Saat Penyedia Platform Layanan Digital UGC Bisa Dijerat UU jika Tak Berizin
Pengelola platform digital berbasis teknologi UGC tak bisa sembarangan. Mereka wajib pastikan tak langgar UU Hak Cipta.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
Pengelola platform digital berbasis teknologi UGC (user generated content) kini tak bisa sembarangan. Mereka wajib memastikan konten yang ditayangkan atau dimuat di dalam platform tersebut bukan konten yang melanggar ketentuan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Hak Cipta. Ancaman pidana dengan hukuman denda Rp 100 juta membayangi pengelola platform digital tersebut apabila hal tersebut dilanggar.
User Generated Content (UGC) adalah semua jenis konten mengenai suatu produk atau layanan yang dibuat oleh pengguna di platform online. Selama ini, UGC dikenal dalam bentuk teks, gambar, video, atau ulasan di suatu website.
Dengan keputusan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah mempertegas dan memperluas makna Pasal 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam putusan terbarunya. Putusan telah dibacakan Kamis (29/2/2024) kemarin dalam sidang terbuka yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Sebelumnya, permohonan uji materi tersebut diajukan oleh artis sekaligus pencipta lagu Melly Goeslaw, serta PT Aquarius Pustaka Musik dan PT Aquarius Musikindo. Pasalnya, selama ini, banyak pengelola UGC tanpa izin memanfaatkan konten lagu dan lainnya karya Melly Goeslaw yang diproduksi perusahaan rekaman tersebut oleh platform layanan digital berbasis UGC. PT Aquarius Pustaka Musik bahkan sempat menggugat aplikasi “Likee” karena menggunakan lagu-lagu yang hak ciptanya ada di bawah naungannya tanpa izin.
“Pasal 10 UU 28/2014 perlu dipertegas dan diperluas agar mampu menjangkau tata Kelola dan penyediaan teknologi pengaman untuk setiap platform layanan digital berbasis UGC, sehingga dapat mencegah pelanggaran hak cipta di Indonesia. Yakni, dengan mewajibkan pengelola platform digital berbasis teknologi/UGC untuk memastikan bahwa konten yang ditayangkan atau dimuat bukanlah konten yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan”
Alasan ekonomi dan dihargai
Dengan adanya putusan tersebut, maka konten yang memuat karya cipta dari seorang pencipta, haruslah memiliki izin dari pencipta atau pemegang hak cipta terkait. Dengan demikian, para pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait merasa dihargai dan terjaga ekonominya.
“Oleh karena itu, demi kepastian hukum yang adil perlu ditegaskan larangan yang terdapat dalam Pasal 10 UU 28/2014 juga termasuk tempat perdagangan dan/atau platform layanan digital berbasis UGC,” kata Arief.
Dengan adanya putusan ini, makna Pasal 10 UU Hak Cipta “Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya” berubah.
Demi kepastian hukum yang adil perlu ditegaskan larangan yang terdapat dalam Pasal 10 UU 28/2014 juga termasuk tempat perdagangan dan/atau platform layanan digital berbasis UGC.
Pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi apabila tidak dimaknai “Pengelola tempat perdagangan dan/atau Platform Layanan Digital berbasis User Generated Content/UGC dilarang membiarkan penjualan, penayangan, dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan dan/atau layanan digital yang dikelolanya.”
MK mempertahankan Pasal 114 UU Hak Cipta mengatur tentang ancaman pidana bagi pelanggaran terhadap Pasal 10 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta. Aparat penegak hukum terikat dan harus berlandaskan pada Pasal 10 UU Hak Cipta yang sudah dimaknai oleh MK jika akan menegakkan Pasal 114 UU yang sama.
Berlindung di Balik Aturan
“Penyelenggara Platform Layanan Digital itu dengan akal licik (piawai) membenturkan pencipta atau pemegang hak cipta dengan pengguna, yang notabene anggota Masyarakat yang pada umumnya kurang memahami hukum, padahal keberlanjutan suatu aplikasi sangat bergantung penggunanya”
Kasus ini bermula ketika para pemohon menemukan lagu-lagu yang diciptakan dan/atau dimiliki hak ciptanya dimanfaatkan oleh platform layanan digital berbasis UGC. PT Aquarius Pustaka Musik bahkan sempat menggugat aplikasi “Likee” karena menggunakan lagu-lagu yang hak ciptanya ada di bawah naungannya tanpa izin.
PT Aquarius Pustaka Musik menggugat perdata pengelola Platform Layanan Digital ‘Likee”, yaitu Bigo Technology Ltd, ke Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat. Namun, majelis hakim menolak gugatan PT Aquarius dengan alasan bahwa video-video UGC yang ditampilkan dalam aplikasi Likee berasal, dibuat, dan diunggah oleh pengguna aplikasi, bukan oleh Bigo. Dengan demikian Bigo tidak dapat dimintai pertanggung jawaban.
Pemohon mengungkapkan, beberapa penyedia/pengelola/pembangun Platform Layanan Digital telah menyadari bahwa ada kerentanan pelanggaran hak cipta sehingga mengajukan permintaan izin penggunaan lagu milik PT Aquarius untuk disediakan dalam perpustakaan suara (audio/sound library) di aplikasi mereka. Namun, beberapa pengelola platform layanan digital abai dengan hal itu dan sengaja berlindung di balik SE Kominfo 5/2016 tentang Batasan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Berbasis UGC.
“Penyelenggara Platform Layanan Digital itu dengan akal licik (piawai) membenturkan pencipta atau pemegang hak cipta dengan pengguna, yang notabene anggota Masyarakat yang pada umumnya kurang memahami hukum, padahal keberlanjutan suatu aplikasi sangat bergantung pada penggunanya,” ungkap pemohon dalam berkas permohonannya.
Kondisi semacam ini, menurut pemohon, tidak dapat terakomodasi di dalam UU Hak Cipta selama ini. Hal itu sebagai akibat pesatnya perkembangan teknologi. Disisi lain, hukum lamban dalam menyikapi fenomena-fenomena yang terjadi di dalam Masyarakat.