Putusan MK soal Ambang Batas Parlemen, Perindo: Mengapa Tak Langsung Berlaku di Pemilu 2024?
Partai Perindo menyinggung putusan MK soal syarat usia capres-cawapres yang langsung diterapkan di Pemilu 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Partai Perindo menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi soal ambang batas parlemen yang tidak langsung berlaku untuk Pemilu 2024. Putusan MK terbaru ini dibandingkan dengan putusan MK soal persyaratan usia calon presiden-calon wakil presiden yang langsung berlaku di Pemilu 2024.
Saat dihubungi, Kamis (29/2/2024), Sekretaris Jenderal Perindo Ahmad Rofiq menyambut gembira putusan MK yang meminta pembentuk undang-undang merevisi ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Menurut dia, ketentuan ambang batas parlemen itu menghanguskan suara rakyat ketika parpol tidak lolos ambang batas parlemen. Padahal, demokrasi di Indonesia mengatur dan menghargai suara rakyat. Satu suara menjadi penentu dan sama nilainya dalam demokrasi.
”Namun, kami menyayangkan, mengapa tidak diberlakukan langsung pada Pemilu 2024 ini? Mengapa harus diberlakukan di Pemilu 2029,” kata Rofiq.
Baca juga: MK Hapus Ambang Batas Parlemen 4 Persen, tapi Belum Berlaku di Pemilu 2024
Ia menambahkan, dalam berbagai putusan, terutama uji materi Undang-Undang Pemilu, MK kerap inkonsisten. Saat menguji Pasal 169 Huruf q UU Pemilu tentang syarat usia capres dan cawapres minimal 40 tahun, putusan bisa langsung diterapkan. Akibatnya, putusan itu menjadi karpet merah bagi anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi cawapres bagi capres Prabowo Subianto di Pemilihan Presiden 2024.
”Jadi, ada yang aneh terkait pembedaan dalam konteks pemberlakuan hukum yang menurut saya tidak seimbang. Kalau mau adil, penghapusan ambang batas parlemen ini juga bisa berlaku saat ini,” jelas Rofiq.
Baca juga: Putusan MK soal Ambang Batas Parlemen Tuai Pro dan Kontra
Menurut dia, putusan MK soal ambang batas parlemen itu seharusnya bisa langsung diterapkan karena sudah ada preseden terkait putusan MK soal syarat usia capres dan cawapres sebelumnya. Selain itu, jika putusan MK langsung berlaku, tak akan mengganggu tahapan pemilu karena proses rekapitulasi suara pemilu masih berlangsung saat ini. Proses rekapitulasi suara tersebut belum sampai pada tahapan konversi suara ke kursi DPR.
Sebelumnya diberitakan, MK menghapus ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional karena dinilai tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan pemilu serta melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi. Namun, penghapusan ambang batas parlemen 4 persen itu tidak berlaku untuk Pemilu 2024, melainkan Pemilu 2029.
Berbeda dengan Ahmad Rofiq, Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow menilai tepat sikap MK yang menyatakan penghapusan ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional tidak berlaku dalam Pemilu 2024 dan baru berlaku pada Pemilu 2029 dan sesudahnya. Menurut dia, klausul tersebut penting karena pemungutan suara Pemilu 2024 sudah selesai dan partai-partai politik, berikut para caleg, yang masuk parlemen sudah bisa diterka.
”Dengan demikian, tak lagi bisa digunakan untuk mengatakan bahwa putusan MK ini dibuat untuk memasukkan partai tertentu ke parlemen pusat,” ujarnya.
Namun, menurut Jeirry, yang lebih penting adalah klausul itu memberi jaminan adanya kepastian hukum, yaitu tidak boleh ada perubahan aturan di tengah tahapan pemilu yang sedang berlangsung, sebagaimana kontroversi putusan MK soal syarat capres/cawapres yang lalu.
Perintah ke pembentuk UU
Dalam sidang uji materi UU Pemilu di Gedung MK, Jakarta, Kamis, MK menyatakan ketentuan Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu yang mengatur ambang batas parlemen 4 persen masih konstitusional digunakan pada Pemilu 2024. Namun, ambang batas parlemen sebesar 4 persen itu tidak bisa lagi diberlakukan di Pemilu 2029. MK memerintahkan pembentuk UU mengubah ketentuan ambang batas parlemen itu melalui revisi UU Pemilu.
”Sebagai konsekuensi yuridisnya, norma Pasal 414 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 haruslah dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang masih tetap diberlakukan untuk hasil Pemilu DPR 2024 dan tidak diberlakukan untuk hasil Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya kecuali setelah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas dan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan perkara 116/PUU-XXI/2023 di Gedung MK.
MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang menyoal penerapan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional sebagai dasar untuk menentukan perolehan kursi di parlemen. Perludem menilai ketentuan ambang batas tersebut telah menyebabkan hilangnya suara rakyat atau besarnya suara pemilih yang tidak terkonversi menjadi kursi di DPR.
MK menyatakan ketentuan Pasal 414 Ayat (1) UU No 7/2017 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. MK sependapat dengan sejumlah dalil yang diajukan oleh Perludem.
Baca juga: Suara Terbuang Terpapas Ambang Batas Parlemen
Dalam pertimbangannya, Saldi Isra mengungkapkan, ambang batas parlemen perlu segera diubah dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh sejumlah hal, seperti didesain untuk digunakan secara berkelanjutan. Perubahan norma ambang batas parlemen, termasuk besaran angka atau persentase ambang batas, juga harus diputuskan dengan tetap menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional. Hal ini penting untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
Selain itu, menurut Saldi, perubahan ketentuan ambang batas tersebut juga harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan partai politik. Revisi sebaiknya juga dirampungkan sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029. ”Dan, perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR,” tutur Saldi.
Sementara itu, MK juga sepakat dengan dalil Perludem bahwa tata cara penentuan ambang batas parlemen dan besaran angka atau persentase ambang batas tidak berdasarkan pada metode dan argumen yang memadai. Namun, MK tidak dapat mengabulkan cara penghitungan ambang batas parlemen yang diajukan oleh Perludem. Sebab, MK berpandangan hal itu merupakan kebijakan pembentuk undang-undang untuk merumuskannya lebih lanjut, termasuk di dalamnya menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen.