Kaesang-Erina di Pilkada 2024, Memang Jokowi Masih Berpengaruh Seusai 20 Oktober?
Fenomena politik dinasti Presiden Jokowi menguat jika Kaesang-Erina maju Pilkada 2024. Bagaimana setelah 20 Oktober?
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masuknya putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, beserta menantunya, Erina Gudono, dalam bursa Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024 menunjukkan partai politik hanya mengincar kemudahan popularitas, akses kekuasaan, dan pendanaan. Fungsi kaderisasi partai pun tidak berjalan. Hal itu dinilai semakin parah dan mengarah pada fenomena politik dinasti yang merusak demokrasi. Padahal, ketika Pilkada 2024 digelar, masa jabatan Presiden Jokowi sudah habis dan pengaruhnya bisa saja tidak sebesar seperti Pemilihan Presiden 2024.
Belakangan, ramai diwacanakan Kaesang Pangarep bakal dimajukan dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Sementara itu, istri Kaesang, Erina Gudono, juga sudah masuk dalam daftar nama yang akan dicalonkan oleh Partai Golkar dan Partai Gerindra dalam Pemilihan Bupati Sleman.
Nama lain yang juga muncul dari pemberitaan Solopos.com pada Rabu (6/3/2024) lalu adalah staf Sekretaris Pribadi Presiden, yang juga mantan ajudan Jokowi saat menjadi Wali Kota Solo, Devid Agus Yunanto. Devid juga dijagokan ”Bolone Mase” Boyolali menjadi calon Bupati Boyolali dalam Pilkada 27 November mendatang.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan saat dihubungi di Jakarta, Selasa (12/3/2024), mengatakan, jika benar Kaesang dan Erina maju dalam Pilkada 2024, artinya yang dikejar oleh partai politik pengusung dan Jokowi sendiri adalah kekuatan pengaruh Jokowi dengan posisinya sebagai presiden yang memegang kekuasaan. Karena itu, dengan mengusung keluarga Jokowi, diharapkan selain mudah mendongkrak popularitas, akses terhadap kekuasaan dan pendanaan pun semakin mudah.
”Sekarang, kan, dengan mencalonkan Kaesang atau Erina, partai setidaknya berpikir soal kemudahan meningkatkan popularitas, akses terhadap kekuasaan dan terhadap pendanaan. Semua itu masih bisa dilakukan setidaknya sampai Oktober,” ujar Djayadi.
Sekarang, kan, dengan mencalonkan Kaesang atau Erina, partai setidaknya berpikir soal kemudahan meningkatkan popularitas, akses terhadap kekuasaan dan terhadap pendanaan. Semua itu masih bisa dilakukan setidaknya sampai Oktober.
Djayadi pun melihat, pengaruh Jokowi akan turun ketika pilkada digelar pada November 2024 karena masa jabatannya akan berakhir sebulan sebelumnya, yakni 20 Oktober 2024. Pengaruhnya tidak akan sekuat ketika Pemilihan Presiden (Pilpers) 2024. Pada Pilpres 2024, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming, maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Gerindra. Sejauh ini, pasangan tersebut meraih suara tertinggi dibandingkan dua kandidat lain berdasarkan sejumlah hasil hitung cepat.
”Paling tidak, akses terhadap kekuasaan berkurang kalau presiden sudah turun. Nah, belum tentu presiden yang berikutnya mau berbuat yang sama, kan. Jadi nanti dilihat saja. Tetapi, kalau nanti misalnya ternyata Prabowo mendukung penuh pencalonan mereka melalui Gerindra, ya, mungkin masih bisa cukup berpengaruh pada keterpilihannya,” tutur Djayadi.
Djayadi melanjutkan, meskipun pengaruh Jokowi tidak sekuat terhadap Prabowo-Gibran, setidaknya masih ada waktu yang sangat cukup bagi Jokowi untuk mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan politik atau jaringan-jaringan politik, termasuk partai untuk mendukung upaya pencalonan Kaesang maupun Erina. Hal itu pun terbukti di pilkada sebelumnya.
Ia menyinggung ketika menantu Jokowi, Bobby Nasution, maju Pemilihan Wali Kota Medan 2020 lalu. Kala itu, Bobby merupakan pendatang baru di panggung politik dan berani melawan petahana. Namun, pada akhirnya, Bobby tetap bisa terpilih juga.
