Tak Mungkin Jadi Ketua Umum PDI-P, Jokowi Diminta Kembali ke Solo Setelah Lengser
Dalam sistem presidensial, presiden yang sudah selesai menjabat sebaiknya tak lagi menduduki jabatan lain setelahnya.
Presiden Joko Widodo kembali bertemu dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri di Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat, Selasa (12/6/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Meski masih menjabat hingga Oktober 2024, posisi Presiden Joko Widodo setelah lengser mulai diperbincangkan oleh sejumlah partai politik. Namun, elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meminta Joko Widodo agar kembali ke masyarakat dan tidak turut campur dalam perpolitikan nasional. Partai berlambang kepala banteng itu pun tidak menyediakan tempat bagi Joko Widodo untuk menjadi pemimpin tertinggi.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Sukur Nababan mengatakan, tahapan Pemilu 2024, baik pemilihan presiden (pilpres) maupun pemilihan anggota legislatif (pileg), belum tuntas. PDI-P sebagai pengusung calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) Ganjar Pranowo-Mahfud MD masih memverifikasi data untuk membuktikan kecurangan pemilu. Ia meyakini, hal yang sama terus dilakukan oleh koalisi partai politik (parpol) pengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Dalam konteks itu, tambah Sukur, sikap PDI-P terhadap posisi Presiden Joko Widodo seusai lengser tetap konsisten. Parpol pengusung Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019 menginginkan agar Presiden kembali ke masyarakat setelah tak lagi menjabat. ”Setelah selesai jadi presiden, ya, sudah balik jadi (bagian dari) masyarakat, jangan cawe-cawe. Biarkan yang menang (Pilpres 2024) jadi presiden itu yang memimpin negara,” ujarnya dalam bincang-bincang Satu Meja The Forum bersama mantan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo yang ditayangkan di Kompas TV, Rabu (13/3/2024) malam.
Baca juga: Wacana Presiden Jokowi Pimpin Koalisi Besar Mulai Dibahas
Dalam acara tersebut, turut hadir sebagai narasumber para pemimpin parpol anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Mereka adalah Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi. Ada pula salah satu pimpinan parpol pengusung Anies-Muhaimin, yakni Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, dan peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro.
Selain itu, hadir pula politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Ade Armando, Ketua Umum Projo (Pro Jokowi) kelompok sukarelawan pendukung Jokowi yang menjadi pendukung Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024, serta pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, hadir secara daring.
Sukur melanjutkan, tidak ada kesempatan bagi Jokowi setelah lengser untuk menjadi pimpinan tertinggi PDI-P. Ia tidak menjelaskan alasannya, tetapi ia menegaskan bahwa masyarakat memahami apa yang dialami parpol yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu. Oleh karena itu, Jokowi justru ramai dikabarkan akan menjadi Ketua Umum Partai Golkar.
Baca juga: Nama Jokowi dan Airlangga dalam Bursa Ketua Umum Partai Golkar
Meski tidak memungkiri kabar beredar itu, Sukur mempertanyakan apakah Golkar memahami posisi tersebut. Parpol yang akan memasuki usia 60 tahun itu diyakini memiliki banyak kader yang berkualitas. ”Apakah Golkar bisa memahami hal itu? Ada banyak kader bagus, tetapi ada yang tiba-tiba belum punya KTA (kartu tanda anggota), masuk dapat KTA, dua hari kemudian jadi ketua umum seperti di parpol lain,” ujarnya.
Wacana mengenai posisi Presiden Joko Widodo setelah tak lagi menjabat mulai mengemuka dalam beberapa waktu terakhir. Sejumlah pihak berspekulasi bahwa Jokowi yang merupakan kader PDI-P bakal berpindah ke Partai Golkar untuk menjadi ketua umum. Spekulasi dimaksud berkembang seiring dengan pernyataan Jokowi yang mengatakan merasa nyaman berada di Partai Golkar.
Tak hanya itu, akhir pekan lalu Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie juga mengemukakan wacana bahwa semestinya Jokowi berada di atas semua parpol. Elite PSI mengusulkan agar Jokowi memimpin koalisi parpol yang memiliki kesamaan visi menuju Indonesia Emas pada tahun 2045. Grace pun mengemukakan konsep barisan nasional sebagai wujud dari koalisi dimaksud.
Sementara itu, pada November 2022, Jokowi juga pernah mengemukakan rencananya untuk kembali ke Surakarta, Jawa Tengah, setelah tak lagi menjabat. ”Saya akan kembali ke kota saya, Solo, sebagai rakyat biasa,” ungkap Jokowi saat itu.
Hermawi Taslim mengatakan, mengutip mendiang Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, langkah politik Jokowi umumnya bertolak belakang dengan yang disampaikan. Misalnya, Jokowi pernah menyatakan menolak wacana tiga periode, tetapi belakangan beredar kabar bahwa gagasan itu merupakan keinginan Jokowi yang tak disetujui Megawati.
”Jadi, kalau hari ini Pak Jokowi mengatakan mau pulang ke Solo, itu sinyal untuk Pak Doli (Golkar). Dulu juga mengatakan anak-anaknya tidak bakat politik, ternyata semua masuk,” ucap Hermawi sambil berkelakar.
Terlepas dari itu, kata Hermawi, setelah 10 tahun menjabat, Jokowi hendaknya meninggalkan warisan yang baik. Kesetiaan kepada masyarakat bisa dinilai dari konsistensi tokoh pada nilai yang dijunjung. Hal itu yang ingin dilakukan koalisi parpol pengusung Anies-Muhaimin, yakni Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang mengusung visi perubahan.
”Kami tidak muluk-muluk, akan merawat terus koalisi ini sampai menghadapi pilkada (pemilihan kepala daerah) November nanti,” kata Hermawi.
Politisi yang taktis
Yunarto Wijaya melihat, Jokowi sebagai sosok pemimpin dan politisi yang lincah dan taktis. Oleh karena itu, ia menduga bahwa Jokowi belum menentukan langkah yang bakal diambil setelah tak lagi menjabat.
”Beliau sangat empiris melihat persepsi publik dan perkembangan apa yang paling menguntungkan dalam karier politiknya,” katanya.
Baca juga: Gerilya Politik Bisa Ubah Sikap Pemerintah Soal Pemilihan Gubernur Jakarta
Menurut Zainal Arifin Mochtar, dalam negara yang menganut sistem presidensial, presiden memang seharusnya tak lagi menjabat apa pun setelah masa baktinya usai. Hal yang keliru jika ada pihak yang mengusulkan agar presiden menjadi pemimpin koalisi besar pada masa pemerintahan selanjutnya. Apalagi jika ide tersebut dibangun dengan narasi bahwa ada bahaya perpecahan bangsa dan presiden merupakan tokoh pemersatunya.
“Ini agak tricky karena menurut saya yang memecah (bangsa) itu politisi sendiri. Lalu atas nama itu coba didamaikan dengan cara menaruh satu simbol, lalu (akan) damai secara keseluruhan. Jangan pernah kita lupakan bahwa problem ini terjadi juga karena peran Jokowi yang paling tidak cawe-cawe dalam pemilu,” kata dia.