Tak Cukup 14 Hari Tangani Sengketa Pilpres, Hakim Perlu Buat Terobosan
MK punya waktu 14 hari tangani perkara sengketa hasil pemilihan umum. Durasi waktu itu tak bisa menguak semua masalah.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi sering kali menjadi ”keranjang sampah” bagi persoalan-persoalan yang muncul dalam tahapan ataupun proses pemilu presiden. Berbagai permasalahan yang tidak terselesaikan secara tuntas dan memuaskan oleh penyelenggara pemilu sering kali dibawa ke MK saat para pihak mengajukan perkara perselisihan hasil pemilihan umum.
Menjadi permasalahan karena MK hanya memiliki waktu 14 hari untuk menangani perkara perselisihan hasil pemilihan umum. Durasi waktu tersebut dinilai tidak ideal untuk dapat menguak berbagai permasalahan seputar pemilihan yang diajukan para calon presiden ataupun calon wakil presiden.
”Oleh karena itu, bola itu ada di MK. MK perlu untuk melakukan terobosan dan progresivitas sejauh masih dalam rambu-rambu konstitusi dalam rangka mencapai tujuan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), yaitu memastikan konstitusionalitas pemilu. Mestinya 14 hari itu tidak menjadi batasan dalam membuat putusan,” kata Titi Anggraini, Kamis (7/3/2024).
Hal tersebut, menurut dia, dimungkinkan sebab MK sebenarnya sudah melakukan banyak terobosan hukum dalam upaya untuk menghadirkan praktik pemilihan yang esensial yang sesuai dengan kehendak dan nilai-nilai konstitusi. Misalnya, dalam penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah, MK menunda keberlakuan ketentuan tentang ambang batas selisih suara.
MK perlu untuk melakukan terobosan dan progresivitas sejauh masih dalam rambu-rambu konstitusi dalam rangka mencapai tujuan PHPU, yaitu memastikan konstitusionalitas pemilu.
Bisa disimpangi
Seperti diketahui, Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur, peserta pilkada yang dapat mengajukan sengketa hasil ke MK adalah yang berselisih suara berkisar 0,5-2 persen berdasarkan suara sah hasil rekapitulasi dengan pasangan calon yang meraih suara terbanyak.
”Ambang batas selisih suara bisa disimpangi ketika MK menemukan adanya problem dalam penetapan hasil ketika MK menemukan ada problem di dalam penetapan hasil. Dan, bukan tidak mungkin (ketentuan) 14 hari itu menghambat MK di dalam menggali esensi praktik pemilu konstitusional dalam upaya memastikan bahwa memang pemilu sesuai dengan prinsip dan asas di dalam konstitusi kita,” ujar Titi.
Hanya saja, apabila MK akan menyimpangi ketentuan batas waktu 14 hari tersebut, Titi mengingatkan agar MK membuat argumentasi hukum atau ratio decidendi yang kokoh dengan mengungkapkan fakta-fakta hukum yang menggiring MK akhirnya sampai pada konklusi tersebut. Publik akan dapat menerima hal tersebut apabila MK dapat menghadirkan argumentasi yang kokoh bahwa memang itu harus dilakukan untuk tujuan konstitusionalitas dalam membuat putusan.
”Jadi, saya kira semuanya bergantung pada sejauh apa MK mampu menghadirkan persidangan yang transparan dan akuntabel, melakukan pemeriksaan dalam proses pembuktian yang proporsional dan profesional, serta berimbang sehingga masyarakat mampu memahami seluruh prosesnya. Dan, ketika MK sampai pada konklusi itu masyarakat bisa teryakinkan bahwa itu pilihan yang tepat dalam melakukan kewenangan MK,” ujar Titi.
Idealnya, waktu penyelesaian sengketa pilpres disetarakan dengan sengketa pemilu legislatif, yaitu 30 hari. Beda lagi dengan masa penyelesaian sengketa selama 45 hari kerja karena dinilai perlunya ada pendalaman sehingga kasus-kasus pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif banyak terbukti dalam perkara sengketa pilkada. Hal itu, misalnya, Pilkada Konawe Selatan, Pilkada Kotawaringin Barat, Pilkada Mandailing Natal, dan Bukittinggi.
”Pilpres itu dapilnya nasional dan luar negeri, hanya diberi waktu 14 hari. Dari situ saja terlihat bahwa itu adalah kebijakan hukum yang tidak logis. Padahal, open legal policy harus rasional berkeadilan dan juga memberikan kepastian hukum,” tambahnya.
Janji optimal
Sementara itu, Ketua MK Suhartoyo berjanji untuk optimal dalam memanfaatkan waktu 14 hari tersebut. Selama ini, menurut catatan Kompas, singkatnya waktu penanganan sengketa hasil pilpres tersebut membuat para pihak dalam membuktikan dalil-dalil gugatan sangat terbatas. Pada sengketa Pemilu Presiden 2019, misalnya, dengan batas waktu 14 hari itu, MK hanya bisa mengundang 15 saksi yang dapat didengarkan keterangannya di persidangan.
Hakim MK tidak boleh aktif untuk menghadirkan pihak-pihak yang ingin didengarkan keterangannya di persidangan. Hakim hanya bersikap pasif.
Hingga kini MK terus mempersiapkan diri untuk menghadapi sengketa pemilu, baik pilpres maupun pileg. Untuk mengantisipasinya, MK telah membagi 600 pegawai MK ke dalam gugus-gugus tugas penanganan perkara.
Menurut Suhartoyo, dalam menangani sengketa pemilu, hakim MK tidak boleh aktif untuk menghadirkan pihak-pihak yang ingin didengarkan keterangannya di persidangan. Hakim hanya bersikap pasif.
”Kalau nanti ada sengketa (paslon) nomor 1 dengan nomor 2 saja, atau nomor 2 dengan nomor 3, dan hakim berinisiatif lebih dari apa yang disampaikan oleh para pihak di persidangan, hal itu sudah dianggap melebihi. Itu nantinya hakim bisa dikatakan berpihak dalam pengadilan,” katanya lagi.
Sikap proaktif untuk memanggil pihak-pihak tertentu (baik saksi maupun ahli), disebutkan Suhartoyo, tetap tidak bisa dilakukan dengan alasan apa pun, termasuk dalam upaya untuk mencari keadilan yang substansif. Sebab, menurut Suhartoyo, baik keadilan substantif maupun keadilan prosedural hanya soal hukum acara.
”Tapi, pertanyaannya tadi apakah boleh hakim mengadili dalam perkara pileg dan pilpres nanti bisa aktif memanggil pihak ahli ke persidangan, saya tegaskan tidak bisa. Jadi, semua itu harus dibawa ke persidangan, dibuktikan oleh para pihak. Tidak boleh hakim itu cawe-cawe, harus begini, harus begini. Tidak boleh,” ujar Suhartoyo.
Kondisi ini berbeda ketika MK menangani perkara uji materi atau judicial review sebuah norma di dalam undang-undang. Sebab, norma UU sudah menjadi milik publik.