”Jadi, dengan kekuataan kekuasaan dan pendanaan yang kuat dari pusat, bisa jadi (terpilih). Bahkan, waktu itu Bobby lawan inkumben yang cukup kuat. Kalau Erina jadi maju, kan, tidak ada lawan inkumben. Sebab, yang menjadi bupati Sleman sekarang sudah dua periode. Jadi, pertarungannya lebih mudah. Dengan melihat pertimbangan-pertimbangan itu, saya lihat partai tertarik untuk mencalonkan Erina,” ucap Djayadi.
Jadi, dengan kekuataan kekuasaan dan pendanaan yang kuat dari pusat, bisa jadi (terpilih). Bahkan, waktu itu Bobby lawan inkumben yang cukup kuat. Kalau Erina jadi maju, kan, tidak ada lawan inkumben.
Kegagalan fungsi parpol
Terlepas dari itu, Djayadi berpandangan, jika Kaesang dan Erina benar maju pada Pilkada 2024, artinya parpol gagal dalam menjalankan fungsinya, yakni melakukan kaderisasi. Kegagalan fungsi kaderisasi parpol di pilkada ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama.
Ada dua penyebab. Pertama, aturan yang tidak ramah bagi parpol. Dalam aturan, jika anggota DPR atau DPRD ingin maju di pilkada, mereka harus mundur. Adapun kader-kader terbaik partai sudah masuk di DPR dan kebanyakan dari mereka enggan untuk mundur.
Jika Kaesang dan Erina benar maju pada Pilkada 2024, artinya parpol gagal dalam menjalankan fungsinya, yakni melakukan kaderisasi. Kegagalan fungsi kaderisasi parpol di pilkada ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama.
Penyebab kedua, partai hanya berorientasi pada kemenangan. Padahal, pilkada bukan hanya soal menang atau kalah, melainkan kaderisasi. Penyebab ketiga, partai tidak mampu menghasilkan kader-kader yang bersifat lintas partai. Untuk menang, calon harus mempunyai suara lebih dari 40 persen, sementara tidak ada partai di Indonesia yang perolehan suaranya mencapai 40 persen.
”Nah, dicarilah figur yang lintas partai itu. Siapa? Nah, itu biasanya dari luar partai, entah orang yang terkenal, punya jaringan kekuasaan yang luas, atau punya pendanaan yang sangat kuat. Tiga jenis orang itu yang biasa dicalonkan sebagai kepala daerah. Akibatnya, ya, mau tidak mau partai gagal, dong, mengader anggotanya. Partai hanya bisa mengader anggota DPR dan DPRD, tetapi tidak bisa mengader kepala daerah,” tegas Djayadi.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, menambahkan, selain menunjukkan kegagalan parpol dalam menjalankan fungsi kaderisasinya, majunya Kaesang dan Erina ini juga merupakan wujud konfirmasi politik dinasti yang sedang dibangun Jokowi. ”Itu mempertegas terjadinya politik dinasti atau budaya neopatrimonial. Budaya neopatrimonial yang dibalut oleh demokrasi prosedural,” ujarnya.
Efek buruk politik dinasti ini pun merembet ke mana-mana, terutama kekhawatiran terhadap arus balik demokrasi. Negara ini akan sulit mencapai cita-cita demokrasi karena pemerintahan yang diawali dengan politik dinasti belum tentu bisa menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih.
Untuk itu, menurut Cecep Hidayat, penting memastikan figur calon kepala daerah itu tidak hanya memiliki tingkat kepopuleran yang tinggi, tetapi juga harus mempunyai kapabilitas atau kompetensi yang memadai untuk memimpin sebuah daerah. ”Jangan sekadar sosok ini latar belakangnya dari daerah tersebut, apalagi hanya sekadar figur yang dekat dengan Jokowi,” katanya.
Terkait alasan Gerindra yang terlihat terus mendorong Erina untuk maju menjadi calon Bupati Sleman, menurut Cecep Hidayat, ini tak terlepas dari kedekatan hubungan Prabowo dan Jokowi. Belakangan ini, Prabowo selalu mengaitkan segala hal dengan keberhasilan Jokowi. ”Jadi, ini masih bulan madu antara Prabowo dan Jokowi. Selain juga, bukan tidak mungkin ini sebagai balas jasa atas kemenangan di pilpres kemarin,” katanya.