Rapim TNI AU, Indonesia Belum Siap kalau Pecah Perang di Indo-Pasifik
Indonesia dinilai belum siap apabila perang di kawasan Indo-Pasifik berkecamuk. Ke depan, Indonesia mesti siap.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rapat pimpinan TNI Angkatan Udara membahas seputar kesiapan negara saat merespons ancaman perang. Hal itu mencakup aspek alat utama sistem senjata, sumber daya manusia, serta kemandirian industri pertahanan. Beberapa kendala yang masih menerpa pertahanan udara RI adalah kemampuan operasional dan interoperabilitas.
Rapat diikuti mulai dari pejabat utama hingga kepala satuan kerja di TNI Angkatan Udara (AU), seperti Kepala Staf TNI AU Marsekal Fadjar Prasetyo dan Panglima Komando Operasi Udara Nasional (Koopsudnas) Marsekal Madya Tedi Rizalihadi. Ada pula Wakil Menteri Pertahanan M Herindra, Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Marsekal (Purn) Gita Amperiawan, dan Direktur Utama PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) Adi Rahman Adiwoso.
Dalam paparannya, Herindra mengatakan, hubungan antarnegara bersifat anarkistis dan tidak ada penegak hukum kuat yang mengatur. Artinya, perang dapat muncul sewaktu-waktu selama negara yang punya kekuatan itu ada. Prosesnya bisa berlangsung secara cepat ataupun lama.
”Perang itu keniscayaan. Apakah kita sudah siap? Saya rasa belum. Tantangannya, saat ini di global itu terjadi kompetisi major powers. Apalagi, perang Rusia-Ukraina, konflik Gaza, yang masih ada, dan kita tidak tahu kapan selesainya,” ujar Herindra saat memaparkan materi dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI AU di Puri Ardhya Garini, Jakarta Timur, Kamis (29/2/2024).
Sementara itu, kondisi regional tengah dihadapkan pada potensi konflik Laut China Selatan, Semenanjung Korea, perang China dan Taiwan, serta pakta keamanan trilateral antara Australia, Britania Raya, dan Amerika Serikat (AS). Secara spesifik di kawasan Indo-Pasifik, kompetisi antarnegara adidaya bisa berujung pada sengketa wilayah dan konflik perbatasan.
Perang itu keniscayaan. Apakah kita sudah siap? Saya rasa belum.
Dalam ancaman perang Indo-Pasifik, Indonesia berpotensi terlibat karena berada pada wilayah strategis, yakni jalur laut negara yang memberi keuntungan besar. Kondisi itu juga terlihat dari posisi pangkalan militer yang mengepung dan titik panas perang dekat dengan perbatasan bagian utara RI.
”Indonesia itu politik bebas aktif, nonblok. Ada untungnya, yaitu semua kawan dan tidak ada musuh. Namun, RI tidak punya yang betul-betul menjadi kawan. Kalau lemah, kita akan jadi pecundang di kawasan,” ucapnya.
Selain itu, Herindra menyebut, RI harus memanfaatkan apa pun yang dimiliki saat ini ketika perang. Artinya, hanya alat utama sistem senjata (alutsista) yang tersedia bakal ikut perang. Adapun alutsista yang sifatnya akan tiba atau tidak operasional takkan terlibat.
Dalam konteks tersebut, Herindra mengungkit kunjungannya ke Makassar. Ada 16 pesawat tempur Sukhoi buatan Rusia yang ditempatkan di Skadron Udara 11 Pangkalan TNI AU (Lanud) Hasanuddin, Makassar. Walakin, pesawat yang operasional hanya setengah dari jumlah tersebut.
Selain kesiapan operasional, kemampuan interoperabilitas juga masih menjadi kendala pertahanan nasional. ”Interoperabilitas masih jadi masalah sejak dulu. Kita harus jujur, ini perbaikan terhadap diri sendiri. Radio di Mabes TNI saja, misalnya, masing-masing matra beda jenisnya,” ujar Herindra.
Meskipun begitu, Herindra memuji TNI AU yang sudah berusaha memaksimalkan kemampuan yang tersedia. Sebab, kekuatan militer udara RI juga bergantung pada kemampuan industri pertahanan. Angkatan perang bakal kuat apabila industri pertahanannya mandiri.
Ke depan, sumber daya manusia TNI AU harus terus ditingkatkan guna merespons perkembangan teknologi. Radar-radar deteksi juga bakal dilengkapi agar menutup seluruh wilayah Indonesia.
Teknologi militer
Kepala Staf TNI AU Marsekal Fadjar Prasetyo menyampaikan, rapat pimpinan TNI AU bertujuan untuk menyamakan persepsi dan cara pandang dalam bertugas. Dalam menjaga kedaulatan negara, pertahanan udara merupakan komponen terpenting. Hal itu tak bisa dicapai sendiri karena TNI AU perlu kolaborasi dengan elemen bangsa lainnya, seperti TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Fadjar juga menyinggung arahan Presiden Joko Widodo terkait perkembangan teknologi militer, khususnya pesawat nirawak atau drone. ”Selama dua dekade terakhir, drone telah bertransformasi menjadi kemampuan tempur yang sangat presisi dan mematikan. Konsekuensinya, prajurit dituntut untuk menjadi pembelajar yang aktif dan adaptif,” katanya.
Sejalan dengan itu, TNI AU sudah menginisiasi dan mengoperasikan pesawat tanpa awak sejak 2015. Sejumlah unitnya juga sudah berkontribusi dalam berbagai operasi gabungan TNI. Ke depan, TNI AU masih perlu dilengkapi dengan pesawat nirawak (UAV, unmanned aerial vehicle) dan pesawat tempur nirawak (UCAV, unmanned combat aerial vehicle) yang modern.
Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Agung Sasongkojati menambahkan, TNI AU akan menambah dua skuadron untuk mengoperasikan drone. Dengan demikian, total skuadron untuk pengoperasian pesawat nirawak menjadi empat skuadron.
Sementara terkait dengan kemampuan operasional, misalnya, pesawat Sukhoi di Lanud Hasanuddin, Makassar, berkaitan dengan logistik. Alutsista yang dimiliki RI memang sebaiknya tidak beragam sehingga mudah dalam perawatan.
”Jenis-jenis pesawat tertentu menggunakan supplier atau negara penghasil yang tidak bisa konsisten memberikan pelayanan. Kami perlu pastikan pesawat dan suku cadangnya betul-betul tidak mengganggu operasional,” tuturnya.
Tak hanya itu, kemampuan untuk merawat dan memelihara alutsista juga perlu disesuaikan. Apabila Indonesia tidak memiliki pengetahuan atau pengalaman, TNI AU bakal kesulitan mengoperasikan alutsista tersebut.