Meredupnya Efek Ekor Jas pada Pemilu 2024
Efek ekor jas sempat terbaca pada peningkatan elektabilitas partai, tetapi tidak terwujud setelah pemungutan suara.
(Kiri ke kanan) Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan.
Jauh sebelum Pemilu 2024 digelar, perburuan efek ekor jas sudah dimulai oleh sejumlah partai politik. Figur tersohor dan memiliki bekal elektabilitas dideklarasikan lebih awal oleh partai untuk maju pada pemilihan presiden. Efek ekor jas dari calon presiden dan wakil presiden yang didapat partai tertentu di pemilu sebelumnya menjadi dasar sengitnya perburuan posisi tersebut. Namun, setelah Pemilu 2024 efek ekor jas yang diimpikan tak dirasakan oleh partai. Apa penyebabnya?
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pertengahan Agustus 2022 atau berjarak hampir dua tahun dari penyelenggaraan Pemilu 2024, Partai Gerindra mendeklarasikan ketua umumnya, Prabowo Subianto, sebagai bakal calon presiden (capres). Berselang dua bulan setelahnya, giliran Partai Nasdem yang mendeklarasikan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Kemudian, hanya berselang beberapa jam, partai politik (parpol) yang tak memiliki kursi di DPR, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), ikut-ikutan mendeklarasikan Ganjar Pranowo yang saat itu masih menjabat Gubernur Jawa Tengah sebagai bakal capres. Tak hanya capres, PSI bahkan mendeklarasikan mengusung putri Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid, Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, untuk maju di pilpres.
Di luar partai-partai politik (parpol) tersebut, partai lain pun ikut menjagokan kader partainya baik untuk menjadi capres ataupun cawapres. Partai Golkar, misalnya, sempat kukuh mengusung ketua umumnya, Airlangga Hartarto, sebagai capres. Begitu juga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mengusung ketua umumnya, Muhaimin Iskandar. Selain itu, muncul pula tuntutan dari Demokrat agar ketua umumnya, Agus Harimurti Yudhoyono, menjadi cawapres, Partai Keadilan Sejahtera yang mengusulkan Wakil Ketua Majelis Syura PKS Ahmad Heryawan, serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mengajukan Ketua Badan Pemenangan Pemilu PPP Sandiaga Salahuddin Uno untuk posisi sebagai cawapres.
Sengitnya perburuan posisi itu sempat berimbas pada dinamisnya peta koalisi parpol. Demokrat, misalnya, keluar dari koalisi dengan Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) karena koalisi memutuskan untuk memilih Muhaimin Iskandar sebagai cawapres dari Anies.
Sengitnya perburuan posisi itu sempat berimbas pada dinamisnya peta koalisi parpol. Demokrat, misalnya, keluar dari koalisi dengan Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) karena koalisi memutuskan untuk memilih Muhaimin Iskandar sebagai cawapres dari Anies.
Sejumlah elite parpol yang diwawancarai ketika perburuan posisi capres/cawapres masih sengit, tak menampik bahwa sikap yang mereka ambil kala itu merupakan strategi untuk mengejar efek ekor jas. Memori efek ekor jas yang diraih parpol tertentu di pemilu sebelumnya jadi dasar.
Baca juga: Efek Ekor Jas Tak Terlihat di Pemilu 2024
Pada Pemilu 2014, misalnya, sebulan sebelum pemilihan anggota legislatif (pileg) digelar pada 9 April 2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mendeklarasikan kadernya, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, sebagai bakal calon presiden (capres). Jokowi yang kala itu sudah memiliki bekal popularitas dan elektabilitas tak pelak ikut memberikan keuntungan positif secara elektoral bagi PDI-P.
Partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu pun bisa kembali memenangi pemilu setelah kemenangan terakhir pada Pemilu 1999. Raihan suaranya mencapai 18,95 persen atau naik dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, Pemilu 2009, sebesar 14,03 persen.
Partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu pun bisa kembali memenangi pemilu setelah kemenangan terakhir pada Pemilu 1999. Raihan suaranya mencapai 18,95 persen atau naik dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, Pemilu 2009, sebesar 14,03 persen.
Fenomena serupa tampak di Pemilu 2009. Keputusan Demokrat mengusung kembali presiden petahana yang juga pendiri Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk maju di pemilihan presiden, membuat Demokrat bisa memenangkan pileg. Raihan suara Demokrat pun melonjak signifikan, menjadi 20,85 persen dari sebelumnya, Pemilu 2004, hanya 7,45 persen.
