79 Kisah di Balik Liputan Istana, Kenangan dari Presiden ke Presiden
Kisah wartawan istana yang tak pernah terungkap ada di buku ini. Sayangnya, tak ada yang bertugas di era Bung Karno.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·5 menit baca
Tak semua wartawan mendapatkan kesempatan bertugas meliput kegiatan di Istana Kepresidenan. Pengalaman wartawan peliput Istana Kepresidenan bukan hanya mengenai peristiwa politik yang terjadi di setiap era atau masa kepresidenan, melainkan juga ada peristiwa unik dan menarik serta sisi-sisi lain yang menyertai setiap sosok presiden. Namun, pengalaman menarik yang diperoleh itu tidak semuanya bisa diungkap dalam setiap laporan jurnalistik wartawan di medianya masing-masing.
Dalam acara bedah buku 79 Kisah di Balik Liputan Istana Era Soeharto sampai Jokowi yang digelar Pusat Kajian Hang Lekir, Jakarta, Kamis (7/3/2024), para wartawan yang pernah bertugas di Istana Kepresidenan mengungkapkan kisah-kisah di balik liputannya. Wartawan istana yang pernah meliput di era Soeharto pasti merasakan perbedaan ketika bertugas di era BJ Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ataupun era Joko Widodo.
Fitriadi Agil Samad, misalnya, pernah bertugas di Istana Kepresidenan ketika menjadi kameramen TVRI. Fitriadi mengaku bertugas di Istana Kepresidenan dimulai saat era pemerintahan Soeharto, yakni pada 1995 hingga pemerintahan Joko Widodo periode pertama, yaitu 2015.
”Saya merasa sebagai kameramen mulai dari era Pak Harto, Pak Habibie, dan presiden lainnya, saya punya keleluasaan dan pengalaman yang lebih berbeda dan detail ketimbang wartawan tulis waktu itu,” ujarnya.
Fitriadi mengingat momen yang tak terlupakan di era Soeharto. Kala itu, ia diminta mengambil rekaman aktivitas presiden selama 10 menit. Dalam proses pengambilan gambar, alat kerja yang digunakannya, yakni alat pencahayaan, tiba-tiba pecah dan meledak tak jauh dari tempat Presiden Soeharto berdiri.
”Lampu untuk lighting dahulu, kan, panas dan berbentuk bohlam berdaya 1.000 watt. Posisi Pak Harto itu mungkin hanya 3 meter dari saya dan tiba-tiba meletus. Bahkan, pecahannya sampai ke tempat Pak Harto. Saya merasa saat itu adalah akhir bagi saya, tidak tahu lagi nasib saya bagaimana. Saya merasa roh saya keluar dari badan,” tutur Fitriadi.
Pengalaman Fitriadi itu hanyalah satu cerita dari 48 tulisan mantan wartawan istana yang turut berkontribusi dan membagikan pengalamannya selama bertugas di Istana Kepresidenan. Ada juga, misalnya, pengalaman unik saat seleksi wartawan agar bisa memperoleh izin meliput kegiatan kepresidenan di era Soeharto yang dinilai sangat ketat.
Lewat litsus intelijen negara
Proses seleksi wartawan itu harus meliputi penelitian khusus dari berbagai instansi, termasuk Badan Intelijen Negara hingga menelisik keturunan wartawan tersebut. Aturan berpakaian juga harus diikuti ketat selama bertugas di Istana Kepresidenan era Soeharto. Namun, peristiwa itu justru berbeda bagi wartawan yang bertugas di era Presiden Gus Dur dan selanjutnya di era Joko Widodo. Di era Presiden SBY sempat cara berpakaian didisiplinkan, tetapi masuk era Presiden Jokowi kendur kembali.
”Di era Gus Dur, nyaris semua tanpa aturan protokoler. Tapi, wartawan saat itu harus kuat menjadi penunggu karena Gus Dur selalu punya acara dadakan,” ujar Tingka Adiati, selaku penyusun dan editor buku 79 Kisah di Balik Liputan Istana Era Soeharto sampai Jokowi. Di era Gus Dur-lah memang perubahan besar terjadi, mulai dari protokoler hingga berbusana serta tamu-tamu yang menemuinya. Karena tamu-tamu Gus Dur kadang tak cuma bersarung saja, tetapi juga mengenakan sendal jepit.
