Guru besar emeritus Hotman Siahaan membacakan manifestoUniversitas Airlangga Memanggil, Surabaya, Jawa Timur, Senin (5/2/2024). Sejumlah gerakan pernyataan sikap terkait situasi politik menjelang Pemilu 2024 yang dianggap keluar dari jalur demokrasi dan reformasi dilakukan di sejumlah kampus di Surabaya.
Di Kampus Dharmawangsa berlangsung Unair Memanggil, yakni pembacaan ”Manifesto Akademisi, Keluarga Besar, dan Alumni Universitas Airlangga Beserta Kolega Sejawatnya.” Manifesto dibacakan oleh mahaguru emeritus sosiologi Hotman Siahaan. Dalam lembar salinan manifesto untuk media, terdapat 120 nama sivitas akademika yang mendukung pembacaan itu.
Manifesto terdiri dari empat butir. Pertama, mengecam segala bentuk praktik pelemahan demokrasi. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus merawat prinsip-prinsip etika republik dengan tidak menyalahgunakan kekuasaan; menggunakan fasilitas dan alat negara untuk kepentingan kelompok tertentu, maupun berpihak dalam politik elektoral; dan menghentikan segala praktik pelanggengan politik kekeluargaan.
Kedua, mendesak presiden dan aparat negara untuk menghormati dan menjamin kemerdekaan atas hak-hak sipil dan politik, juga ekonomi, sosial dan budaya bagi setiap warga negara. Kebebasan berbicara, berekspresi, dan pengelolaan sumber daya alam karena negara Indonesia milik segenap rakyat Indonesia, bukan segelintir elite penguasa.
Ketiga, mendesak penyelenggaraan pemilu luber-jurdil tanpa intervensi penguasa, tanpa kecurangan, tanpa kekerasan, dan mengutuk segala praktik jual-beli suara (politik uang) yang dilakukan oleh peserta pemilu. Partai Politik harus mereformasi diri dalam menjalankan fungsi-fungsi artikulasi, agregasi, dan pendidikan politik warga negara.
Keempat, mengecam segala bentuk intervensi dan intimidasi terhadap kebebasan mimbar-mimbar akademik di perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus senantiasa menjaga marwah, rasionalitas, dan kritisisme para insan sivitas akademika demi tegaknya republik.
Dalam perjalanan Republik Indonesia, perjuangan menegakkan demokrasi sejak tahun 1998 dengan jatuhnya Soeharto telah membawa korban-korban luar biasa darah, nyawa dan air mata. Hotman mengingatkan, dalam perjuangan reformasi, FISIP Unair kehilangan dua mahasiswa yang sejak 1998 nasibnya tidak diketahui, yakni Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugrah.
”Jika masih hidup, di mana mereka. Jika sudah meninggal, di mana makamnya. Mereka adalah korban kekejian rezim penguasa Orde Baru,” ujarnya.
Senada juga bergema di Kampus Lidah Wetan dalam ”Seruan Guru Besar, Sivitas Akademika, dan Alumni Unesa Mengawal Demokrasi, Menjaga NKRI.” Di sini ada pembacaan deklarasi oleh Guru Besar Kebudayaan dan Ketua Senat Akademik Universitas Setya Yuwana. Deklarasi terdiri dari enam butir.
Pertama, mendorong semua pihak untuk menjaga kebersamaan dan suasana kondusif demi terwujudnya demokrasi yang sehat berasaskan Pancasila dan UUD 1945. Kedua, mendorong semua elemen bangsa memberikan teladan yang bijak dengan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan untuk suksesnya Pemilu 2024.
Ketiga, mendorong aparatur sipil negara, pejabat negara dan pemerintah, TNI, dan Polri untuk menjaga netralitas dan tidak memihak dalam Pemilu 2024. Keempat, mendorong semua pihak untuk menghargai kebebasan akademik sebagai bagian dari otonomi kampus yang konstitusional, tanpa ada tendensi kepentingan politik, tetapi semata-mata untuk menjaga peradaban dan nilai-nilai demokrasi.
