Partisipasi warga Surabaya dalam Pemilu 2024 mencapai 76 persen atau turun dari lima tahun lalu.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
Layar monitor menampilkan data pemilih dan suara saat Rapat Pleno Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilu Tahun 2024 tingkat Kota Surabaya di Kantor KPU Kota Surabaya, Rabu (28/2/2024).
SURABAYA, KOMPAS — Sebanyak 522.679 warga Surabaya, ibu kota Jawa Timur, tidak ikut pemungutan suara pemilihan umum pada Rabu (14/2/2024). Jumlah itu setara 23,56 persen dari 2.218.586 warga yang tercatat dalam daftar pemilih tetap atau DPT.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Demikian terungkap setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya menyelesaikan rekapitulasi hasil penghitungan suara pada Minggu (10/3/2024). Surabaya satu-satunya di antaranya 38 kabupaten/kota di Jatim yang terlambat menuntaskan rekapitulasi. Untuk itu, rapat pleno penetapan rekapitulasi tingkat provinsi oleh KPU Jatim hingga Minggu petang belum selesai.
Menurut Ketua KPU Surabaya Nur Syamsi, ada 1.695.907 warga yang mencoblos. Partisipasi mencapai 76,44 persen. Angka partisipasi itu di atas target KPU sebesar 75 persen. Namun, persentase keikutsertaan itu jauh di bawah target ambisius Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Surabaya sebesar 85 persen.
Warga mencelupkan jari kelingking ke tinta seusai pemungutan suara ulang di TPS 21 Menanggal, Gayungan, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (24/2/2024). Tingkat partisipasi Pemilu 2024 di Surabaya mencapai 76,44 persen atau di bawah pesta demokrasi 2019 yang 78 persen.
Tingkat partisipasi Pemilu 2024 di Surabaya ini juga turun dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya di 2019. Di kontestasi sebelumnya, catatan Kompas, partisipasi untuk pemilihan presiden-wakil presiden mencapai 82 persen. Untuk pemilihan anggota legislatif (DPD, DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota) mencapai 78 persen.
Untuk pemilihan presiden-wakil presiden, dari jumlah warga yang mencoblos tadi menghasilkan 1.653.569 suara sah atau 97,5 persen dan 42.338 suara tidak sah atau 2,5 persen. Dari persentase itu dapat dinyatakan bahwa pemilih di Surabaya mayoritas dapat menggunakan hak suara dengan benar. Keberadaan suara tidak sah di kisaran 2,5 persen masih bisa dimaklumi.
Pada 2024, ada tiga pasangan calon presiden-calon wapres. Mereka adalah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (nomor urut 1), Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (nomor urut 2), dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD (nomor urut 3).
Berdasarkan rekapitulasi, Prabowo-Gibran menang telak di Surabaya dengan perolehan 992.304 suara. Urutan berikutnya ialah Ganjar-Mahfud dengan 371.346 suara. Anies-Muhaimin mendapat 289.919 suara.
Prabowo-Gibran menyapu bersih kemenangan di seluruh Bumi Pahlawan. Prabowo menjabat Menteri Pertahanan dan Ketua Umum Partai Gerindra. Gibran ialah Wali Kota Solo dan putra sulung Presiden Joko Widodo.
Ketua Badan Pengawas Pemilu Kota Surabaya Novli Bernado Thyssen mengatakan, partisipasi di atas 75 persen cukup baik. ”Memang harus diakui partisipasi di pemilu ini tidak seperti 2019,” katanya.
Dosen senior ilmu politik di Universitas Airlangga, Haryadi, mengatakan, partisipasi rakyat dalam pemilu terkait sosok atau figur yang berkontestasi. Sosok capres-cawapres dianggap mudah dikenal dan dicermati karena dalam kontestasi saat ini ada tiga pasang atau enam orang. Pada 2014 dan 2019, bahkan hanya dua pasang yang mempertarungkan Prabowo dengan Jokowi.
Memilih caleg lebih rumit karena sosok jauh lebih banyak. Di Bumi Pahlawan, julukan ibu kota Jatim, seorang pemilih harus mencoblos satu dari 13 calon DPD, 165 calon DPR dari Jatim I, 129 calon DPRD Jatim dari Jatim 1, dan 160 calon DPRD Kota Surabaya dari Surabaya 1.
Dosen senior komunikasi politik di Universitas Trunojoyo Madura, Surokim, mengatakan, meski memilih caleg lebih rumit daripada capres-cawapres, pemilih terutama di metropolitan bisa dianggap memiliki referensi informasi yang cukup. Ini penting untuk mengoptimalkan daya kritis sehingga memilih dengan benar.
”Pemilih pada prinsipnya tergerak memilih sosok yang dikenal, dianggap mewakili kepentingan, atau dari partai dengan ideologi yang sesuai,” kata Surokim.
Artinya, caleg-caleg yang sudah dikenal, diketahui, atau dianggap dapat membawa aspirasi rakyat lebih berpeluang dipilih daripada yang benar-benar asing. Ini tidak berlaku dengan caleg dengan rekam jejak buruk.