Ramai-ramai Caleg Klaim Kemenangan, Berapa ”Harga” Satu Kursi DPR?
Caleg ramai-ramai mengklaim diri telah lolos menjadi anggota DPR. Padahal, banyak syarat untuk bisa meraih kursi DPR.
Selebaran bertuliskan daftar nama calon anggota legislatif disertai ucapan selamat atas keberhasilannya lolos ke parlemen beredar luas di aplikasi percakapan Whatsapp, di tengah sengkarut Sistem Informasi Rekapitulasi atau Sirekap, beberapa hari terakhir. Deretan angka yang ditulis sebagai raihan suara disertakan dalam selebaran saat rekapitulasi suara manual yang menjadi dasar penetapan hasil pemilu, belum juga rampung.
Salah satu selebaran yang beredar berisi tujuh nama calon anggota legislatif (caleg) dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah VII. Ketujuh nama itu adalah Utut Adianto, caleg dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P); Taufik Abdullah (PKB); Aqib Ardiansyah (PAN); Darori Wonodipuro (Partai Gerindra); Amelia Anggraini (Partai Nasdem); Rofik Hananto (PKS); dan Bambang Soesatyo (Partai Golkar).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam selebaran digital itu juga tertulis, ”Anggota Terpilih DPR-RI Dapil Jawa Tengah VII (7 kursi) 2024-2029”. Terdapat pula informasi bahwa tujuh nama itu disebut lolos ke DPR versi rekapitulasi manual dari formulir C1 atau kini disebut C.Hasil. Pada Pemilu 2024, kursi DPR yang diperebutkan para caleg di Dapil Jateng VII ini memang berjumlah tujuh kursi.
Namun, tak lama berselang, muncul pula selebaran digital bergambar wajah Sunanto, caleg PDI-P dari Dapil Jateng VII. Melalui selebaran tersebut, mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah itu juga mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan masyarakat di Dapil Jateng VII.
”Terima kasih kepada masyarakat Kebumen, Purbalingga, dan Banjarnegara atas dukungan dan kepercayaannya untuk mewakili di DPR RI. Merdeka!,” demikian tulisan yang di dalam selebaran yang beredar di dunia maya tersebut.
Baca juga: Menakar Kontestasi Caleg di Dapil Jateng VII
Selebaran serupa dari caleg di daerah pemilihan lain juga banyak beredar di berbagai platform media sosial dan aplikasi percakapan. Tidak sedikit caleg yang sudah mengklaim lolos masuk lembaga legislatif.
Banyak caleg yang percaya diri bisa lolos ke Senayan karena merasa telah meraup suara tinggi. Kepercayaan diri itu salah satunya ditunjukkan oleh caleg PAN, Uya Kuya. Salah satu pesohor yang berkontestasi dari dapil DKI Jakarta II optimistis bisa mendapatkan satu kursi di DPR. Ini sekaligus membuat PAN kembali merebut kursi DPR dari Dapil DKI Jakarta II setelah terakhir kali diperoleh pada Pemilu 2004.
Merujuk hasil hitung cepat atau quick count sejumlah lembaga survei, raihan suara PAN berada di atas ambang batas parlemen 4 persen. Hasil hitung cepat Litbang Kompas, misalnya, memperkirakan PAN meraih 7,1 persen suara sah nasional.
Sementara itu, berdasarkan perolehan suara yang dihimpun dari Sirekap, hingga Kamis (22/2/2024), suara yang diraih PAN di Dapil DKI Jakarta II mencapai 90.673 atau sekitar 8,92 persen dari total suara sah yang masuk yang baru mencapai 57 persen. Adapun Uya menjadi caleg PAN di dapil itu yang meraih suara tertinggi, yakni 42.296 suara. Caleg PAN nomor urut 2 itu, bahkan, berada di posisi kedua caleg dengan suara terbanyak di Dapil DKI Jakarta II Setelah caleg PKS, Hidayat Nur Wahid, yang mengantongi 83.028 suara.
Meskipun data Sirekap bukan menjadi acuan penetapan hasil pemilu, publikasi penghitungan suara di laman https://pemilu2024.kpu.go.id/ tersebut sejalan dengan data yang dihimpun Uya. Kini, ia mengerahkan segenap tenaga untuk mengamankan suaranya yang berasal dari pemilih di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan luar negeri. Para penggemarnya juga ikut mengawal perolehan suara dari TPS hingga ke kecamatan dalam rekapitulasi berjenjang manual.
Baca juga: KPU Tetap Gunakan Sirekap
”Berdasarkan penghitungan internal, saya bisa mendapatkan kursi ke-5 atau ke-6 dari total tujuh kursi yang diperebutkan. Ini hasil dari kerja-kerja advokasi untuk pekerja migran selama bertahun-tahun dan kampanye selama setahun terakhir,” kata Uya saat dihubungi, Jumat (23/2/2024).
Boleh jadi para caleg ini mengklaim lolos parlemen karena merekap data raihan suara dari para saksi yang disebar ke tiap-tiap tempat pemungutan suara (TPS). Akan tetapi, rekapitulasi suara manual oleh Komisi Pemilihan Umum yang menjadi dasar untuk menentukan hasil pemilu, belum selesai dilangsungkan.
