Wacana Presiden Jokowi Pimpin Koalisi Besar Mulai Dibahas
Koalisi Indonesia Maju menilai, peran Jokowi masih dibutuhkan dalam pemerintahan lima tahun ke depan.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah elite Koalisi Indonesia Maju berharap kerja sama politik yang telah dibangun tidak berhenti seusai Pemilihan Presiden 2024. Selain menghadapi Pemilihan Kepala Daerah 2024, kerja sama politik itu diharapkan juga berlanjut dengan bersama-sama mengisi pemerintahan lima tahun ke depan.
Oleh karena itu, sejumlah partai politik pengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mulai membahas pembentukan koalisi besar secara permanen yang nantinya akan melibatkan Presiden Joko Widodo.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, gagasan untuk membentuk koalisi permanen di antara ketua-ketua umum partai politik anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) telah lama mengemuka.
Meski masih secara informal, pembicaraan untuk terus merawat dan membuat koalisi pengusung dan pendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka itu telah dilakukan, salah satunya untuk menghadapi Pemilihan Kepala Daerah 2024. Para pemimpin parpol berpandangan, kecocokan yang terbangun selama menghadapi Pemilihan Presiden 2024 diyakini bisa jadi modal penting untuk kembali bekerja sama di Pilkada 2024 pada November.
Baca juga:
> Prabowo: Kami Akan Merangkul Semua Unsur
> Lawan Politik Respons Beragam Niat Prabowo Merangkul Semua Unsur
Lebih dari itu, lanjut Doli, koalisi permanen juga dibutuhkan untuk memastikan stabilitas politik, baik di parlemen maupun di pemerintahan, selama lima tahun ke depan. Situasi yang kondusif merupakan prasyarat agar visi dan misi yang digagas Prabowo-Gibran bisa diimplementasikan dengan baik dalam bentuk berbagai program.
Baca juga: Pengaruh Jokowi dalam Potensi Pilpres Satu Putaran
”Makanya, di KIM pernah ada pembicaraan lepas di antara ketua-ketua umum partai agar bagaimana KIM bisa terus dirawat dan cenderung ingin dipermanenkan. Salah satu idenya (membentuk) namanya barisan nasional,” kata Doli dalam bincang-bincang SatuMejaTheForum bersama mantan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo yang ditayangkan di Kompas TV, Rabu (13/3/2024) malam.
Hadir juga unsur pimpinan parpol anggota KIM lainnya, yakni Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi. Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ade Armando, dan Ketua Umum Projo (Pro Jokowi), kelompok sukarelawan pendukung Jokowi yang menjadi pendukung Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024, hadir secara daring.
Selain itu, hadir pula sebagai narasumber Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Sukur Nababan dan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim. Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dan peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, juga turut menjadi pembicara.
Doli melanjutkan, bentuk organisasi dan struktur kepemimpinan koalisi permanen itu memang belum dibicarakan. Akan tetapi, para ketua umum parpol sudah mempertimbangkan soal pembagian peran Prabowo dan Joko Widodo.
Prabowo bakal menjadi presiden yang memimpin lembaga eksekutif, sedangkan Jokowi yang nantinya merupakan mantan presiden akan mendapatkan peran lain karena tenaga dan pikirannya masih dibutuhkan bagi bangsa.
Baca juga: Nama Jokowi dan Airlangga dalam Bursa Ketua Umum Partai Golkar
”Pak Jokowi yang selama ini kami anggap punya cukup kontribusi terhadap pembangunan bangsa dan negara ini, dan memang energinya masih cukup, harus tetap kami hormati. Saran dan masukannya masih kami perlukan,” katanya.
Viva Yoga Mauladi mengatakan, PAN juga berharap agar ke depan KIM bisa tetap bersinergi untuk menghadapi Pilkada 2024. Meskipun jika berkaca pada pengalaman selama ini, konfigurasi politik nasional umumnya tidak berbanding lurus dengan politik daerah sehingga kerap terjadi perbedaan komposisi koalisi.
