Putusan MK soal ambang batas parlemen dianggap sebagai angin segar bagi keterwakilan perempuan di parlemen.
Oleh
NINUK MARDIANA PAMBUDY
·4 menit baca
Seorang perempuan calon anggota legislatif mengirim sejumlah pesan Whatsapp. Isinya menyampaikan keterkejutannya melihat proses pemilu di lapangan. Dua hari menjelang waktu pencoblosan pada 14 Februari 2024, dia terperangah melihat siraman dana dari calon-calon lain mengalir deras di daerah pemilihannya.
Dia lalu menggugat, sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini dalam menempatkan daftar urut calon anggota legislatif (caleg) merugikan perempuan. Persaingan terbuka dan permainan uang bukan tandingan bagi banyak perempuan caleg. Dia ingin sistem proporsional terbuka diubah supaya perempuan mendapat kesempatan bertanding dengan lebih setara, tanpa bermain uang.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Politik uang di dalam pemilu bukan keluhan baru sehingga perlu ada peraturan khusus mencegah praktik itu. Larangan politik uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 280 Ayat (1) Huruf j, misalnya, menyebut, ”Penyelenggara, peserta, hingga tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu”.
Meskipun sistem proporsional terbuka berlaku untuk semua peserta, perempuan menghadapi situasi lebih rentan dibandingkan dengan laki-laki. Sumber dana, misalnya, sebagian besar perempuan tidak leluasa menggunakan atau memiliki, tergantung dari suami atau keluarga.
Perempuan juga memerlukan izin suami atau keluarga untuk mengunjungi calon pemilih yang lokasinya bisa berada jauh dari tempat tinggal caleg dan terpencil.
Kemudian pertarungan sudah dimulai dari internal parpol untuk mendapatkan nomor urut topi meskipun berlaku sistem selang-seling caleg perempuan dan laki-laki dalam setiap tiga urutan. Perlu menyediakan banyak waktu untuk aktif di dalam parpol yang belum tentu disetujui oleh keluarga.
Membuka peluang
Situasi itu diperburuk dengan aturan selama ini, yaitu caleg yang mendapat suara cukup dapat duduk di lembaga legislatif hanya bila parpol pendukungnya mendapat suara minimum 4 persen. Akibatnya, banyak perempuan caleg yang mendapat suara lebih dari cukup tidak dapat duduk di DPR.
Karena itu, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang Kamis, 29 Februari 2024, bahwa angka ambang batas parlemen harus diubah sejak Pemilu 2029 oleh pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, dianggap sebagian pengamat sebagai angin segar bagi keterwakilan perempuan di parlemen. MK menyerahkan rumus untuk menentukan besaran persentase diserahkan kepada pemerintah dan DPR.
Pengajar hukum tata negara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mendukung keputusan MK sepanjang berarti menurunkan atau menghapus ambang batas 4 persen.
Sejumlah perempuan gagal duduk di DPR karena parpolnya tidak lolos ambang batas, seperti Grace Natalie dan Tsamara Amany dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) serta Liliana Tanoesoedibjo dari Perindo pada Pemilu 2019. Selain itu, terdapat jutaan suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi dan suara rakyat tidak dapat terwakili.
Meski demikian, ada dampak negatif harus dipertimbangkan dari keputusan MK.
Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia Diah Pitaloka dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menyebut, keputusan MK akan menghasilkan politik individualistis karena pemilih langsung memilih person, orang. Politik uang akan semakin merajalela dan kepemimpinan kolektif akan tidak berlaku. Parpol-parpol akan bersaing ketat dan akan ada lebih banyak lagi parpol yang maju berlaga dibandingkan dengan jumlah parpol peserta Pemilu 2024 bila ambang batas parlemen diturunkan atau hilang.
Terjebak
Sistem proporsional terbuka pada satu sisi memberi pendidikan politik mengenai persaingan caleg terbuka di internal parpol dan antarparpol. Namun, ketika ideologi parpol dan kaderisasi anggota lemah, ditambah lemahnya penegakan hukum, menurut Titi, menyebabkan biaya politik menggila dan masyarakat bahkan ikut menuntut ”amplop” dari caleg.
Meskipun sistem proporsional terbuka membuka pengalaman politik dan berkompetisi bagi caleg, keberhasilannya ditentukan pengawalan oleh parpol dalam kerja-kerja pemenangan caleg perempuan agar tidak terjebak pada praktik transaksional dan politik berbiaya tinggi. Banyak perempuan caleg asal direkrut menjelang tahapan pendaftaran calon hanya untuk memenuhi syarat keterwakilan perempuan.
Penegakan hukum dan akuntabilitas dana politik harus diperbaiki mendasar apa pun pilihan sistemnya. Tanpa itu, ekosistem yang tidak sehat bagi perempuan di politik akan bertahan. Sistem dan model keserentakan pemilu perlu disederhanakan, belanja kampanye dibatasi, dan ada efek jera bagi politik jual-beli suara melalui penegakan hukum yang efektif.
Penelitian oleh Visiting Fellow, Department of Political and Social Change, Australian National University, Stephen Sherlock, yang dipaparkan dalam seminar pada Rabu (28/2/2024) dari Canberra menyorot situasi perempuan dalam politik di Indonesia.
Stephen meneliti data kuantitatif dari lima kali pemilu sejak tahun 1999 dan melihat dampak penerapan kebijakan kuota bagi keterwakilan perempuan di DPR.
Stephen menyebut, Indonesia mengikuti arah perkembangan internasional dalam keterwakilan perempuan. Penerapan kuota, termasuk keharusan menempatkan perempuan dalam daftar caleg yang memperbesar peluang keterpilihan, efektif meningkatkan keterwakilan perempuan dalam perjalanan waktu. Kenaikannya memang bertahap, tidak diikuti kenaikan dalam jumlah nyata suara untuk perempuan.