Rekapitulasi di tingkat kecamatan bahkan sempat terhenti di beberapa daerah pada Minggu-Senin lalu karena Sirekap yang bermasalah. Kendati rekapitulasi manual sudah kembali berjalan sejak Selasa, tak kurang dari 60 persen Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) belum menggelar rapat pleno rekapitulasi suara untuk tingkat kecamatan.
Baca juga: Rekapitulasi Suara di Kecamatan Dihentikan, Muncul Tudingan untuk Akali Suara
Proses rekapitulasi suara juga masih relatif panjang. Setelah rampung di kecamatan, lalu dilanjutkan dengan rekapitulasi di tingkat kabupaten/kota, kemudian rekapitulasi tingkat provinsi, baru berakhir di tingkat nasional oleh KPU pada 20 Maret mendatang. Selain itu, belum tentu caleg yang meraup suara tinggi bisa lolos masuk DPR.
Tiga tahap
Untuk bisa lolos, ada serangkaian syarat yang harus dipenuhi. Sebab, penentuan kursi anggota DPR bukan berdasarkan suara terbanyak seperti halnya anggota Dewan Perwakilan Daerah. Ada tiga tahap untuk menentukan seorang caleg bisa mendapatkan kursi di DPR.
Penentuan kursi dimulai dengan penghitungan raihan suara nasional partai politik peserta Pemilu 2024. Hanya partai-partai politik yang meraih suara minimal 4 persen dari total suara sah nasional yang akan dihitung perolehan kursi di DPR.
Mengapa 4 persen? Karena Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mensyaratkan ambang batas parlemen minimal 4 persen suara sah nasional.
Selanjutnya, konversi suara menjadi kursi menggunakan metode Sainte Lague untuk menentukan parpol yang mendapatkan kursi. Berdasarkan Pasal 415 Ayat (2) UU No 7/2017, penghitungan perolehan kursi DPR dimulai dengan penjumlahan suara sah setiap parpol yang lolos ambang batas parlemen 4 persen. Kemudian perolehan suara sah parpol itu dibagi dengan bilangan ganjil secara berturut-turut, dimulai dengan angka 1, 3, 5, 7, dan seterusnya. Penghitungan dilakukan dalam setiap dapil, bukan kumulatif secara nasional.
Simak juga: Cara Hitung Suara Parpol untuk Dapat Kursi di Pemilu 2024
Sebagai ilustrasi, pada perolehan suara Pemilu 2019 di dapil Jateng VII, ada sembilan parpol yang diikutkan dalam penentuan jumlah kursi karena lolos ambang batas parlemen. Dari hasil rekapitulasi, PDI-P mendapatkan 392.334 suara, PKB (248.836 suara), Golkar (186.370 suara), PKS (171.270 suara), Demokrat (154.740 suara), Gerindra (154.433 suara), Nasdem (121.889 suara), PPP (90.571 suara), dan PAN (7.770 suara).
Pada awalnya, perolehan suara sah tiap parpol dibagi 1, dibagi 3, dibagi 5, dan dibagi 7. Setelah hasil pembagian itu diurutkan dari angka terbesar, didapati nilai terbesar adalah 392.334 (PDI-P), lalu 248.836 (PKB), kemudian 186.370 (Golkar). Selanjutnya adalah 171.270 (PKS), lalu 153.740 (Demokrat), kemudian 154.433 (Gerindra). Keenam kursi tersebut diperoleh dari pembagian angka 1.
Untuk kursi ke-7, pembagian angka 1 pada Nasdem (121.889) yang urutannya di bawah Gerindra ternyata tidak lebih tinggi daripada nilai PDI-P yang angkanya dibagi 3, yakni 130.778. Dengan demikian, kursi ke-7 diberikan kepada PDI-P.
Terakhir, setelah seluruh kursi dibagi kepada parpol, maka dilakukan penentuan caleg yang berhak memperoleh kursi di DPR. Kursi tersebut diberikan secara urut kepada caleg dengan perolehan suara terbanyak di dapil tersebut. Hal ini disebabkan Indonesia menerapkan sistem proporsional daftar terbuka.
Suasana Pemilu 1955 di salah satu TPS di daerah Glodok, Jakarta Barat.
Sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2014, Indonesia selalu menggunakan metode Kuota, tepatnya Kuota Hare, untuk menghitung konversi suara menjadi kursi. Dalam metode ini, hal yang pertama dilakukan adalah menghitung bilangan pembagi pemilih (BPP) yang didapat dari pembagian jumlah suara sah di suatu dapil dengan jumlah kursi yang tersedia. Angka BPP ini bisa dibilang sebagai ”harga” untuk satu kursi di suatu dapil.
Pada tahap pertama, partai-partai politik yang meraih suara nasional setara atau lebih dari BPP otomatis mendapatkan satu kursi DPR. Jika masih ada kursi yang tersisa atau belum terbagi, kursi-kursi tersebut diberikan kepada partai politik yang memiliki sisa suara terbanyak setelah dikurangi BPP.
