK yang pernah memicu kontroversi, yakni syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden. Sikapnya tetap konsisten bahwa orang di bawah usia 40 tahun bisa mencalonkan diri sebagai presiden/wakil presiden. Namun, ia tidak memungkiri bahwa usia muda bisa memunculkan keraguan terkait tingkat kematangan pemimpin.
Karena itu, ia berpandangan perlu terpenuhinya syarat alternatif, seperti pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu. Dengan demikian, capres dan cawapres sudah memenuhi syarat minimum kematangan lewat pengalaman.
Dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) mendatang, Guntur menjadi salah satu hakim konstitusi yang mengadili perkara.
Arsul Sani
Sosok Arsul Sani pernah melalang buana di dunia politik lewat Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ia bahkan pernah menjabat sekretaris jenderal dan wakil ketua umum partai berlogo Kabah itu. Lewat PPP, Arsul lolos menjadi anggota DPR pada 2014-2024 dan Wakil Ketua MPR pada 2019-2024.
Meski berkiprah di politik, karier Arsul dimulai sebagai advokat di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta selama 1986-1988, sewaktu mengantongi gelar sarjana. Ia pernah berpindah-pindah di sejumlah firma hukum. Puluhan tahun berkecimpung di dunia hukum, Arsul mulai merambah organisasi sosial. Ia bergabung dengan Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) Nahdlatul Ulama pada 2005-2010.
Sembari berkarier di bidang hukum dan sosial, Arsul menyelesaikan pendidikan S-2 di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations (STIKOM-LSPR) pada 2005-2007. Kemudian S-3 di Glasgow Caledonian University, Skotlandia.
Berbekal pengalaman itu, Arsul melenggang ke kancah politik. Namun, karier politiknya di PPP harus berakhir karena Arsul lewat usulan DPR terpilih sebagai hakim konstitusi menggantikan Wahiduddin Adams. Pasalnya, hakim MK tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya.
Selain partai politik, Arsul juga mundur di kepengurusan firma hukum dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang dipimpin Otto Hasibuan. Saat itu, Arsul menjabat Wakil Ketua Dewan Penasihat Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi.
Dalam waktu dekat, ia bakal ikut mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Para pihak dalam perkara itu melibatkan tim pemenangan peserta pemilu, termasuk partai politik. Untuk menghindari adanya konflik kepentingan, Arsul bakal menggunakan hak ingkar dan memutuskan untuk mundur dari penanganan PHPU terkait PPP.