Ihwal Ambang Batas Parlemen, PDI-P Ingatkan Pentingnya Efektivitas Sistem Presidensial
Ambang batas parlemen adalah instrumen demokrasi untuk efektivitas sistem presidensial dengan multipartai sederhana.
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan ambang batas parlemen harus dilihat secara komprehensif dan dikaitkan dengan penguatan sistem presidensial yang dianut dalam sistem pemerintahan Indonesia. Penghapusan ambang batas parlemen dikhawatirkan akan menyulitkan penyederhanaan dan pelembagaan partai politik. Di sisi lain, ambang batas yang terlalu tinggi justru bakal mereduksi aspirasi masyarakat karena partai yang lolos belum tentu mewakili kepentingan banyak orang.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto saat dihubungi di Jakarta, Minggu (3/3/024) malam, mengatakan, penerapan ambang batas parlemen perlu dikaitkan dengan sistem pemerintahan. Dalam sistem presidensial dan terdapat multipartai seperti di Indonesia, penerapan ambang batas diperlukan sebagai bagian dari agenda konsolidasi demokrasi.
”Jadi, ambang batas parlemen adalah instrumen konsolidasi demokrasi bagi terciptanya sistem presidensial yang efektif dengan padanan multipartai sederhana,” ujar Hasto.
Baca juga: MK Hapus Ambang Batas Parlemen 4 Persen, tapi Tak Berlaku di Pemilu 2024
Hasto melanjutkan, jumlah partai di parlemen ikut menentukan efektivitas pemerintahan. Untuk itu, konsolidasi demokrasi melalui cara-cara yang demokratis harus dilakukan, yakni dengan penerapan ambang batas parlemen secara bertahap naik. Melalui penerapan ambang batas itu, diyakini akan tercipta jumlah partai ideal yang sehingga efektivitas pemerintahan berjalan.
”Ambang batas parlemen harus dilihat secara komprehensif antara sistem pemerintahan presidensial, sistem demokrasi, dan konsolidasi demokrasi,” kata Hasto.
Dalam berbagai kajian, menurut Hasto, total 5-7 parpol di DPR sudah cukup ideal. Karena itu, penerapan ambang batas parlemen jangan hanya dilihat dari adanya suara rakyat yang hilang, tetapi juga dimaknai sebagai instrumen yang demokratis melalui pemilu sebagai pelaksanaan konsolidasi demokrasi.
Agar partai dapat memenuhi fungsinya di parlemen, kata Hasto, setidaknya partai harus menempatkan semua wakilnya di komisi dan badan-badan di DPR. Jumlah minimum kursi yang harus dipenuhi ini telah diterapkan pada awal ketika ambang batas ditetapkan.
Ambang batas parlemen harus dilihat secara komprehensif antara sistem pemerintahan presidensial, sistem demokrasi, dan konsolidasi demokrasi. (Hasto Kristiyanto)
Untuk itu, seharusnya konsolidasi demokrasi terus dilanjutkan dengan menaikkan secara bertahap ambang batas parlemen hingga penyederhanaan partai secara demokratis mencapai jumlah ideal. Jika partai tidak lolos ambang batas parlemen, artinya hal itu harus dipandang sebagai strategi atau konsolidasi partai yang tidak tepat. Alhasil, partai tersebut tidak mendapatkan dukungan rakyat secara maksimum untuk bisa melalui ambang batas parlemen.
”Toh, enam kali pemilu sudah menjadi pelajaran yang berharga dan rakyat sudah menunjukkan pilihannya terhadap partai-partai mana yang mampu mendapatkan dukungan riil melalui pemilu,” kata Hasto.
Hasto berpendapat, kini saatnya kualitas demokrasi semakin didorong melalui penguatan pelembagaan partai sehingga semua fungsi parpol dapat berjalan dengan baik. Ambang batas parlemen, menurut dia, juga menjadi instrumen capaian konsolidasi partai yang diuji melalui pemilu.
”Sikap PDI Perjuangan adalah meluruskan bahwa penerapan ambang batas parlemen tidak bisa diukur dari suara rakyat yang hilang akibat adanya partai yang tidak lolos ambang batas parlemen. Suara rakyat tidak hilang, karena pemilu itu instrumen,” kata Hasto.
Tidak asal membuat partai
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Nasdem Jawa Barat Saan Mustopa sependapat dengan Hasto. Agar sistem presidensial tidak terganggu, parlemen juga harus mencerminkan sistem pemerintahan yang presidensial. Tidak mungkin sistem presidensial akan efektif jika parlemennya masih multipartai ekstrem.
”Maka, kan, harus kita coba setarakan antara sistem pemerintahan dan sistem yang ada di parlemen. Jadi, jangan sampai kita menganut sistem pemerintahan presidensial, tetapi parlemennya rasa parlementer. Sehingga pemerintah kadang mengalami kesulitan ketika harus berhadapan dengan parlemen karena begitu banyaknya partai di parlemen,” tutur Saan.
Baca juga: 15,6 Juta Suara Bakal ”Terbuang”, Pemilih Terpaksa Berpaling ke Partai Lain
Karena itu, menurut Saan, upaya menyederhanakan partai dibutuhkan untuk memperkuat sistem presidensial. Salah satu upaya mengaturnya adalah melalui penerapan ambang batas parlemen. Bisa pula dengan cara mempersempit daerah pemilihan (dapil).