”Itu pertanda bahwa komitmen untuk membangun KIM itu baik, tetapi untuk menghadapi pilkada banyak variasi tergantung pada nilai domestik di daerah,” ujarnya.
Mengenai posisi Presiden Jokowi di KIM, menurut Viva, tingkat kepuasan publik yang tinggi terhadap kinerja pemerintahan saat ini mendorong semua parpol untuk menjadikan Jokowi sebagai faktor determinan dalam berkampanye.
Kubu pengusung Prabowo-Gibran dan kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD, misalnya, sama-sama mengasosiasikan diri sebagai pasangan kandidat yang dekat dengan Jokowi agar mendapatkan efek elektoral dari mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Sebaliknya, kubu pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar memosisikan diri sebagai antitesis Jokowi untuk mendapatkan keuntungan elektoral.
Wacana mengenai posisi Presiden Joko Widodo setelah tak lagi menjabat mulai mengemuka dalam beberapa waktu terakhir. Sejumlah pihak berspekulasi bahwa Jokowi yang merupakan kader PDI-P bakal berpindah ke Partai Golkar untuk menjadi ketua umum. Spekulasi dimaksud berkembang seiring dengan pernyataan Jokowi yang mengatakan merasa nyaman berada di Partai Golkar. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto pun kerap menyebut kedekatan Golkar dengan Jokowi dalam berbagai agenda partai.
Pak Jokowi yang selama ini kami anggap punya cukup kontribusi terhadap pembangunan bangsa dan negara ini, dan memang energinya masih cukup, harus tetap kami hormati. Saran dan masukannya masih kami perlukan
Selain itu, akhir pekan lalu, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie juga mengemukakan wacana bahwa semestinya Jokowi berada di atas semua parpol. Elite PSI mengusulkan agar Jokowi memimpin koalisi parpol yang memiliki kesamaan visi menuju Indonesia Emas pada tahun 2045. Grace pun mengemukakan konsep barisan nasional sebagai wujud dari koalisi dimaksud.
Ade Armando mengungkapkan, apa yang diungkapkan Grace berawal dari gagasan agar parpol-parpol besar bersatu tidak hanya untuk jangka pendek. Sebab, langkah untuk mencapai kemajuan Indonesia memerlukan persatuan di antara parpol-parpol. Wujud kebersatuan itu bisa terasa manfaatnya saat menghadapi Pilkada 2024.
”Perlu sekali pimpinan parpol di Indonesia bisa duduk bersama, tidak menyerahkan pertarungan pilkada di setiap daerah pada kondisi daerah masing-masing. Tentu memang akan berbeda konteksnya di setiap daerah, tetapi jangan dibiarkan menjadi rangkaian pertarungan yang berdarah-darah di setiap daerah. Untuk itu, harus ada kesepakatan di antara pimpinan-pimpinan parpol,” katanya.
Lihat juga: Dasi Kuning dan Kode Jokowi Berpaling dari PDI-P ke Golkar Seusai Pensiun
Tak berhenti di pilkada, persekutuan parpol ini, kata Ade, perlu dilanjutkan di pemerintahan, yakni dengan membentuk barisan nasional yang terdiri dari parpol anggota KIM. Parpol-parpol di luar KIM yang tidak mau bergabung ke barisan tersebut juga bisa tetap berada di luar pemerintahan karena demokrasi membutuhkan oposisi.
Dalam konsep tersebut, dibutuhkan peran Jokowi sebagai mantan presiden yang dinilai mampu untuk memimpinnya.
”Kenapa Pak Jokowi? Dalam pandangan kami begini, sudah ada Pak Prabowo sebagai presiden yang memimpin eksekutif. Dia menjalankan apa yang dia rancang selama lima tahun ke depan. Tetapi, upaya untuk membawa partai-partai itu untuk duduk bersama secara terus-menerus, bicara tentang bagaimana membangun Indonesia (dilakukan oleh Jokowi),” tutur Ade.