Meski sudah diterapkan dalam pemilu dari Orde Lama, Orde Baru, hingga awal Reformasi, banyak kalangan yang menginginkan metode penghitungan suara tersebut diubah. Wacana perubahan muncul menjelang Pemilu 2009. Banyak kalangan, terutama para pegiat pemilu, mengusulkan agar metode konversi suara diubah dari rumpun kuota ke rumpun divisor. Namun, usulan perubahan konversi menjadi divisor Sainte Lague, gagal. Pemilu 2009 pun tetap menggunakan Kuota Hare untuk menghitung raihan kursi dan menetapkan caleg terpilih.
Wacana serupa kembali muncul saat DPR mengubah UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Sebagian fraksi mengusulkan metode konversi suara diubah menjadi divisor Webster yang juga dikenal dengan Sainte Lague, sebagian lainnya ingin mempertahankan Kuota Hare. Kala itu, metode penghitungan suara menjadi satu dari empat materi krusial yang tak kunjung disepakati fraksi-fraksi DPR. Lobi-lobi antarpemimpin fraksi, bahkan antarpemimpin partai politik, tak kunjung membuahkan hasil.
Baca juga: Baliho Ridwan Kamil, Ahmad Sahroni, dan Spekulasi Kandidat Gubernur Jakarta
Bahkan, rapat paripurna untuk mengesahkan RUU perubahan UU No 10/2008 pada 11 April 2012 yang berlangsung hingga dini hari pun ditunda karena fraksi-fraksi berkukuh dengan sikap dan pandangan masing-masing. Rapat paripurna pengesahan RUU Pemilu dilanjutkan pada 12 April 2012 dan berhasil mengesahkannya menjadi UU. Namun, kesepakatan untuk empat isu krusial, termasuk metode konversi kursi, diambil melalui voting, bukan musyawarah mufakat. Lagi-lagi, usulan mengubah metode konversi suara gagal. Karena itu, pada Pemilu 2014, metode konversi suara masih tetap menggunakan kuota murni yang dikenal dengan Kuota Hare.
Barulah pada Pemilu 2019, metode konversi suara diubah menjadi Sainte Lague. Penggunaan metode itu diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 yang merupakan kodifikasi dan penyempurnaan dari UU yang mengatur tentang pemilu legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan kepala daerah, dan penyelenggara pemilu.
Ketimpangan
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, mengatakan, harga kursi atau jumlah perolehan suara untuk memperoleh kursi di suatu dapil dapat diketahui dengan cara melihat jumlah perolehan suara untuk kursi terakhir. Dalam hal ini, dapat melihat urutan tertinggi terakhir dari hasil pembagian bilangan ganjil. Dalam ilustrasi di dapil Jateng VII misalnya, harga satu kursi di dapil tersebut adalah 130.778 suara.
Namun, kajian Perludem menunjukkan, terjadi ketimpangan harga kursi cukup siginifkan dari 80 dapil di Pileg DPR 2019. Harga kursi tertinggi terdapat di dapil Jawa Timur XI yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Kursi terakhir dari delapan kursi di dapil tersebut diperoleh dengan perolehan 212.081 suara. Sementara harga kursi terendah ada di dapil Kalimantan Utara yang nilai kursi terakhirnya dari tiga kursi yang tersedia hanya memerlukan 37.616 suara.
Baca juga: Biaya Politik Caleg Hadapi Pemilu 2024 Membengkak
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menambahkan, perubahan metode konversi suara dari Kuota Hare menjadi Sainte Lague tidak terlalu berdampak besar pada perolehan kursi parpol apabila perbedaan perolehan suara tidak terlalu besar.
Menurut dia, Sainte Lague lebih mampu memberikan peluang perolehan kursi tambahan bagi partai dengan perolehan suara besar. Adapun Kuota Hare memberi peluang persebaran perolehan kursi bagi partai dengan suara lebih kecil.
”Sainte Lague lebih menguntungkan partai besar terutama di daerah pemilihan yang berkursi sedikit, antara 3 sampai 5 kursi di setiap dapil,” ujar Titi.
Lebih jauh, dalam kontestasi di sistem pemilu proporsional daftar terbuka dan metode konversi suara Sainte Lague, seluruh caleg mesti memenangkan partai agar bisa memperoleh kursi. Parpol harus memastikan seluruh caleg yang ada dalam daftar calon bekerja maksimal. Caleg nomor urut satu hingga nomor urut ”sepatu” harus bekerja sama agar perolehan suara sah parpol bisa mengantarkannya mendapatkan kursi.
Baca juga: Jalan Terjal Caleg Marjinal
Di sisi lain, caleg harus memastikan bisa mendapatkan suara terbanyak. Para caleg harus dipastikan memiliki komitmen memenangkan partai. Sebab, jika hanya memikirkan diri sendiri, sia-sia perolehan suara caleg karena bisa tidak kompetitif saat dikonversi menjadi kursi.
”Jika ingin mengamankan setidaknya satu kursi, partai harus menargetkan perolehan suara dua kali lipat atau minimal lebih besar dari harga kursi terakhir yang didapat parpol pada pemilu sebelumnya,” tutur Titi.