KPU Bantah Tudingan Akali Suara, Penghentian Rekapitulasi untuk Sinkronisasi Data
KPU menjelaskan penghentian rekapitulasi suara di kecamatan tidak terjadi di seluruh Indonesia.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum membantah instruksi menghentikan rekapitulasi suara Pemilu 2024 di sebagian besar kecamatan untuk mengakali suara peserta pemilu. Penghentian rekapitulasi untuk memberikan waktu bagi jajaran KPU melakukan sinkronisasi data Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) dengan formulir C.Hasil. Sebab, data Sirekap dibutuhkan sebagai alat bantu rekapitulasi suara.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik, saat dihubungi Kompas, Senin (19/2/2024), mengatakan, penghentian rekapitulasi suara di tingkat kecamatan tidak terjadi di seluruh Indonesia. Ada ratusan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang tetap melaksanakan rekapitulasi pada dua hari terakhir. Bahkan, beberapa di antaranya telah menyelesaikan rekapitulasi tersebut.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ia menuturkan, penghentian rekapitulasi dilakukan untuk memberikan waktu bagi KPU kabupaten/kota dalam meningkatkan akurasi data yang ditampilkan di Sirekap. Jajaran KPU mengecek data anomali yang ditampilkan di Sirekap. Misalnya, ditemukan sejumlah tempat pemungutan suara (TPS) yang jumlah suaranya terbaca oleh sistem melebihi total surat suara yang tersedia di TPS tersebut.
Pihaknya pun membantah tudingan bahwa penghentian rekapitulasi dilakukan untuk mengakali suara peserta pemilu. Selama dua hari penghentian rekapitulasi, jajaran KPU kabupaten/kota dibantu PPK menyinkronkan data Sirekap dengan formulir C.Hasil yang diunggah ke Sirekap. Tidak ada kegiatan membuka surat suara ataupun formulir-formulir karena sinkronisasi hanya membutuhkan foto C.Hasil yang sudah ada di Sirekap.
”Tidak ada yang membuka dan memfoto ulang formulir C.Hasil. Semua sudah diunggah di aplikasi Sirekap,” ujarnya, yang dihubungi Senin (19/2/2024).
Idham mengatakan, akurasi data di Sirekap dibutuhkan saat rekapitulasi di tingkat kecamatan. Sebab, pada saat pelaksanaan rekapitulasi, dilakukan pembacaan formulir model C.Hasil di setiap TPS oleh PPPK. Pada saat bersamaan, PPK memperlihatkan data di Sirekap pada layar proyektor.
Bukan rujukan
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, menyayangkan penghentian rekapitulasi di sebagian besar kecamatan. Kesalahan yang timbul dari pembacaan data Sirekap semestinya tidak menghambat proses rekapitulasi manual, sebab Sirekap hanya alat bantu rekapitulasi dan bukan dijadikan rujukan dalam rekapitulasi berjenjang.
Menurut dia, Sirekap dan rekapitulasi manual adalah dua hal yang berbeda. Jika KPU ingin memperbaiki Sirekap, tidak perlu sampai menghentikan proses rekapitulasi di tingkat kecamatan. Dua hal itu bisa dilakukan bersamaan dengan tim yang berbeda karena tidak saling terkait. Penghentian rekapitulasi justru menimbulkan kecurigaan publik dan memunculkan isu-isu liar.
”Kalau Sirekap bermasalah sehingga rekapitulasi manual dihentikan, orang menjadi berpikir bahwa rekapitulasi manual harus mengacu pada Sirekap. Padahal, Sirekap bukan menjadi rujukan, hanya sebagai alat bantu. Rekapitulasi manual itulah yang menjadi alat hitung utamanya,” kata Mardani.
Mantan anggota KPU, Evi Novida Ginting Manik, menilai, masalah pada Sirekap seharusnya tidak menghentikan proses rekapitulasi di PPK. KPU tidak bisa menjadikan Sirekap sebagai satu-satunyanya sumber data untuk rekapitulasi suara. Jika web Sirekap bermasalah, bisa menggunakan formulir C.Hasil yang merupakan data otentik dari TPS yang menjadi sumber data rekapitulasi. Formulir itu pun sudah ditandatangani oleh saksi di TPS dan KPPS.