Kelima, mengajak semua elemen bangsa untuk memberikan edukasi dan literasi politik kepada masyarakat sehingga terhindar dari informasi yang bersifat hoaks dan ujaran kebencian agar terwujud Pemilu 2024 yang jujur, adil, aman dan damai. Keenam, mengajak seluruh warga negara yang memiliki hak pilih untuk tidak golput, memilih sesuai hati nurani dan menghargai perbedaan pilihan.
Direktur Lembaga Pendidikan dan Sertifikasi Profesi Unesa Martadi selaku koordinator deklarasi mengatakan, sudah menjadi komitmen dan tanggung jawab sivitas akademika yang menjadi moral force untuk memastikan dan menjaga agar dinamika politik tidak berpotensi merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
”Kami turut memberikan kontribusi, memberikan spirit moral dan mengingatkan semua bahwa pemilu bukan segalanya. Goal akhir dari pemilu ialah menciptakan NKRI yang sejahtera, adil, dan makmur untuk semua masyarakat,” ujarnya.
Di Kampus Sukolilo, sebanyak 44 Guru Besar bagian dari Keluarga Besar ITS Peduli Negeri turut menyuarakan keprihatinan. Guru Besar Teknik Mesin Harus Laksana Guntur selaku koordinator menyatakan, ITS ingin merespons situasi politik terkini yang memprihatinkan tetapi masih dalam koridor tata kelola perguruan tinggi.
”Kami menyerukan, tetapi tidak ingin liar, kami menyalurkan melalui prosedur yang benar yang ada di kampus,” ujar Harus Laksana.
Pernyataan sikap dari ITS tidak terkait dengan pasangan calon presiden-calon wakil presiden apalagi bertendensi partisan. ITS menyuarakan secara moral. Pernyataan sikap akan disampaikan secara tertulis kepada Presiden Joko Widodo melalui Rektor ITS.
Seruan itu turut dihadiri dua mantan Rektor ITS, yakni Priyo Suprobo dan Joni Hermana. Kehadiran keduanya menegaskan ITS peduli terhadap kondisi bangsa dan negara. ITS tidak bisa dan tidak boleh diam ketika situasi sedang memprihatinkan. ITS mendorong dan mengharapkan Pemilu 2024 berlangsung secara luber-jurdil. Seluruh warga bangsa agar menjunjung persatuan dan kesatuan.
Di Plaza Proklamasi, Guru Besar Akuntansi dan Rektor Untag Surabaya Mulyanto Nugroho membacakan ”Seruan Kebangsaan Kampus Merah Putih untuk Indonesia, Damai Negeriku, Damai Bangsaku”. Sivitas akademika Untag menyatakan menolak politik dinasti dan intimidasi, menolak korupsi, kolusi, dan nepotisme, menuntut pemerintahan yang bersih dan berwibawa, serta menuntut etika bernegara.
”Oleh karena itu, kami menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia,” kata Mulyanto.
Kami turut memberikan kontribusi, memberikan spirit moral dan mengingatkan semua bahwa pemilu bukan segalanya. Goal akhir dari pemilu ialah menciptakan NKRI yang sejahtera, adil, dan makmur untuk semua masyarakat. (Martadi)
Pertama, menolak calon pemimpin yang proses pencalonannya melanggar konstitusi dan etika demokrasi. Kedua, menolak politik dinasti. Ketiga, menolak politik uang dalam pemilu. Keempat, menuntut pemerintah untuk menjatuhkan sanksi tegas terhadap segala bentuk abuse of power, kejahatan jabatan, serta intimidasi yang berindikasi melanggengkan kekuasaan personal ataupun kelompok. Kelima, mengembalikan netralitas ASN, TNI, dan Polri.
”Menjunjung tinggi peradaban, jangan patahkan nurani karena ambisi,” ujar Mulyanto dengan lantang.