Mengapa 79 kisah? Karena tahun ini Indonesia merdeka yang ke-79. Kita buatlah 79 kisah dan buku ini hadiah untuk Indonesia.
Tingka mengaku buku ini awalnya lahir dari gagasan dan obrolan ringan para wartawan yang pernah bertugas di Istana Kepresiden. Kisah-kisah yang tak pernah terungkap sebagai laporan jurnalistik itu menjadi menarik untuk disampaikan dan dituliskan menjadi sebuah buku. Sebanyak 49 wartawan berkontribusi dalam menyelesaikan buku ini.
”Mengapa 79 kisah? Karena tahun ini Indonesia merdeka yang ke-79. Kita buatlah 79 kisah dan buku ini hadiah untuk Indonesia,” tutur Tingka.
Elvy Yusanti, salah satu penyusun buku itu, juga menyampaikan, penulisan buku bukan tanpa kendala. Para penulis itu sering kali lupa setiap peristiwa unik yang dialami. Menurut Elvy, ingatan para wartawan istana itu sering kali hanya sepotong-potong sehingga harus digali kembali oleh tim untuk menjadi cerita yang utuh. Walaupun demikian, buku ini akhirnya selesai dan akan diterbitkan pada April 2024 oleh Penerbit Buku Kompas.
”Mengumpulkan 79 cerita dari para wartawan ternyata tidak mudah, sampai last minute deadline masih ada yang baru setor,” ujar Elvy.
Catatan sejarah
Direktur Lembaga Kajian Strategi Hang Lekir Joseph Osdar menambahkan, kisah-kisah yang dituliskan wartawan yang pernah bertugas di Istana Kepresidenan dapat menjadi catatan sejarah yang melengkapi referensi saat ini. Sebab, banyak peristiwa yang tidak bisa diungkapkan oleh jurnalis, tetapi peristiwa masih tersimpan dalam memori dan pengalaman hidup mereka masing-masing.
”Kisah-kisah yang dituliskan itu juga memberi gambaran dari sisi-sisi lain seorang presiden dan lingkungan yang melingkupinya,” ujar Osdar yang juga mantan wartawan harian Kompas dan pernah bertugas di Istana Kepresidenan.
Menurut Maria Hartiningsih, mantan wartawan harian Kompas, ada sisi lain dari para wartawan istana, yakni penuh hipokrit atau berpura-pura. Istana Kepresidenan juga dianggap sebagai tempat sakral yang tak bisa disentuh oleh rakyat yang berada di luar istana.
”Istana sebenarnya itu tempat bernegosiasi dan berpolitik yang mengatasnamakan rakyat. Istana juga dunia yang penuh kepalsuan meski di balik itu ada senyuman. Sebab itu, tak semua wartawan bisa bertugas di Istana Kepresidenan. Dan, saya tidak punya kapasitas dan kemampuan jadi wartawan istana itu,” ujar Maria.
Istana sebenarnya itu tempat bernegosiasi dan berpolitik yang mengatasnamakan rakyat. Istana juga dunia yang penuh kepalsuan meski di balik itu ada senyuman.
Karena itu, lanjut Maria, wartawan istana merupakan saksi yang paling dekat atas berbagai hal yang berubah atau tidak berubah di Istana Kepresidenan. Mereka juga menyimpan banyak pengalaman yang tersimpan dari setiap peristiwa, seperti pergantian kekuasaan, yang ternyata menarik dan unik, tetapi justru tidak diungkapkan dalam laporan karya jurnalistik.
Tentu, bagi yang ingin mengetahui lebih lengkap keseruan cerita dan pengalaman para wartawan istana yang pernah bertugas mulai era Soeharto hingga Jokowi, bisa membacanya dalam buku 79 Kisah di Balik Liputan Istana Era Soeharto sampai Jokowi yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas.
Buku ini juga disertai sambutan dari Presiden Jokowi di awal buku serta beberapa foto dokumentasi dari Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI), Sekretariat Presiden, Kementerian Sekretariat Negara. Sayang, tidak ada wartawan di masa pemerintahan Presiden Soekarno yang masih hidup dan bisa menuangkan kisah liputannya selama kepemimpinan Presiden Pertama Republik Indonesia itu dalam buku ini. Selamat menikmati!