Memori tersebut cenderung selalu dijadikan pijakan parpol di setiap pemilu, tak terkecuali pada Pemilu 2019. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, getol mempromosikan ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) dari Jokowi meski elektabilitasnya tak menonjol di antara figur potensial cawapres lainnya kala itu.
Memori tersebut cenderung selalu dijadikan pijakan parpol di setiap pemilu, tak terkecuali pada Pemilu 2019.
Di kubu kompetitor Jokowi saat itu, yakni capres Prabowo Subianto, posisi cawapres diperebutkan oleh tiga kader dari tiga parpol. Ketiga parpol dimaksud adalah Demokrat yang meminta Agus Harimurti Yudhoyono, putra Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Amanat Nasional yang menuntut ketua umumnya, Zulkifli Hasan, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menggebu-gebu mendorong Salim Segaf Al Jufrie yang saat itu menjabat Ketua Majelis Syura PKS.
Imbas dari alotnya perebutan cawapres itu, salah satu elite Demokrat bahkan sempat menyebut Prabowo sebagai jenderal kardus setelah pendiri Partai Gerindra itu memutuskan menjadikan Sandiaga Salahuddin Uno sebagai cawapresnya. Keputusan mengusung Sandiaga disebut sebagai pengkhianatan atas komitmen koalisi partai politik pengusung Prabowo.
Tak signifikan
Upaya parpol berburu efek ekor jas jelang Pilpres 2024 sempat seolah membuahkan hasil. Merujuk hasil survei Litbang Kompas akhir 2022 hingga akhir 2023, misalnya, tren elektabilitas Gerindra yang telah memiliki bakal capres sejak Agustus 2022 cenderung naik. Bahkan, pada Desember 2023, elektabilitas Gerindra mencapai 21,9 persen dan menempati posisi pertama di antara parpol-parpol peserta pemilu lainnya.
Akan tetapi, tren kenaikan elektabilitas itu tidak bertahan setelah pemungutan suara. Berdasarkan hasil hitung cepat Litbang Kompas hingga Minggu, 17 Februari pukul 12.14, dengan data masuk 99,80 persen, Gerindra mendapatkan suara sebesar 13,51 persen. Dengan margin of error +/- 1 persen, perolehan suara partai pengusung utama Prabowo ini cenderung stagnan dibandingkan dengan tahun 2019.
Pola yang sama terjadi pada parpol pengusung Prabowo-Gibran lainnya. Salah satunya PAN, perolehan suaranya mencapai 6,84 persen pada 2019, kini menjadi 7,06 persen. Kenaikan hanya terjadi pada Golkar, yakni mencapai 14,59 persen, padahal pada 2019 suara Golkar sebesar 12,31 persen.
Yang akan lebih signifikan itu peta aliansi di DPR, itu nanti baru terlihat setelah penghitungan selesai.
Wakil Ketua Umum Gerindra Rahayu Saraswati mengatakan, efek ekor jas merupakan harapan semua parpol pengusung Prabowo-Gibran. Oleh karena itu, efek tersebut tak hanya didapatkan oleh Gerindra, tetapi justru tersebar ke parpol anggota KIM lainnya. Hal tersebut tidak terlepas dari jumlah parpol anggota KIM yang banyak, yakni delapan parpol peserta pemilu, juga kerja keras kader untuk memenangkan partai masing-masing.
”Yang akan lebih signifikan itu peta aliansi di DPR, itu nanti baru terlihat setelah penghitungan selesai,” kata Rahayu dihubungi dari Jakarta, Jumat (16/2).
Stagnasi perolehan suara juga terjadi pada parpol-parpol pengusung Anies-Muhaimin yang memperoleh suara sebesar 25,21 persen atau berada di posisi kedua setelah Prabowo-Gibran. Nasdem, sebagai parpol pertama yang mendeklarasikan Anies, mendapatkan suara sebesar 9,94 persen. Raihan itu tak beranjak jauh dari perolehan suara Nasdem pada Pemilu 2019, yakni 9,05 persen.
Harus diakui ada manfaat elektoral dari Anies, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang membuat suara Nasdem meningkat.
”Harus diakui ada manfaat elektoral dari Anies, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang membuat suara Nasdem meningkat,” kata Ketua DPP Nasdem Saan Mustopa.
