Indikasi Kecurangan Pemilu Jangan Dibiarkan, Bisa Terulang di Pilkada 2024
Dugaan kecurangan pemilu yang dibiarkan berpotensi pula menciptakan konflik sosial.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil mendesak dugaan kecurangan selama Pemilu 2024 diusut tuntas. Apabila dibiarkan, kecurangan bakal menjadi panduan dan seolah dinormalisasi saat Pemilihan Kepala Daerah Serentak Nasional 2024, November 2024. Selain itu, sentimen negatif yang muncul akibat dugaan kecurangan juga meningkatkan ketegangan sosial.
Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Yanuar Nugroho, berpandangan, masyarakat tidak boleh berhenti menyuarakan persoalan dugaan kecurangan pemilu. Ia menyinggung soal temuan sejumlah lembaga swadaya masyarakat pemantau Pemilu 2024 yang menemukan praktik-praktik dugaan kecurangan pemilu sebelum, saat, hingga sesudah pemilu berlangsung.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Tiga jangan. (Praktik kecurangan) Jangan dianggap normal, jangan dibiarkan, jangan diinstitusionalisasikan. Karena ini bisa jadi playbook atau panduan pilkada yang berlangsung nanti November,” ujarnya saat konferensi pers ”Kolaborasi Pemantau Pemilu 2024 ke-2” secara hibrida di Jakarta, Sabtu (24/2/2024).
Dugaan kecurangan-kecurangan yang terjadi saat pemilu dinilai memengaruhi kualitas penyelenggaraan dan legitimasi. Hal yang sama berpotensi berulang saat pilkada apabila dugaan kecurangan tidak ditindaklanjuti.
Menurut Yanuar, pengusutan harus berlangsung lintas sektor. Partai politik lewat penggunaan hak angket DPR, pasangan calon presiden/wakil presiden melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi, dan masyarakat perlu memastikan dugaan terus menjadi topik perbincangan.
”Yang terancam (lewat dugaan kecurangan pemilu) adalah ruang demokrasi. Bayangkan kualitas pilkada nanti seperti apa? Kecurangan ini bakal dijadikan panduan, bahkan strategi pemenangan yang sistematis,” tambahnya.
Tiga jangan. (Praktik kecurangan) jangan dianggap normal, jangan dibiarkan, jangan diinstitusionalisasikan. Karena ini bisa jadi playbook atau panduan pilkada yang berlangsung nanti September.
Founder Omong-Omong Media sekaligus sastrawan, Okky Puspa Madasari, juga mendesak agar dugaan kecurangan diungkap siapa pun pemenangnya. Indikasinya sudah terlihat sejak sebelum pemilu lewat langkah hukum legal tetapi salah secara etika.
Hal dimaksud merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat pencalonan presiden-wakil presiden sehingga seorang kepala daerah bisa maju dalam pemilihan presiden meski usianya di bawah 40 tahun. Putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, lolos melaju di Pilpres 2024 mendampingi capres Prabowo Subianto setelah lahirnya putusan itu. Meski demikian, putusan diwarnai pelanggaran kode etik.
Okky Usman melanjutkan, masyarakat kini dihadapkan pada strategi jangka panjang lewat pendidikan politik. Dalam jangka dekat, publik perlu mendorong agar wakil rakyat menjalankan fungsi pengawasan dengan penggunaan hak angket dan interpelasi.
”Mahasiswa juga sekarang ini terus turun ke jalan berusaha mengingatkan penguasa. Negara harus bisa menjamin penyaluran hak demokrasi tidak diwarnai kekerasan dan penggunaan senjata,” tuturnya.
Sentimen negatif
Analisis Drone Emprit terkait kecurangan pemilu di media sosial dan kanal pemberitaan menemukan, 75 persen percakapan didominasi sentimen negatif, 8 persen netral, dan 17 persen sentimen negatif. Hasil itu diperoleh dari 964.646 percakapan atau pemberitaan dengan kata kunci ”kecurangan” dan ”curang” pada rentang waktu 7-23 Februari 2024.
Menurut pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, sentimen negatif diikuti dengan sejumlah narasi, misalnya, tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif. Sementara positif ditandai dengan narasi ajakan untuk membuktikan kecurangan dan praktik curang dilakukan oleh semua pasangan calon.
Hasil analisis Drone Emprit soal sentimen negatif kecurangan pemilu di media sosial dan kanal pemberitaan.
”Narasi negatif terkait pemilu dapat meningkatkan ketegangan sosial, terutama jika dipercaya oleh sejumlah besar masyarakat. Seruan untuk aksi dan demonstrasi sebagai respons terhadap dugaan kecurangan menimbulkan potensi konflik sosial,” katanya.
Sementara itu, salah satu platform pemantau pemilu, jagapemilu.com merekam 47 persen dugaan pelanggaran pemilu berkaitan dengan administrasi, 31 persen soal hukum, 15 persen berindikasi tindak pidana pemilu, 7 persen dugaan pelanggaran etik, dan 31 persen jenis pelanggaran lainnya. Hasil ini didapat dari berbagai laporan publik.
Ketua Divisi Hukum dan Advokasi jagapemilu.com Rusdi Marpaung memaparkan, sebagian besar laporan dugaan pelanggaran berupa manipulasi suara salah satu pasangan capres-cawapres, Sirekap—perangkat aplikasi berbasis teknologi informasi sebagai sarana publikasi hasil penghitungan suara—yang bermasalah, hingga kondisi pemilih tidak bisa menggunakan hak suaranya.