Tabulasi Suara di Sirekap Hilang, Publik Semakin Sulit Mengawal Suara
KPU meniadakan tampilan tabulasi suara capres-cawapres, parpol, dan caleg di Sirekap sehingga menuai kecurigaan publik.
JAKARTA, KOMPAS - Sejak Selasa (5/3/2024) malam, Komisi Pemilihan Umum memperbarui tampilan laman Sistem Informasi Rekapitulasi atau Sirekap. Tabulasi perolehan suara pasangan calon presiden-calon wakil presiden, partai politik, dan calon anggota legislatif ditiadakan.
Kondisi itu membuat publik semakin sulit mengawal suara hasil Pemilu 2024. Potensi manipulasi juga meningkat karena masyarakat tidak memiliki data pembanding rekapitulasi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam tampilan Sirekap yang baru, publik hanya diberikan menu akses formulir C Hasil yang bisa ditelusuri berdasarkan wilayah pemilihan mulai tingkat provinsi. Sirekap tetap memuat unggahan formulir C Hasil dari tempat pemungutan suara (TPS). Namun, publik harus mencari satu per satu TPS yang dituju untuk bisa mengakses foto formulir C Hasil.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik, Rabu (6/3), mengatakan, perubahan tampilan laman Sirekap semata untuk memberikan informasi yang akurat dan tak menimbulkan polemik. Sebab, dalam beberapa hari terakhir, Sirekap memicu polemik di masyarakat karena kesalahan konversi sehingga mengakibatkan data anomali di sebagian TPS.
Baca juga: Di Balik ”Dapur” Rekapitulasi PPP dan PSI
Secara terpisah, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengatakan, dihilangkannya tabulasi rekapitulasi suara dalam Sirekap tidak menyelesaikan kegaduhan di masyarakat. KPU seharusnya cukup memperbaiki data anomali tersebut sehingga data yang ditampilkan di Sirekap lebih akurat.
Informasi mengenai tabulasi rekapitulasi suara, lanjut Fadli, sangat penting bagi publik. Melalui fitur itu, dengan cepat dan mudah bisa dibandingkan rekapitulasi perolehan suara capres- cawapres, parpol, dan caleg dengan hasil hitung cepat sejumlah lembaga. Publik juga bisa melihat pergerakan perolehan suara dari waktu ke waktu.
Dihilangkannya informasi tabulasi suara justru membuat pengawasan publik kian sulit. Publik tak lagi memiliki data pembanding untuk mengawal rekapitulasi suara. Jika harus merekapitulasi suara satu per satu dari data formulir C Hasil, akan lebih sulit dan memakan waktu. Akibatnya, potensi manipulasi suara meningkat.
”Dihapusnya tabulasi rekapitulasi suara kian menguatkan dugaan kecurigaan publik atas ketidakjujuran dan ketidakprofesionalan KPU,” ucap Fadli.
Baca juga: Anggota DPR Sibuk Kawal Suara, Usulan Hak Angket Tak Kunjung Digulirkan
Berkaca dari dugaan penggelembungan suara Partai Solidaritas Indonesia, Fadli melanjutkan, publik bisa menemukan kejanggalan lonjakan suara partai itu ketika tabulasi rekapitulasi di Sirekap masih dibuka. Data di Sirekap bertambah secara tidak wajar sehingga memancing publik menelusurinya. Sejumlah kejanggalan perbedaan data antara formulir C Hasil dan tabulasi di Sirekap pun terkuak.
Spekulasi publik
Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menyampaikan, Sirekap, khususnya tabulasi capres-cawapres, parpol, dan caleg, sangat membantu publik yang masih dalam jeda masa tunggu hasil pemilu yang baru ditetapkan KPU paling lambat pada 20 Maret 2024.
Ketika tabulasi dihilangkan, justru bisa menguatkan spekulasi bahwa tindakan itu untuk menutupi hal-hal tertentu. ”Tindakan yang dilakukan KPU justru malah menimbulkan makin kuatnya spekulasi terhadap adanya hal-hal yang ditutupi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Titi menilai penutupan tabulasi Sirekap merupakan langkah mundur dalam hal transparansi publik. Padahal, sebelumnya KPU sudah menunjukkan langkah perbaikan. ”Pemilu 2024 ini KPU menggunakan Sirekap yang diharapkan secara gradual menjadi teknologi rekapitulasi di masa yang akan datang. Proses yang sudah berjalan ini kemudian ditutup,” katanya.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan, sejauh ini saran perbaikan dari Bawaslu hanya menghentikan sementara publikasi Sirekap untuk mengoreksi kesalahan pembacaan data hasil suara di tempat pemungutan suara (TPS) dan data anomali dalam Sirekap, bukan menghilangkan informasi tabulasi yang dibutuhkan untuk pengawasan publik.
”Jangan juga sistem yang sudah dibangun itu tidak menampilkan apa yang seharusnya ditampilkan. Sekarang, kan, sudah dihentikan. Pertanyaannya, berapa lama? Kenapa sistemnya tidak presisi? Itu sampai sekarang juga belum dijelaskan,” tutur Bagja.
Di sisi lain, Bagja mendorong KPU segera memublikasikan seluruh formulir C Hasil dari TPS dan D Hasil dari rekapitulasi tingkat kecamatan. Kedua dokumen itu dibutuhkan publik untuk mengawal kesesuaian data di TPS dengan data saat rekapitulasi suara berjenjang.
Baca juga: Tampilan Sirekap Berubah Semalam, KPU Bantah untuk Manipulasi dan Ubah Form C Hasil
Polemik
Idham Holik mengatakan, Sirekap hanya alat bantu dan alat publikasi rekapitulasi suara. Penetapan hasil pemilu yang resmi tetap mengacu pada rekapitulasi manual berjenjang.
Selain itu, Sirekap yang sejatinya alat untuk publikasi foto formulir C Hasil plano justru jarang diakses publik. Sebagian besar hanya melihat jumlah suara yang dikonversi sistem dan ditampilkan di diagram. ”Ketika hasil pembacaan teknologi Sirekap kurang akurat dan belum diakurasi operator, akan jadi polemik dalam ruang publik yang justru memunculkan prasangka,” ujar Idham.
Ia menegaskan, penghilangan tabulasi perolehan suara bukan untuk menyembunyikan sesuatu. Pihaknya juga menampik perubahan tampilan Sirekap untuk memanipulasi atau mengubah formulir C Hasil. Sebab, seluruh saksi parpol dan pengawas TPS mendapatkan salinan C Hasil yang sama dari TPS. Seluruh foto formulir C Hasil pun tetap bisa diakses publik di Sirekap.
KPU, kata Idham, terus mendorong jajarannya agar mempercepat pengunggahan foto formulir C Hasil dari TPS ataupun D Hasil dari rekapitulasi tingkat kecamatan. Sebab, saat ini proses rekapitulasi di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota telah berakhir dan mulai memasuki rekapitulasi di tingkat provinsi.