Adapun PKB meraih suara sebesar 10,73 persen yang juga tak jauh dibandingkan Pemilu 2019, yakni 9,69 persen. Menurut Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid, capaian itu tidak terlepas dari strategi yang konsisten diakukan, yakni mengupayakan agar Muhaimin menjadi capres/cawapres. Keberadaan foto Muhaimin di surat suara pilpres memang bertujuan untuk memompa semangat pengurus dan simpatisan untuk memenangkan partai. Struktur partai pun menjadi lebih solid dan stabil.
Selain parpol pengusung Prabowo-Gibran dan Anies-Muhaimin, parpol pengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD, yakni PDI-P, juga tidak mengalami perubahan signifikan. Hasil hitung cepat menunjukkan, saat ini suara PDI-P sebesar 16,36 persen, terpaut sekitar 3 persen dari perolehan suara pada 2019, yaitu 19,33 persen.
Kendati demikian, PDI-P tetap menempati posisi teratas di antara sembilan parpol yang diprediksi lolos ke Parlemen. Dominasi PDI-P di pileg belum tergeser meskipun Ganjar-Mahfud meraih suara terkecil di antara dua pasangan kandidat lainnya, yakni 16,31 persen.
Jadi, kita ini membangun ’people effect’, kekuatan kolektif. Indonesia sejak dulu tidak dibangun oleh keterangan orang per orang.
”Jadi, kita ini membangun people effect, kekuatan kolektif. Indonesia sejak dulu tidak dibangun oleh keterangan orang per orang,” kata Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.
Dampak sistematis
swing voters
Jadi, orang melihat Prabowo tidak identik dengan Gerindra. Anies juga tidak identik dengan Nasdem. Sementara Ganjar, saya lihat seperti bagian dari evaluasi masyarakat terhadap PDI-P yang terlalu lama berkuasa.
Selain itu, kata Firman, kandidat presiden dan wapres tidak mewakili parpol tertentu. Hal tersebut merupakan dampak dari ambang batas pencalonan presiden yang tinggi sehingga capres/cawapres harus diusung oleh gabungan parpol. Ketokohannya pun tersebar ke beberapa partai.
”Jadi, orang melihat Prabowo tidak identik dengan Gerindra. Anies juga tidak identik dengan Nasdem. Sementara Ganjar, saya lihat seperti bagian dari evaluasi masyarakat terhadap PDI-P yang terlalu lama berkuasa,” kata Firman.
Ia melanjutkan, dampak efek ekor jas memang sulit terwujud dalam sistem multipartai. Apalagi, ditambah dengan ambang batas pencalonan presiden yang tinggi. ”Efek ekor jas hanya terasa signifikan pada Pemilu 2009 saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencalonkan diri untuk periode kedua, suara Demokrat naik lebih dari 100 persen. Setelah itu, efek ekor jas tidak pernah signifikan lagi, termasuk saat PDI-P mengusung Jokowi pada 2014 dan 2019,” ujar Firman.
Akan tetapi, negatifnya, mekanisme ’checks and balances’ jadi berkurang karena semua dianggap teman.
Baca juga: Efek Ekor Jas Capres-Cawapres pada Perolehan Suara Partai Tak Signifikan
Senada, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Kacung Marijan mengatakan, efek ekor jas tidak berpengaruh kuat karena kandidat diusung banyak parpol sebagai imbas tingginya ambang batas pencalonan presiden. Efek ekor jas baru bisa terlihat signifikan jika ambang batas pencalonan presiden diturunkan atau dihapus. Saat ini, mengacu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, parpol atau gabungan parpol bisa mencalonkan presiden dan wapres jika memiliki setidaknya 20 persen kursi di DPR atau memperoleh 25 persen dari total suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
Jika aturan tersebut diubah, menurut Kacung, parpol akan lebih leluasa mengusung kandidatnya masing-masing tanpa harus berkoalisi. Calon yang bermunculan juga akan lebih banyak sehingga publik memiliki lebih banyak pilihan yang juga lebih terasosiasi dengan parpol pilihannya. Dengan banyak calon, pertarungan pun sulit dimenangkan salah satu kandidat dalam satu putaran saja.
Dengan model yang ada saat ini, kata Kacung, kandidat capres yang dimiliki banyak parpol memang dapat mengurangi friksi antarparpol. Sebab, perbedaan antarpartai bisa dijembatani oleh capres yang sama. ”Akan tetapi, negatifnya, mekanisme checks and balances jadi berkurang karena semua dianggap teman,” ujarnya.