”Nah, baik ambang batas parlemen maupun menata dapil, itu, kan, muaranya memperkuat sistem presidensial. Supaya pelan-pelan partai kita menjadi lebih sederhana yang menopang sistem pemerintahan presidensial,” ucap Saan.
Besaran ambang batas parlemen yang ideal juga perlu dipikirkan karena ini menunjukkan representasi masyarakat di parlemen. Penerapan ambang batas ini nantinya juga berkaitan dengan efektivitas negosiasi di parlemen. ”Makanya, kalau terlalu banyak fraksi partai, kan, negosiasi jadi alot,” ujarnya.
Sependapat dengan Hasto, penerapan ambang batas parlemen ini juga mendorong orang tidak asal membuat partai. Melalui penerapan ambang batas, sejauh mana kualitas pelembagaan partai akan diuji.
”Jadi, jangan terlalu mudah juga orang bikin partai, yang penting lolos, walau cuma dua kursi. Jadi, pelembagaan partai penting, keseriusan membuat partai juga penting,” ucap Saan.
Partai lebih profesional
Peneliti senior di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, berpandangan, sebenarnya prinsip sistem presidensial itu adalah pemisahan kekuasaan (separation of power), bukan penyebaran kekuasaan (diffusion of power). Karena itu, apa pun yang terjadi di parlemen tidak terlalu mengganggu sistem presidensial.
Hanya, lanjut Firman, memang konfigurasi di parlemen lebih kompleks jika terdapat lebih banyak partai di dalamnya. Jika konfigurasi partai cenderung untuk oposisi terhadap presiden, maka sebetulnya ini membuat presiden akan bekerja lebih keras.
”Dan saya kira itu tetap bagus karena semangat checks and balances lebih terlihat. Sehingga nantinya ada kontrol terhadap penguasa dan membuat kebijakan itu lebih serius disusun dan lebih komprehensif ketika dibaca,” ujarnya.
Toh, jika terjadi kebuntuan dalam pengambilan keputusan, sejauh itu didasari pada alasan yang baik dan rasional, lanjut Firman, hal itu tidak menjadi masalah. Konfigurasi yang lebih condong pada penguasa juga tidak ada masalah sama sekali.
Firman menilai, penerapan ambang batas parlemen harus dilihat sebagai upaya memaksa partai untuk bekerja lebih keras lagi di tengah masyarakat. Jika terlalu rendah, ambang batas parlemen akan berdampak pada kualitas partai.
”Karena, kan, partai yang ada itu harusnya memang berkualitas, bukan partai yang medioker atau abal-abal. Jadi, perlu ada seleksi pelembagaan dari negara, pemerintah. Kalau mereka tidak terpilih, ini akan mendorong partai untuk lebih eksis di tengah masyarakat. Di sisi lain juga harus lebih lengkap kepengurusannya di seluruh Indonesia. Jadi, tata kelola partai harus baik,” paparnya.
Penerapan ambang batas parlemen harus dilihat sebagai upaya memaksa partai untuk bekerja lebih keras lagi di tengah masyarakat. Jika terlalu rendah, ambang batas parlemen ini akan berdampak pada kualitas partai. (Firman Noor)
Hal semacam itu, menurut dia, harus didorong. Sebab, khawatirnya, jika ambang batas dihapus, jumlah kursi yang diperoleh suatu partai tidak seberapa. Ini tidak sebanding dengan jumlah komisi di parlemen. Akibatnya, kerja mereka tidak maksimal.
”Jadi, kita perlu mendorong partai bisa lebih profesional. Jadi, enggak seenaknya. Khawatirnya, sudah bikin partai, mereka bekerja seadanya, 1-2 kursi cukup dan tinggal menunggu ditawar. Lalu ke mana kedaulatan rakyatnya? Kan, omong kosong juga,” kata Firman.
Namun, ia juga tidak setuju dengan penerapan ambang batas parlemen yang terlalu tinggi. Sebab, itu akan membuat gambaran riil bahwa aspirasi masyarakat akan tereduksi. Lagi pula, belum tentu partai yang ada mewakili kepentingan banyak orang. Ini justru akan menciptakan kemenangan bagi 3-4 partai saja.
”Ini, kan, repot. Kalau misal 3-4 partai, itu gampang sekali dilobi untuk selalu bersama menjadi penguasa tunggal, seperti Orde Baru lagi khawatirnya,” imbuhnya.
Karena itu, ia melihat ambang batas parlemen sebesar 4 persen sudah cukup dan sesuai dengan pilihan rakyat selama 15 tahun ini. Kisaran jumlah partai di parlemen juga sudah cukup, yakni 8-9 partai.
Baca juga: MK Nilai Angka 4 Persen Inkonstitusional, Berapa Ambang Batas Parlemen Ideal?
”Itu sudah cukup. Kalau boleh disebut sebagai ideologi partai, itu sudah cukup mewakili aliran-aliran yang ada di Indonesia. Dan, di level lokal pun sudah cukup mewakili 8-9 partai itu,” tutur Firman.