Kejaksaan Tetapkan Tersangka Ke-14 pada Kasus Korupsi Tata Niaga Timah
Alih-alih menindak penambangan ilegal, para tersangka kasus timah malah mengajak penambang ilegal untuk bekerja sama.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung menetapkan mantan direksi PT Timah Tbk bernama Alwin Albar dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Tersangka ke-14 itu diduga bersama-sama tersangka lain membeli timah hasil penambangan ilegal dengan harga di atas harga standar yang telah ditetapkan PT Timah Tbk.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, Jumat (8/3/2024), mengungkapkan, penyidik Jampidsus Kejagung kembali menetapkan seorang tersangka dalam kasus dugaan korupsi. Tersangka tersebut adalah mantan direksi PT Timah Tbk, yakni Alwin Albar (ALW) selaku Direktur Operasional tahun 2017, 2018, dan 2021 yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Pengembangan Usaha PT Timah Tbk tahun 2019-2020.
”Dengan tambahan satu orang tersangka tersebut, maka jumlah keseluruhan tersangka sampai saat ini yaitu 14 orang, termasuk tersangka perkara perintangan penyidikan,” kata Ketut.
Menurut Ketut, tersangka ALW bersama tersangka lainnya, yakni Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) alias Riza selaku Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021 dan tersangka dan Emil Ermindra (EE) selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk tahun 2017-2018 diduga telah mengetahui pasokan bijih timah yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan swasta lain karena masifnya penambangan liar di wilayah IUP PT Timah Tbk. Alih-alih menindak penambangan ilegal tersebut, mereka justru mengajak penambang ilegal untuk bekerja sama.
Para direksi PT Timah Tbk tersebut menawarkan untuk membeli hasil penambangan ilegal. Tidak hanya itu, PT Timah Tbk juga membeli hasil penambangan ilegal tersebut dengan harga di atas harga standar yang telah ditetapkan PT Timah Tbk.
”Untuk mengakomodasi penambangan ilegal tersebut, tersangka ALW bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE menyetujui untuk membuat perjanjian seolah-olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah,” kata Ketut.
Alwin Albar disangka dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meski ditetapkan sebagai tersangka, Alwin tidak ditahan oleh penyidik. ”Karena yang bersangkutan sedang menjalani penahanan dalam penyidikan perkara lain yang tengah diproses oleh Kejaksaan Tinggi Kepulauan Bangka Belitung,” ujarnya.
Untuk mengakomodasi penambangan ilegal tersebut, tersangka ALW bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE menyetujui untuk membuat perjanjian seolah-olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah.
Sebelumnya, akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University sekaligus selaku saksi ahli dalam kasus tersebut, Bambang Hero Saharjo, mengatakan, kegiatan penambangan timah tersebut belum dilakukan pada Februari 2015. Namun, pada Mei 2016, kegiatan penambangan sudah ada. Dari pemetaan, terdapat tambang yang dibuka di wilayah IUP PT Timah Tbk, namun ada pula yang dibuka di luar kawasan IUP tersebut, termasuk di kawasan hutan.
Setelah dilakukan pemetaan terhadap lingkungan yang rusak akibat penambangan ilegal tersebut diketahui, total kerugian kerusakan lingkungan hidup mencapai Rp 271 triliun. Angka itu mencakup kerugian lingkungan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan.
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Yuris Reza Kurniawan berpandangan, dari kasus korupsi terkait sumber daya alam yang terjadi selama ini, modus yang biasanya terjadi adalah terkait dengan suap untuk perizinan. Modus lainnya adalah terjadinya kurang bayar atau selisih bayar yang berakibat pada kurangnya penerimaan negara. Modus lain yang pernah terjadi adalah adanya rekayasa dokumen perizinan, semisal rekayasa dokumen tentang analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Terkait dengan kasus dugaan korupsi di wilayah IUP PT Timah Tbk, kata Yuris, terdapat dua isu yang terkait dengan tindak pidana. Pertama adalah dugaan terjadinya pembiaran penambangan ilegal di kawasan IUP PT Timah Tbk dan pembelian hasil tambang ilegal tersebut oleh PT Timah Tbk dengan harga lebih tinggi sehingga muncul selisih harga.
Akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero Saharjo, memaparkan perhitungan kerugian negara akibat tambang timah yang tidak direklamasi, Senin (19/2/2024), di Kejaksaan Agung.
”Apalagi, jika nantinya terkonfirmasi adanya pembiaran terhadap kegiatan penambangan ilegal, dari situ bisa didalami bagaimana pengawasan dari pemerintah daerah setempat dan pembiaran yang dilakukan manajemen PT Timah Tbk,” kata Yuris.
Yuris mengapresiasi pendekatan penyidik dengan menerapkan konsep kerugian perekonomian negara. Dengan pendekatan tersebut, maka penyidik bisa menyasar kerugian negara yang lebih besar karena menyangkut eksploitasi sumber daya alam. Meskipun belum banyak kasus yang diputus hakim terbukti merugikan perekonomian negara, upaya yang dilakukan penyidik tersebut patut didukung.
”Memang tantangannya adalah belum banyak hakim yang bs menerima konsep kerugian perekonomian negara karena mereka menganggap kerugiannya itu belum nyata dan pasti,” ujarnya.