Mantan Ketua MK Sebut Angket DPR Bisa Jadi Momentum Berbenah
Penggunaan hak angket DPR untuk menguak kecurangan pemilu dinilai dapat menjadi momentum untuk berbenah.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana penggunaan hak angket untuk mengungkap praktik kecurangan Pemilu 2024 dinilai dapat menjadi momentum untuk membenahi berbagai hal, termasuk memodernisasi lembaga-lembaga politik serta membangun sistem etika bernegara. Selain itu, forum resmi DPR ini dapat dimanfaatkan untuk membangun kesadaran kolektif tentang arti penting pelaksanaan pemilihan umum yang jujur dan adil.
”Jadi, (angket) ini bisa untuk menyadarkan seluruh publik di republik ini bahwa pelanggaran yang terjadi di mana-mana ini tidak boleh dibiarkan. Harus diungkap, meskipun tidak bisa mengubah hasil pemilu,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mencermati perkembangan politik nasional terkait dorongan penggunaan hak angket kecurangan pemilu, Selasa (5/3/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Lebih lanjut Jimly pun menuturkan arti pengungkapan pelanggaran. ”(Meskipun tidak bisa mengubah hasil pemilu), pengungkapan ini membuka kesadaran kolektif kita tentang bahaya kecurangan pemilu, politik dinasti, dan etika pejabat publik,” ujar Jimly.
Seperti diketahui, dalam rapat paripurna pembukaan masa sidang DPR, sejumlah anggota parlemen mengusulkan perlunya penggunaan hak penyelidikan DPR atau angket. Hak angket diusulkan digunakan untuk menguraikan dugaan kecurangan pemilu, pemberian bantuan sosial secara masif menjelang pelaksanaan pemungutan suara, dan lainnya.
Menurut Jimly, pengungkapan kecurangan pemilu tersebut dapat menjadi bahan untuk perbaikan ke depan. ”Asal, bisa rekonsiliasi dan memperbaiki sistem bernegara, sistem elektoral ke depan,” tambahnya.
Selain itu, penggunaan hak angket akan membuat para pejabat dan penyelenggara negara lainnya lebih berhati-hati. Jimly pun menilai ada dampak positif dari penggunaan angket tersebut, yakni untuk mengungkap kecurangan pemilu. Sebab, ujung dari angket DPR itu adalah penegakan hukum melalui penanganan perkara pidana di Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu).
(Meskipun tidak bisa mengubah hasil pemilu), pengungkapan ini membuka kesadaran kolektif kita tentang bahaya kecurangan pemilu, politik dinasti, dan etika pejabat publik.
Hingga saat ini, sejumlah partai seperti Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masih menunggu langkah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) untuk menginisiasi penggunaan hak angket.
Politikus Partai Nasdem, Taufik Basari, pun menjawab saat dikonfirmasi mengapa harus menunggu PDI-P dan tidak maju sebagai inisiator terlebih dulu. ”Kami siap saja jadi inisiatornya. Tetapi, karena pencetus awalnya PDI-P, kami menghormati hal itu. Selain juga PDI-P memiliki jumlah kursi paling besar di antara yang lain.”
Jimly mengingatkan, sebenarnya partai politik tak perlu terlalu khawatir dengan penggunaan hak angket ini dan jangan kemudian ”nggembos” karena transaksional. Sebab, pemerintahan di masa mendatang membutuhkan dukungan dari partai-partai di DPR, terutama yang memiliki suara besar seperti Nasdem, PKB, dan PDI-P.
”Jadi, jual mahal atau jual murah saja pasti akan didekati. Pasti akan dibutuhkan. Kalau PKB dan Nasdem tidak usah jual mahal pun harganya sudah mahal. Saya, sih, optimistis melihat ke depan karena peristiwa ini akan menyadarkan semua orang bahwa kita butuh perbaikan ke depan,” kata Jimly.
Bukan ranah angket
Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Negeri Surakarta, Agus Riewanto, menilai hak angket tidak dapat digunakan untuk menyelidiki kecurangan pemilu. Sebab, kecurangan pemilu merupakan ranah hukum yang seharusnya disalurkan melalui penegakan hukum, baik melalui Badan Pengawas Pemilu, pidana pemilu melalui Sentra Gakkumdu, maupun Mahkamah Konstitusi.
”Kalau menguak kecurangan pemilu, itu levelnya harus mempersoalkan pemilu. Penyelenggara pemilu adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum), bukan pemerintah. Padahal, hak angket itu tidak boleh menyangkut soal-soal pemilu. Itu bukan ranah angket,” kata Agus sembari menambahkan bahwa panitia angket tidak bisa memanggil KPU.
Agus mencontohkan penggunaan angket DPR untuk mempersoalkan kekacauan daftar pemilih tetap (DPT) dalam Pemilu 2009. Saat itu, DPR tidak memanggil KPU, tetapi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Hal ini karena Kemendagri menangani data kependudukan yang dijadikan dasar untuk menyusun DPT. Persoalan DPT akhirnya berakhir ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan KTP ataupun paspor dapat digunakan untuk memilih.
Kalau menguak kecurangan pemilu, itu levelnya harus mempersoalkan pemilu. Penyelenggara pemilu adalah KPU, bukan pemerintah. Padahal, hak angket itu tidak boleh menyangkut soal-soal pemilu.
Menurut dia, angket berhenti untuk mengoreksi tindakan pemerintah, baik itu presiden, wakil presiden, maupun para menteri. Artinya, keduanya merupakan rezim yang berbeda.
Hal ini juga sesuai dengan pengaturan di dalam UUD 1945, di mana pemerintah diatur di dalam Pasal 4, sedangkan penyelenggara pemilu diatur di dalam Pasal 22E Ayat (3). ”Sesuatu yang beda rezim,” tegas Agus.