”PPK bisa menyandingkan hasil di formulir C.Hasil dengan data di Sirekap untuk tetap melaksanakan rekapitulasi tanpa harus menunda beberapa hari. Kalau sudah cocok atau tidak ada perbedaan, data dalam web Sirekap bisa dicetak dan ditandatangani oleh PPK dan semua saksi,” ujarnya.
Menurut Evi, Sirekap merupakan teknologi informasi yang dipersiapkan KPU dalam rangka menjalankan prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Sirekap bisa membuka akses kepada publik dan semua pihak terhadap hasil penghitungan suara. ”Sirekap menjadi bagian dari akuntabilitas KPU terhadap publik untuk proses penghitungan dan rekapitulasi suara yang dilakukan secara berjenjang,” katanya.
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menengarai, penundaan rekapitulasi di kecamatan tidak lepas dari adanya ketentuan dalam Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilu. Sirekap menjadi instrumen sumber data perolehan suara dalam pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara di kecamatan ataupun tingkatan di atasnya.
Berbagai dokumen yang dihasilkan saat rekapitulasi juga harus diunggah melalui Sirekap. Apabila Sirekap bermasalah, hal itu dapat dipastikan akan mengganggu jalannya pelaksanaan rekapitulasi suara. Sebab, bahan yang ditampilkan sebagai basis rekapitulasi suara adalah bahan yang bersumber dari Sirekap.
Titi mengingatkan, KPU harus memastikan ada solusi terkait masalah Sirekap agar tidak menghambat proses rekapitulasi di kecamatan ataupun jenjang berikutnya. Sebab, ada tenggat yang harus ditaati, yakni rekapitulasi di kecamatan (2/3), kabupaten/kota (5/3), provinsi (10/3), dan nasional (20/3).
”Ada tenggat yang harus dipatuhi KPU, khususnya tenggat penetapan hasil pemilu secara nasional yang harus dilakukan paling lambat 35 hari setelah hari pemungutan suara,” katanya.
Di sisi lain, KPU harus memperbaiki cara komunikasi publik. Jangan sampai temuan angka di Sirekap yang tidak sinkron dibiarkan berlarut-larut dan lambat mendapatkan penyelesaian. Jika ada pembiaran, hal itu bisa memunculkan spekulasi publik soal potensi kecurangan dan Sirekap menjadi bagian dari tuduhan tersebut.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih mengecam tindakan KPU yang mengeluarkan arahan dan perintah untuk menghentikan proses rekapitulasi suara. Tindakan tersebut adalah tindakan penyalahgunaan wewenang, tidak punya dasar hukum, dan berpotensi akan menjadi praktik curang di dalam proses rekapitulasi suara di tingkat kecamatan.
Oleh karena itu, koalisi mendesak KPU untuk segera melanjutkan proses rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. Proses rekapitulasi suara mesti dilaksanakan tepat waktu, transparan, dan akuntabel. KPU wajib menjaga kemurnian suara pemilih, dan mempercepat proses rekapitulasi suara, agar hasil resmi Pemilu 2024 bisa lebih cepat diketahui masyarakat.
Di sisi lain, koalisi juga mendesak Bawaslu untuk mengawasi dan melakukan penegakan hukum terhadap tindakan KPU yang tanpa dasar menghentikan proses rekapitulasi suara di tingkat kecamatan di beberapa wilayah. Komisi II DPR pun harus mengawasi secara ketat dan serius terhadap praktik penyelenggaraan pemilu yang berpotensi menjadi pelanggaran yang serius.
”Tindakan KPU menghentikan proses rekapitulasi suara patut diduga merupakan pelanggaran serius karena menghentikan tahapan pemilu tanpa dasar hukum,” ujar pengacara Yayasan Dewi Keadilan, Ibnu Syamsu Hidayat.